Hi's Like, Idiot But Psiko

Apa Kau Sedang Jatuh Cinta?



Apa Kau Sedang Jatuh Cinta?

0Pagi itu terasa aneh bagi Maximus. Seperti ada sesuatu yang kurang tapi entah apa. Dia bahkan tidak bersemangat. Dia tidak pernah mengalami hal seperti itu sebelumnya. Selain masalah kantor, dia tidak pernah mengalami masalah pribadi yang berat.     

Untuk pertama kali, yeah, untuk pertama kalinya dia mengalami hal seperti itu. Kedua orangtuanya bahkan menatapnya dengan tatapan heran. Putra mereka tidak pernah terlihat seperti itu sebelumnya.     

Max tidak menyentuh sarapan sama sekali, dia juga tidak mengatakan apa pun. Pikirannya kacau, semua itu gara-gara seseorang.     

"Max," ibunya memanggil. Marline ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi pada putranya.     

"Hm," Max menjawab dengan enggan. Gelas kopi diraih dan isinya pun di seruput.     

"Boleh kami tahu? Apa yang terjadi denganmu?"     

"Apa maksud Mommy? Tidak terjadi apa pun denganku."     

"Benarkah?" ibunya tampak tidak percaya.     

"Apa ada yang aneh?" tanya Max.     

"Tentu saja. Lihat dirimu, kau tidak seperti biasanya. Apa di dalam lemari sudah tidak menyenangkan? Apa lemarinya sudah jelek atau kau sudah tidak muat di dalamnya?"     

"Hei, pertanyaan macam apa itu?" protes Michael.     

"Aku hanya ingin tahu, Mich. Mungkin saja kita sudah harus mengganti lemarinya."     

"Ck, jangan berkata yang tidak-tidak. Max, jika ada masalah selesaikan dan jangan bersembunyi di dalam lemari terus menerus!" ucap ayahnya.     

"Hei, itu hobby putramu. Jangan melarangnya!"     

"Mom, yang Daddy katakan sangat benar tapi lemarinya tidak bermasalah," ucap Max.     

"Lalu, apa yang membuatmu jadi seperti ini?" tanya ibunya.     

Max tidak menjawab, apa? Dia sendiri tidak tahu kenapa dia seperti itu. Dia tahu ada yang salah pada dirinya tapi dia tidak tahu dan hanya satu jawaban yang selalu dia dapatkan atas keanehan yang terjadi pada dirinya sendiri yaitu dia sudah gila.     

Marline tersenyum, apa putranya jadi seperti itu gara-gara gadis Rusia yang dia tawan? Sepertinya dia harus mencari tahu akan hal ini.     

"Max, apa kau seperti ini karena kau sedang jatuh cinta?" tanya ibunya.     

Mata Max melotot, apa maksud dari ucapan ibunya? Jatuh cinta? Dia tidak tahu apa itu karena dia tidak pernah merasakannya. Dia memang bukan seorang perjaka lagi, dia juga sudah banyak menjalin hubungan dengan para wanita tapi mereka seperti baju yang bisa dia pakai dan buang sesuka hati.     

"Max, apa tebakan Mommy tidak salah?" tanya Marline lagi. Dia merasa jika putranya memang sedang jatuh cinta.     

"Entahlah, Mom. Aku tidak tahu apa yang Mommy maksudkan," ucap Max.     

"Hei, jangan katakan jika kau tidak pernah jatuh cinta," ucap ayahnya.     

"Entahlah, apa itu jatuh cinta? Aku tidak tahu!"     

"What?" kedua orangtuanya saling pandang. Di usia Max yang sudah menginjak tiga puluh tahun masih belum mengerti apa itu jatuh cinta? Oh, mereka lupa jika putra mereka memang istimewa. Dia terlalu tenggelam dengan kehidupannya sendiri dan juga pekerjaannya. Dia juga tidak pernah terlihat menjalin hubungan serius dengan wanita mana pun. Apa benar putranya tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta?     

Marline kembali tersenyum, sekarang dia tahu kenapa putranya bisa seperti itu. Pasti semua gara-gara pelayan cantik yang dia tawan di rumah. Itu bagus, dia sangat berharap putranya mulai menjalin hubungan serius dengan seseorang dan meninggalkan lemari gelapnya.     

"Dengar, Max. Apa kau tidak merasa jika kau sedang jatuh cinta saat ini?"     

Max terkejut, apa maksud ucapan ibunya?     

"Max," Marline semakin penasaran.     

"Entahlah, apa bedanya jatuh cinta dengan tertarik? Bagiku tidak ada bedanya."     

"Tentu beda, Sayang. Jika tertarik saja maka kau hanya ingin mendapatkannya untuk memenuhi rasa penasaranmu dan setelah kau mendapatkannya, kau sudah merasa puas tapi jika kau jatuh cinta, kau tidak saja tertarik tapi kau juga ingin memilikinya agar dia selalu berada bersama denganmu. kau juga tidak ingin melepaskannya dan kau tidak akan membiarkan dia pergi darimu," jelas ibunya.     

Max diam, matanya menatap ke arah sang ibu yang sedang tersenyum lembut.     

"Dengarkan Mommy, Sayang. Mungkin saat ini kau tidak sadar tapi sepertinya kau sudah jatuh cinta. Jangan tanya kenapa begitu cepat, cinta itu datang secara tiba-tiba tanpa kau pinta. Tidak ada yang tahu, tapi cinta itu hadir dengan sendirinya seperti aku dan Daddy dulu. Dia mengerjai aku habis-habisan tapi pada akhirnya aku jatuh cinta padanya tapi itu tidak jadi masalah karena kami saling mencintai oleh sebab itu, ambillah keputusan yang tepat untuk dirimu sendiri. Apa kau mau mempertahankan cinta itu atau tidak."     

"Dengarkan nasehat Mommy-mu, Boy. Jangan menyesal nantinya," ucap ayahnya.     

Max masih belum menjawab karena dia sedang memikirkan nasehat yang diberikan oleh ibunya. Seperti yang ibunya katakan, memang itu yang dia rasakan saat ini. Selama ini dia menjalin hubungan dengan wanita karena tertarik dan setelah mendapatkannya, dia tidak penasaran lagi sehingga dia bisa meninggalkan wanita itu dengan mudah tapi apa yang dia rasakan pada Aleandra? Dia tidak ingin menyakiti gadis itu dan ini pertama kalinya dia rasakan.     

"Baiklah, aku mau pergi," ucap Max seraya beranjak.     

"Hei, kau mau pergi ke mana?" tanya ibunya.     

"Kantor, tolong ganti lemarinya yang lebih besar!"     

Kedua orangtuanya saling pandang, kenapa ujung-ujungnya meminta ganti lemari? Bukankah Max berkata lemarinya tidak bermasalah? Michael memandangi istrinya, sedangkan Marline mengangkat bahu tapi setelah itu mereka berdua tampak tersenyum, sepertinya mereka sudah memiliki calon menantu. Itu bagus, sangat bagus karena mereka sudah lama mengharapkan hal itu.     

Max pergi ke kantor, setelah ini dia akan pergi ke markas untuk mengintrogasi pria yang dia tangkap semalam dan setelah itu dia akan pulang karena dia sudah mengambil keputusan. Memang aneh, tapi sudahlah.     

Pagi itu tidak Max saja yang merasa aneh, Aleandra juga merasakan hal yang sama. Biasanya dia sudah membuat makanan dan membangunkan Max tapi pagi ini, dia tampak termenung di meja makan. Dia enggan melakukan apa pun, bahkan dia malas membuat makanan karena tidak ada yang makan.     

Aleandra masih mencari kesalahan apa yang telah dia lakukan semalam sehingga membuat Max marah tapi sayangnya dia tidak mendapati kesalahan apa yang telah dia lakukan. Dia bahkan mengingat satu persatu perkataan yang dia ucapkan dan tidak menemukan ada yang salah.     

Napas berat dihembuskan, bosnya memang sulit ditebak. Dari pada menerka yang tidak jelas, lebih baik dia bekerja dan membersihkan rumah itu. Dia akan menyibukkan dirinya dan melakukan apa saja agar dia tidak memikirkan yang tidak perlu.     

Aleandra beranjak dan melangkah pergi tapi langkahnya terhenti saat teringat sesuatu. Sial, dia lupa apakah hari ini dia harus pergi ke kantor atau tidak. Ck, sebaiknya dia menghubungi Rebeca untuk mencari tahu hal ini.     

Aleandra masuk ke dalam kamar, ponsel sudah berada di tangan. Dia jadi bimbang, harus menghubungi Max atau Rebeca? Dia memikirkan hal itu begitu lama sampai akhirnya Aleandra memutuskan untuk menghubungi Rebeca saja karena dia takut menghubungi Max.     

Aleandra sangat heran saat melihat Aleandra menghubunginya. Dia juga heran saat melihat bosnya datang sendiri, jangan-jangan terjadi sesuatu pada Aleandra dan bayinya karena sampai sekarang Rebeca masih salah paham.     

"Ada apa, Amy? Apa ada yang harus aku sampaikan pada bos?" tanya Rebeca.     

"Ti-Tidak, aku hanya ingin tahu apakah hari ini aku harus pergi ke kantor atau tidak?" tanya Aleandra.     

"Untuk itu sebaiknya kau bertanya pada bos secara langsung karena aku tidak berhak."     

"Apa Max sedang sibuk?" tanya Aleandra lagi.     

"Tidak, dia ada di dalam ruangannya. Hubungilah dia."     

"Baiklah, terima kasih."     

Aleandra menghela napas saat Rebeca mengakhiri pembicaraan mereka. Sepertinya mau tidak mau dia harus menghubungi Max untuk mencari tahu dia harus pergi ke kantor atau tidak.     

Max sedang mengecek dokumen ketika ponselnya berbunyi. Dia tampak enggan tapi ketika melihat nama Aleandra, Max meraih ponselnya dan tersenyum tipis.     

"Max," terdengar suara Aleandra tapi pria itu tidak menjawab.     

Aleandra tahu jika Max mendengar, pria itu memang pelit bicara.     

"Hari ini aku harus pergi ke kantor atau tidak?" tanya Aleandra.     

"Tidak!" jawab Max, ternyata itu yang ingin ditanyakan oleh gadis itu. Pasti dia takut hutangnya semakin bertambah.     

"Kau tidak perlu datang, diam saja di rumah!"     

"Baiklah, apakah kau?" Aleandra menghentikan niatnya untuk bertanya karena dia takut semakin membuat Max marah, "Jika begitu aku akan membersihkan rumah ini, maaf sudah mengganggu waktumu," ucap Aelandra lagi dan setelah itu Aleandra mengakhiri percakapan mereka.     

Max melihat ponselnya sejenak, apa yang ingin ditanyakan oleh gadis itu? Kenapa tidak jadi? Ponsel diletakkan, toh dia akan pulang nanti malam setelah selesai mengintrogasi tawanan. Hari ini dia harus tahu siapa yang menginginkan Aleandra, dia akan menyiksa pria itu sampai dia mau buka mulut. Jangan salahkan dia berbuat hal yang kejam dan sadis, jika pria itu mau menjawab tanpa membuang waktunya maka dia akan memberikan kematian yang mudah untuknya.     

Max mengangkat kedua kakinya dan meletakkannya ke atas meja. Dia bersandar dengan nyaman di kursi sambil mengingat setiap nasehat yang diberikan oleh ibunya. Apakah yang dikatakan oleh ibunya tentang kejadian yang sedang dia alami adalah benar?     

Dia rasa tidak mungkin, dia rasa ibunya terlalu berlebihan akan hal itu. Mana mungkin dia jatuh cinta? Max mengusap wajah, umpatannya terdengar. Dari pada menerka bukankah lebih baik dia mencari tahu?     

Aleandra Feodora, awas saja dia nanti. Gadis itu sudah membuatnya seperti itu, sudah membuatnya kacau dan seperti orang gila. Saat dia sudah tahu jawaban atas apa yang dia alami saat ini maka tidak akan dia lepaskan gadis itu. Salahkan dirinya yang begitu mudahnya membuat dirinya gila. Nanti malam dia akan mencari tahu apakah yang dikatakan oleh ibunya benar atau tidak, jika yang dikatakan oleh ibunya adalah benar, Aleandra tidak akan dia lepaskan sampai kapan pun juga.     

Tanpa tahu jika dia sudah membuat seorang pria kejam yang hanya peduli pada dirinya sendiri menjadi kacau, Aleandra melakukan pekerjaannya membersihkan rumah itu. Dia benar-benar tidak mau memikirkannya, dia hanya perlu minta maaf saat Max sudah kembali. Satu hal yang sudah dia putuskan, dia tidak mau membuat kesalahan lagi. Dia juga harus tahu diri dan menjaga sikap agar Max tidak marah dengannya tapi sesungguhnya, dia hanya membuat satu kesalahan dan dia tidak juga menyadari jika dia sudah membuat Max jatuh cinta padanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.