Hi's Like, Idiot But Psiko

Dia Takut Gelap



Dia Takut Gelap

0Marline sedang sibuk di dapur untuk membuat bubur. Dia juga membuatkan sarapan dan segelas kopi untuk putranya. Dia tahu Max pasti belum sarapan, putranya bukan tipe yang suka masuk ke dalam dapur.     

Max sedang membawa Aleandra dalam gendongannya saat itu karena dia ingin membawa Aleandra ke dalam kamarnya. Setidaknya di dalam kamarnya ada pemanas ruangan sehingga Aleandra tidak kedinginan.     

Aleandra tidur dengan pulas, dia tidak tahu jika dia sudah berbaring di ranjang Maximus saat itu. Selimut di tarik, pemanas ruangan dinyalakan. Max menunduk dan memberikan sebuah ciuman di dahi Aleandra sebelum dia keluar dari kamarnya.     

Dapur adalah tujuannya karena ibunya ada di sana. Max menarik kursi saat ibunya sedang mengaduk bubur yang ada di panci.     

"Bagaimana keadaannya, Max?" Marlyn melirik putranya sejenak dan setelah itu dia kembali mengaduk buburnya.     

"Aku sudah membawanya ke kamarku," Max mengambil gelas kopi dan menyeruput isinya.     

"Bagus, tapi Mommy rasa lebih baik kau memiliki satu atau dua orang pelayan mulai sekarang."     

"Apakah harus?" tanya Max, matanya melihat sang ibu dan setelah itu Max menikmati sarapannya.     

"Tentu saja, Sayang. Apa kau masih ingin membiarkan Aleandra melakukan tugas rumah lagi? Sebaiknya kau gunakan pelayan agar Aleandra tidak menganggap jika dia pelayanmu lagi tapi buat dia merasa jika dia adalah wanita istimewa bagimu."     

Max tidak menjawab dan tampak berpikir. Memang dia tidak akan mengijinkan Aleandra membersihkan rumahnya lagi. Gadis itu sakit gara-gara terlalu banyak bekerja. Sepertinya apa yang diucapkan oleh ibunya sangat benar. Mulai sekarang dia memang harus membuat Aleandra merasa jika dia adalah gadis paling istimewa baginya.     

"Baiklah, Mommy bisa membawakan dua pelayan untukku."     

"Mommy senang mendengarnya, Sayang," Marline mematikan kompor dan menghampiri putranya.     

"Jika kau serius dengannya, perlakukanlah dia dengan baik," ucapnya.     

"Aku tahu, Mom."     

"Ingat, jangan membawanya pacaran di dalam lemari."     

"Kau tahu, Mom?" Max mengigit roti bakar dan kembali berkata, "Aku sangat ingin melakukannya." ucapnya lagi.     

"Hei, jangan membuatnya takut karena hobi anehmu itu. Dia bisa lari ketakutan karena kau mengajaknya gelap-gelapan di dalam lemari!"     

Max tersenyum, Aleandra memang takut dengan gelap. Aleandra berkata seperti itu sewaktu dia menarik gadis itu masuk ke dalam lemarinya. Ck, sepertinya dia harus memodifikasi sebuah lemari dan menambahkan lampu.     

"Max," Marline menatapnya dengan tatapan curiga.     

"Mommy tidak perlu khawatir, dia takut gelap," ucap Max.     

Marline bernapas lega, syukurlah. Dia sangat berharap Aleandra bisa mengubah putranya yang suka menghabiskan waktu di dalam lemari. Jangan sampai justru putranya yang merubah gadis itu sehingga mereka berdua menghabiskan waktu di dalam lemari. Jangan sampai pula mereka membangun keluarga di dalam lemari. Jika sampai hal itu terjadi, dia benar-benar tidak berani membayangkannya.     

"Mommy sangat berharap kau berubah, Max," Marline beranjak dan kembali menyalakan kompor gas.     

"Apa maksud, Mommy?"     

"Selama ini kau selalu tenggelam dalam duniamu. kau tidak mau peduli dengan orang sekitarmu. Kau juga selalu bersembunyi di dalam lemari, bisa dikatakan hidupmu hanya kau habiskan untuk bekerja lalu sisanya di dalam lemari. Walau Mommy tidak melarangmu dan ingin kau menjadi dirimu sendiri tapi Mommy sangat berharap kau menikmati hidupmu dan tidak terlalu lama menghabiskan waktu di dalam lemari lagi. Mommy tahu kau tidak mungkin langsung meninggalkan kebiasaan yang sudah kau lakukan sejak kecil tapi setelah ada Aleandra, cobalah kau menikmati hidupmu dan melakukan banyak hal menyenangkan bersama dengannya," ucap ibunya.     

Max hanya diam, dia tahu ibunya mengkhawatirkan dirinya. Tapi baginya lemari adalah benda yang tidak bisa dijauhkan dari hidupnya. Apa dia bisa tidak bergantung pada benda itu lagi?     

"Max, Mommy tahu pasti berat untukmu tapi percayalah, kau pasti bisa. Kau bisa mengajak Aleandra pergi jalan-jalan. Dia pendatang, bukan? Dia pasti ingin menikmati tempat-tempat indah. Dia pasti ingin pergi menikmati alam. Kau bisa menggunakan kesempatan ini untuk menikmati waktu dan kesempatan ini juga bisa kau gunakan untuk memperdalam hubungan kalian berdua. Walau kau menginginkan dirinya tapi kau juga harus tahu, apakah dia mau bersama denganmu karena dia menyukaimu atau dia ingin bersama denganmu karena kau orang yang bisa dia andalkan dan karena kau adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya balas dendam."     

Setelah berkata demikian, Marline tersenyum dan kembali mendekati putranya, sedangkan mata Maximus tidak lepas dari ibunya karena dia merasa apa yang dikatakan oleh ibunya sangatlah benar. Marline berdiri dibelakang putranya dan mengusap rambut putranya yang tebal.     

"Mommy tidak mau kau dimanfaatkan apalagi oleh seorang wanita. Setidaknya kau juga harus mencari tahu dia mau bersama denganmu karena dia menyukaimu atau hanya karena ingin memanfaatkan dirimu saja," ucapnya.     

"Terima kasih atas nasehat Mommy, aku tahu apa yang harus aku lakukan dan tidak. Mommy tidak perlu khawatir, aku pasti akan cari tahu akan hal ini. Lagi pula dia belum memiliki perasaan apa pun padaku saat ini."     

"Baiklah, Mommy sangat berharap kau dan Aleandra memang berjodoh."     

"Semoga saja," ucap Maximus.     

"Baiklah, Mommy akan mendinginkan bubur untuknya dan setelah itu suapi dia makan," Marline mencium pipi putranya dan setelah itu dia pergi mengambil mangkuk.     

Max kembali menikmati sarapan dan kopinya. Setelah ini dia akan membangunkan Aleandra dan memintanya untuk sarapan.     

"Terima kasih Mommy sudah mau datang dan membuatkan makanan," ucap Maximus.     

"Apa yang kau katakan? Mommy senang melakukannya apalagi untukmu."     

"kenapa Mommy hanya sendirian, di mana Daddy?" tanya Max lagi karena sedari tadi dia tidak melihat ayahnya.     

"Seperti biasa, Daddy pergi dengan Uncle Matthew karena sibuk. Mommy bosan di rumah, semoga kau segera menikah dan memberikan Mommy cucu yang banyak supaya Mommy tidak bosan."     

Maximus tersenyum, cucu? Dia tahu ibunya sudah sangat mengharapkan hal itu tapi dia rasa keinginan ibunya tidak akan terwujud dengan cepat.     

"Mommy sudah selesai, ini buburnya," Marline meletakkan bubur ke atas meja.     

"Thanks, Mom," Max meneguk air putihnya.     

"Jika begitu Mommy mau pergi dulu, Mommy ada janji dengan Aunty Ainsley," ucap ibunya. Ainsley adalah adik dari ayah Maximus.     

"Jika begitu berhati-hatilah, aku ingin melihat keadaan Aleandra."     

"Jaga dia baik-baik dan katakan padanya, Mommy akan datang lagi untuk menjenguknya," Marline mencium pipi putranya dan setelah itu dia pamit pergi. Max mengantar ibunya sampai di depan pintu dan setelah ibunya pergi, Maximus mengambil mangkuk bubur dan membawanya ke dalam kamar.     

Aleandra masih tidur dengan nyaman, karena penghangat ruangan membuatnya tidak merasa kedinginan lagi. Bubur diletakkan di atas meja, Max menghampiri Aleandra dan duduk di sisi ranjang.     

Senyum menghiasi wajah, Max mengusap wajah gadis itu dengan perlahan. Aleandra bergerak karena sentuhan tangannya, dia bahkan terbangun dan membuka matanya.     

"Max," Aleandra memanggilnya dan berusaha untuk bangun. Dia bahkan terkejut ketika dia tahu jika dia sudah berada di kamar Maximus.     

"Kenapa aku bisa berada di kamarmu?" tanya Aleandra kebingungan.     

"Aku memang sengaja membawamu ke sini," Max menahannya agar Aleandra tetap berbaring.     

"Aku haus," ucap Aleandra.     

"Baiklah, kau juga harus makan," Max membantu Aleandra untuk duduk di atas ranjang, beberapa bantal diletakkan di belakang Aleandra agar gadis itu bisa bersandar dengan nyaman.     

Aleandra tersenyum, kenapa pria itu begitu perhatian? Dia benar-benar merasa tidak enak hati karena kebaikannya.     

Setelah Aleandra bersandar dengan nyaman, segelas minuman hangat di berikan oleh Max.     

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Maximus.     

"Sudah lebih baik, terima kasih. Semua berkat dirimu," ucap Aleandra.     

"Lain kali jangan tidur di lantai lagi."     

"Maaf, aku hanya ingin beristirahat karena lelah."     

"Baiklah, tidak perlu dipikirkan, sekarang makan buburnya terlebih dahulu," Max mengambil mangkuk bubur dan mulai menyendoknya.     

"Apa kau yang membuat bubur itu?" tanya Aleandra.     

"Bukan, ibuku yang membuatnya."     

"Ibumu? Mana dia?" Aleandra semakin tidak enak hati. Tidak saja merepotkan Max tapi dia juga merepotkan ibunya.     

"Mommy sudah pulang, dia bilang akan datang lagi nanti untuk menjengukmu."     

"Aku benar-benar tidak enak hati karena sudah merepotkan kalian," Aleandra menunduk, entah bagaimana dia harus membalas kebaikan mereka nanti.     

"Hei," Max meraih tangan Aleandra dan mengecup punggung tangannya, "Jangan berkata seperti itu. Aku yang ingin merawatmu dan ibuku tidak keberatan melakukan semua ini untukmu," ucapnya lagi.     

"Terima kasih, aku pasti akan membalas budi baik kalian suatu saat nanti."     

"Yeah, kau memang harus melakukannya dan mengabulkan permintaan ibuku suatu saat nanti," Max menyendok bubur dan meniupnya.     

"Apa yang ibumu inginkan?" tanya Aleandra. Dia harap dia bisa mengabulkan permintaan ibu Maximus.     

"Kau tahu? Dia menginginkan banyak cucu!"     

Aleandra terkejut, cucu? Apa maksudnya? Aleandra memikirkan hal itu dan tidak lama kemudian, wajah Aleandra memerah. Apa ibu Max memintanya untuk melahirkan cucu untuknya nanti? Wajahnya semakin memerah dan tentunya hal itu membuat Max terkekeh. Max menyentil dahi Aleandra sehingga gadis itu memekik pelan     

"Apa yang sedang kau pikirkan?"     

"Ti-Tidak ada," jawab Aleandra sambil menggeleng.     

Max menyuapkan bubur ke dalam mulut Aleandra, gadis itu tampak menunduk. Max semakin ingin menggodanya, mangkuk di letakkan, pria itu mendekatkan wajahnya dan berbisik.     

"Apa kau sedang berpikir tentang sosis Amerika, Aleandra?"     

Aleandra terkejut, dia bahkan tersedak bubur yang sedang dia makan. Aleandra berusaha meraih gelas dan segera meneguk isinya sampai habis. Max tersenyum lebar, sedangkan Aleandra melotot. Kenapa lagi-lagi membahas hal itu?     

"Kenapa? Apa tebakanku benar?"     

"Tidak!" jawab Aleandra sambil membuang wajah.     

"Baiklah, aku hanya menggodamu saja. Sekarang habiskan buburnya dan minum obatnya," Max kembali menyuapinya makan.     

Walau sempat menggodanya, tapi Max tidak beranjak pergi dan menyuapkan bubur itu sampai habis. Beberapa obat yang dibawa oleh ibunya bahkan diberikan pada Aleandra dan setelah itu Max membantu Aleandra untuk berbaring.     

Aleandra kira Maximus akan keluar tapi nyatanya tidak, pria itu berbaring di sisinya dan memeluknya.     

"Aku akan memelukmu sampai kau tidur," ucapnya.     

"Terima kasih, aku begitu beruntung bertemu denganmu."     

"Benarkah?"     

"Ya, walau kau sempat mengincar nyawaku tapi aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu."     

"Itu seperti sebuah pernyataan cinta di telingaku, Aleandra."     

"Apa? Itu bukan pernyataan cinta!" Aleandra menyembunyikan wajahnya yang memerah.     

Max hanya tersenyum, walau itu bukan pernyataan cinta tapi gadis yang dia incar tidak mungkin bisa lepas. Lambat laun, pelan tapi pasti, Aleandra akan jatuh cinta padanya dan menjadi miliknya.     

"Aku sudah tidak sabar kau jatuh cinta padaku, Aleandra. Aku sangat menantikan hari itu tiba."     

Alendra diam saja, jatuh cinta? Tidak mustahil dia akan jatuh cinta pada pria itu tapi dia hanya takut jika dia tidak cukup pantas untuk dicintai oleh Maximus Smith apalagi dia belum begitu mengenal pria itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.