Hi's Like, Idiot But Psiko

Kelemahan Maximus Smith



Kelemahan Maximus Smith

0Makanan sudah terhidang di atas meja, Aleandra terlihat canggung. Ini pertama kalinya dia makan bersama dengan keluarga Maximus. Rasanya tidak pantas dia berada di sana apalagi sejak awal dia menyandang status sebagai pelayan di rumah itu.     

Aleandra tidak berani mengambil makanan, dia bagaikan orang asing walau mereka tidak mempermasalahkan hal itu. Makan sedikit, bicara juga tidak, itulah yang terjadi dengannya. Dia bahkan terlihat murung karena tiba-tiba saja dia jadi rindu dengan keluarganya yang sudah tiada.     

Sebelum kejadian itu, mereka juga seperti ini. Makan bersama, Michael dan Marline seperti ayah dan ibunya sedangkan Maximus bagaikan kakaknya. Rasa rindu semakin memenuhi hati, Aleandra berusaha menahan diri agar air matanya tidak tumpah di sana. Jangan sampai ada yang melihat kesedihannya.     

"Ada apa denganmu, Aleandra? Kenapa kau terlihat tidak bersemangat?" tanya Marline.     

Maximus melihat ke arahnya, sedangkan Aleandra menggeleng sambil berusaha tersenyum tipis.     

"Kenapa? Apa ada yang sakit?" tanya Max pula.     

"Tidak, bolehkah aku masuk ke dalam kamar? Aku sudah kenyang dan ingin beristirahat," pinta Aleandra.     

"Pergilah, kau memang butuh istirahat," ucap Marline.     

"Terima kasih, Aunty. Maaf aku mengacaukan suasana," Aleandra beranjak dan melangkah menuju kamarnya. Mata Maximus tidak lepas darinya, entah apa yang terjadi tapi dia bisa melihat jika gadis itu sedang sedih.     

"Pergilah lihat keadaannya, Max," ucap ibunya.     

"Aku akan melihatnya nanti!!"     

"Jangan menunda, pergilah lihat. Kami juga sudah mau pulang."     

"Kenapa begitu cepat, Mom?"     

"Kami mau pergi menjenguk nenekmu. Kapan-Kapan bawalah Aleandra ke sana agar dia bisa mengenal yang lainnya."     

"Aku berjanji akan membawanya nanti," ucap Max.     

"Bagus, sekarang kami sudah harus pergi," Marline dan suaminya melangkah keluar, begitu juga dengan Maximus. Dia mengantar kedua orangtuanya sampai mereka keluar.     

Max masih berdiri di depan pintu dan setelah kedua orangtuanya sudah pergi, Max masuk ke dalam dan menghampiri kamar Aleandra. Aleandra sudah terlihat aneh sejak di meja makan, dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu.     

Max masuk ke dalam kamar, Aleandra sedang berbaring membelakanginya. Aleandra menghapus air matanya dengan terburu-buru saat tahu Maximus masuk ke dalam kamar. Maximus naik ke atas ranjang dan berbaring di sisisnya, dia sangat heran melihat Aleandra sedang menangis.     

"Apa yang terjadi denganmu, Aleandra? Apa ibuku mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaanmu?"     

Aleandra menjawab dengan sebuah gelengan. Mana mungkin ibu Max menyinggung perasaannya?     

"Lalu?" Max mengusap lengannya dan meninggalkan kecupan di sana.     

"Aku rindu dengan kedua orangtuaku, Max. Aku juga rindu dengan kakakku yang entah sudah mati atau masih hidup saat ini. Melihatmu dengan kedua orangtuamu mengingatkan aku dengan mereka dan aku sangat merindukan mereka," air mata Aleandra kembali mengalir. Dia sungguh merindukan keluarganya. Rasanya belum bisa percaya jika dia harus mengalami kejadian itu.     

Max memutar tubuh Aleandra sehingga mereka saling berhadapan. Maximus mengusap air matanya Aleandra dengan perlahan, pria itu bahkan tersenyum dengan lembut.     

"Menangislah, kau memang harus menumpahkan kesedihan yang kau rasakan dan setelah itu, kau harus semakin membulatkan tekad untuk membalas kematian mereka."     

Aleandra memeluknya dengan erat dan menumpahkan kesedihannya. Dia menangis dengan keras karena dia membutuhkannya, sangat membutuhkannya. Maximus membiarkan Aleandra menangis, tangannya mengusap punggung gadis itu dengan perlahan. Memang tidak mudah melewati itu semua, dia benar-benar memuji semangat Aleandra karena bisa bertahan sampai saat ini. Tidak banyak wanita yang bisa bertahan seperti Aleandra dan dia termasuk gadis yang hebat.     

Tangisan Aleandra sudah berhenti, baju Max jadi basah karena ulahnya. Aleandra mengusap baju Max yang basah, dia jadi tidak enak hati.     

"Apa sudah lebih baik?" Max mengusap air mata Aleandra yang tersisa.     

"Maaf, aku jadi membuat bajumu basah," Aleandra masih mengusap baju Maximus.     

"Tidak perlu dipikirkan, aku bisa ganti baju nanti. Bagaimana perasaanmu sekarang? Jika kau ingin menangis lagi, aku akan meminjamkan bahuku untukmu dengan senang hati."     

"Tidak, aku sudah lebih baik."     

"Baiklah, sekarang katakan padaku apa yang terjadi padamu. Aku tahu kau tidak hanya sedih karena keluargamu saja, Aleandra. Aku bisa melihatnya, kau seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku," ucap Maximus.     

"Apa maksudmu, Max?" Aleandra pura-pura tidak mengerti.     

"Jangan menipu aku, Aleandra. Aku tahu ada yang kau sembunyikan jadi katakan padaku, kau tidak perlu ragu."     

"Apa kau tidak akan marah setelah mendengarnya, Max?" Aleandra menatapnya lekat. Dia takut Maximus marah karena dia tidak mengatakan hal itu lebih cepat.     

"Kenapa aku harus marah? Apa kau sedang menyembunyikan hal serius dariku, Aleandra?" Max menatapnya dengan tatapan curiga. Dia semakin yakin gadis itu menyembunyikan hal serius darinya.     

Aleandra menggigit bibir, dia terlihat ragu untuk mengatakannya. Max tampak tidak senang tapi dia bisa melihat jika Aleandra takut untuk mengatakan. Sepertinya memang ada hal serius dan dia tidak akan menakuti Aleandra sehingga gadis itu tidak takut untuk mengatakannya.     

"Hei," Max mengangkat dagu Aleandra dan menatapnya lembut. Sepertinya dia harus banyak bersabar menghadapi gadis itu walau sesungguhnya itu bukanlah gayanya.     

"Apa yang sebenarnya kau takutkan sehingga kau ragu dan tidak mau mengatakannya?" tanya Max sambil mengusap wajahnya.     

"A-Aku hanya takut kau marah," jawab Aleandra karena memang itu yang dia takutkan.     

"Hanya itu?" tanya Max, sedangkan Aleandra mengangguk.     

"Baiklah, aku tidak akan marah. Aku berjanji padamu dan ini sebagai janjiku padamu," Max mengecup bibir Aleandra dengan lembut.     

"Sekarang katakan padaku," ucapnya.     

"Hm, sesungguhnya," Alendra kembali terlihat ragu tapi dia harus mengatakannya, "Beberapa waktu yang lalu, sebelum aku dikejar oleh anak buah Antonio dan ketika kau memerintahkan aku membeli baju, seorang wanita asing menemuiku dan berbicara denganku."     

"Wanita?" Max duduk di atas ranjang, begitu juga dengan Aleandra. Mereka berdua terlihat serius bahkan mata Max tidak lepas darinya.     

"Ya, aku sedang di ruang ganti tapi tiba-tiba wanita itu masuk ke dalam dan memberi penawaran padaku."     

"Apa yang dia tawarkan padamu Aleandra, dan apa yang dia inginkan?"     

"Dia bilang akan memberikan aku uang yang banyak dan membebaskan aku dari sini jika aku bisa mencari kelemahanmu," jawab Aleandra tanpa ragu. Dia kira Maximus tidak akan marah tapi dia terkejut saat Maximus mencengkeram kedua bahunya dengan erat.     

"Apa maksud ucapanmu, Aleandra?" Max menatapnya dengan tajam. Jadi Aleandra mendapatkan tawaran seperti itu dan tidak mengatakan hal itu padanya?     

"Sa-Sakit, Max!" Aleandra ketakutan.     

"Kenapa kau menyembunyikan hal ini dariku?!" teriak Maximus lantang.     

"Max, kau sudah berjanji tidak akan marah!" Aleandra memegangi tangan Maximus sambil meringis karena sakit.     

Max melepaskan cengkeraman tangannya. Sial! Dia jadi emosi padahal dia sudah berjanji tidak akan marah pada Aleandra.     

"Maafkan aku," Max menarik Aleandra dan memeluknya, "Aku tidak bermaksud menyakiti dan menakutimu," ucapnya lagi.     

"Aku takut denganmu, Max. Waktu itu berbeda dengan saat ini, dia menawarkan uang yang banyak padaku dan juga menawarkan kebebasan jika aku bisa mencari kelemahanmu. Sebagai seorang pelayan yang bagaikan terpenjara di rumah ini yang tidak bisa pergi ke mana pun lagi dan sebagai buronan yang sedang dikejar, itu adalah tawaran yang sangat menggiurkan karena uang yang dia tawarkan bisa aku gunakan untuk pergi yang jauh. Hal itu juga terjadi sebelum aku meminta bantuan padamu. Aku pikir aku akan menerima bantuan dari wanita itu jika kau menolak tapi ternyata kau bersedia membantu aku sehingga aku melupakan tawaran darinya," jelas Aleandra karena saat itu memang itulah yang terjadi.     

"Oke, baiklah. Jadi wanita itu menginginkan kelemahanku?"     

"Ya, dia hanya menginginkan hal itu saja."     

"Apa aku mengenali wajahnya dan masih ingat, Aleandra?"     

"Entahlah, aku sudah lupa. Wanita itu terlihat misterius dan sepertinya dia juga menyamar waktu itu."     

"Baiklah, maaf aku telah menyakitimu," Max mengusap bahu Aleandra, dia benar-benar tidak menyangka ternyata ada yang ingin tahu kelemahannya dan yang menginginkan hal itu ternyata seorang wanita. Walau dia belum tahu tapi setidaknya dia sudah memiliki sedikit petunjuk.     

"Maafkan aku karena baru mengatakan hal ini padamu, Max. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya tapi banyak kejadian yang aku alami sehingga aku melupakan hal ini."     

"Tidak apa-apa, aku tahu waktu itu keadaanmu sulit dan semua itu juga karena aku. Tidak seharusnya aku menakutimu tapi mulai sekarang berhati-hatilah, ada yang sedang mengintai rumahku dan jika aku tidak salah menebak, kemungkinan orang yang mengintai rumahku dan memberikan penawaran padamu adalah orang yang sama. Mereka menginginkan kelemahanku untuk menyerangku tapi apa mereka pikir mereka bisa? Sekalipun seseorang menyusup ke dalam untuk mencari tahu akan hal itu, mereka tidak akan menemukan kelemahanku!" ucap Maximus.     

"Jadi kau tidak punya kelemahan?" Aleandra memandanginya dengan serius. Dia jadi penasaran akan hal ini.     

"kau mau tahu?" tangan Max sudah berada di wajah Aleandra dan mengusapnya perlahan.     

"Apa kau mau mengatakannya?" Aleandra semakin ingin tahu.     

"Baiklah, ini hanya khusus untukmu saja, aku akan mengatakannya tapi kau harus berjanji padaku jika kau tidak akan mengatakan hal ini pada siapa pun."     

"Aku berjanji" jawab Aleandra karena dia benar-benar sudah tidak sabar.     

"Dengar, kelemahanku hanya satu saja, Aleandra. Sejak dulu sampai sekarang kelemahanku adalah Benjamin Franklin."     

"Benjamin, what?" Aleandra terlihat bingung karena dia tidak tahu apa yang Maximus ucapkan?     

"Apa kau tidak tahu, Aleandra?" Max tersenyum, sudah dia duga Aleandra tidak akan mengerti.     

"Tidak! Siapa dia? Apa dia kakekmu atau dia nenek moyangmu?"     

"Ha... Ha... Ha... Ha...!" Maximus tertawa terbahak. Apa Aleandra benar-benar tidak tahu siapa Benjamin Franklin?     

"Kenapa kau tertawa?Aku serius!" Aleandra memukul bahu Maximus. Wajahnya memerah karena dia malu.     

"Ya, dia memang nenek moyangku!" setelah berkata demikian, Maximus mencium bibir Aleandra.     

Gadis itu sudah berbaring di atas ranjang, Max tidak melepaskan bibirnya sama sekali. Nasehat dari ibu Max pun teringat, sepertinya dia sudah harus memikirkan perasaannya pada pria itu.     

"Bagaimana bahumu, apa masih sakit?" tanya Maximus, sebuah ciuman lembut mendarat di pipi Aleandra.     

"Sudah tidak apa-apa, Max."     

"Maaf jika aku menakutimu," Max kembali mencium bibirnya.     

"Bagaimana jika kita pergi jalan-jalan, Max? Aku bosan berada di rumah."     

"kau tidak takut dengan orang-orang yang mengejarmu?"     

"Tidak, karena sudah ada dirimu!" Aleandra melingkarkan kedua tangannya di leher Maximus, kali ini dia yang mencium bibir pria itu terlebih dahulu.     

Maximus sedikit terkejut, apa itu berarti Aleandra sudah mulai menerima dirinya? Tapi dia tidak mau bertanya karena dia tahu, Aleandra pasti akan menjadi miliknya cepat atau lambat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.