Hi's Like, Idiot But Psiko

Sebuah Keputusan



Sebuah Keputusan

0Malam itu Aleandra tidak bisa tidur sama sekali karena tiba-tiba saja dia teringat dengan Fedrick. Sampai saat ini dia belum mengambil keputusan apakah dia harus menghubungi Fedrik atau tidak. Dia tahu nomor telepon kantornya, dia juga tahu nomor telepon rumahnya. Dia tahu Fedrick sudah kembali karena dia sudah hapal kapan Fedrick akan pergi, kapan dia kembali dan kapan dia akan mengajaknya untuk bertemu. Hal itu seperti sebuah jadwal sehingga dia sudah hapal sampai di luar kepala.     

Dia tahu tidak baik membuat Fedrick khawatir, dia juga tahu dia harus segera mengakhiri hubungan mereka jika dia tidak mau kembali ke Rusia lagi apalagi Max menginginkan dirinya. Dia juga tidak boleh serakah dan menggantung hubungannya dengan Fedrick lalu menerima Maximus.     

Mata Aleandra tidak bisa terpejam, dia tahu dia harus segera mengambil keputusan. Apakah dia mau bersama dengan Maximus dan mengakhiri hubungannya dengan Fedrick atau bagaimana? Sesungguhnya sekalipun dia menolak Maximus, dia juga tidak akan bisa pergi ke mana pun karena dia akan berada di rumah Max untuk seumur hidupnya. Sepertinya tidak ada pilihan lain selain menghubungi Fedrick dan mengakhiri hubungan mereka agar Fedrick tidak menunggunya kembali.     

Walau dia sudah memutuskan tapi tetap saja dia tidak tahu bagaimana caranya menghubungi Fedrick tanpa ketahuan. Aleandra menghela napas, dari pada tidak bisa tidur lebih baik dia menonton televisi saja di luar. Mungkin dia bisa mendapat inspirasi.     

Aleandra keluar dari kamar, Maximus tidak mungkin terbangun karena dia yakin kotak ajaib itu kedap suara. Untuk menemani malamnya, Aleandra mengambil beberapa buah berry yang ada di kulkas.     

Dia sudah duduk di depan televisi dan menonton sebuah acara humor Just For Laugh . Niatnya melihat berita justru teralihkan oleh acara lelucon itu. Aleandra bahkan tertawa lepas dan lupa jika saat itu waktu sudah tengah malam dan tentunya tawanya membuat Max terbangun dari tidurnya.     

Mata Maximus terbuka, dia diam saja sambil mendengarkan suara tawa di luar sana. Kotak dibuka, Max duduk di atas ranjang sambil mengernyitkan dahi. Yang tertawa itu bukan hantu, bukan? Apa ada hantu yang ingin mati lagi karena berada di rumahnya?     

Tawa Aleandra semakin keras, acara itu sangat menghibur apalagi tingkah pemainnya. Max keluar dari kamar dan melangkah menuju televisi berada. Aleandra masih tertawa lepas, dia tidak menyadari Max sedang melangkah mendekatinya bahkan Maximus sudah berdiri di belakangnya dan menggeleng.     

"Kenapa kau tidak tidur, Aleandra?"     

Aleandra berteriak karena terkejut, dia langsung menoleh melihat ke arah Max. Aleandra bernapas lega, "Max," ucapnya.     

"Apa yang kau lakukan di tengah malam? Kenapa kau tidak tidur?" Maximus menghampirinya.     

"Oh, sial. Sepertinya aku membangunkanmu, maafkan aku."     

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Aleandra. Kenapa kau belum juga tidur?" Max duduk di sisinya.     

"Aku tidak bisa tidur, Max."     

"Kenapa?" Max menariknya mendekat sehingga Aleandra bersandar di dadanya.     

"A-Aku tidak bisa tidur saja," ucap Aleandra pura-pura.     

"Baiklah, tapi kenapa kau tertawa dengan begitu keras?"     

"Ma-Maaf, aku tertawa gara-gara acara lelucon itu," ucap Aleandra.     

Max kembali menggeleng, tapi dia tidak bisa marah. Jika saja yang melakukan hal itu bukan Aleandra, sudah dia lempar keluar dan dia robek mulutnya karena begitu berani tertawa di rumahnya saat tengah malam.     

"Baiklah, lain kali jika tidak bisa tidur jangan sendirian lagi. Bangunkan aku agar aku menemanimu."     

"Maaf, aku jadi mengganggu tidurmu," Aleandra jadi tidak enak hati.     

"Sudahlah, sekarang tidur denganku," televisi dimatikan, Max beranjak dan meraih tangan Aleandra.     

"Apa?" Aleandra menatapnya dengan lekat.     

"Tidur denganku, Aleandra," Max menarik tangan Aleandra hingga gadis itu bangkit berdiri.     

"Apa? Tidak!" Aleandra menolak tapi Maximus sudah menggendongnya.     

"Max, aku akan kembali ke kamarku!" ucap Aleandra.     

"Kau tidak bisa tidur, bukan? Lebih baik kau tidur denganku."     

"Tapi aku tidak mau tidur di dalam kotak!" ucap Aleandra.     

"Kenapa? Kotak itu sangat menyenangkan."     

"Tidak, aku tidak mau jadi putri Vampire!" tolak Aleandra.     

Max terkekeh dan mendaratkan ciumannya di dahi Aleandra. Apa kotak itu begitu aneh bagi Aleandra? Sepertinya dia harus membiarkan gadis itu mencobanya.     

"Max!" Aleandra panik saat mereka sudah berada di dalam kamar Maximus. Dia tahu jika malam ini dia tidur di sana, maka besok malam dia pasti akan tidur bersama dengan pria itu lagi.     

"Tidak perlu takut, Aleandra. Aku hanya ingin menemanimu tidur saja."     

"Tapi apakah tidak aneh kita tidur berdua?"     

"Tidak!" Max menurunkan Aleandra dari gendongannya dan membaringkan gadis itu ke atas ranjang.     

Aleandra tampak canggung saat Maximus berbaring di sisinya. Max memiringkan tubuhnya, tangannya sudah berada di pipi Aleandra dan memberikan usapan lembut. senyum juga menghiasi wajahnya, dia sangat senang Aleandra berada di ranjangnya saat ini.     

"Ke-Kenapa kau melihat aku seperti itu?" wajah Aleandra tersipu, dia bahkan memalingkan wajahnya.     

"Aku hanya ingin melihat wajahmu saja, apa tidak boleh?" tangan Max bermain di wajah Aleandra bahkan membelai rambutnya sesekali.     

"Bu-Bukan begitu," jawab Aleandra.     

"Jika begitu tidurlah, sudah malam. Besok ikut aku ke kantor," Max menarik Aleandra mendekat dan memeluknya.     

Aleandra mengangguk dan tersenyum tipis, dia semakin tidak bisa tidur karena perlakuan manis yang Maximus berikan. Tidak seharusnya pria itu bersikap seperti itu, sekarang dia semakin bimbang dengan perasaannya. Dia tahu apa yang dilakukan oleh Maximus saat ini bukanlah untuk menggodanya. Dia juga tahu pria itu tulus.     

"Kenapa tidak juga tidur?" tanya Maximus karena Aleandra masih terjaga sedari tadi.     

"Jika kau menciumku mungkin aku akan tidur," ucap Aleandra. Dia mengatakan hal demikian karena dia sangat ingin tahu apa sebenarnya yang dia rasakan saat ini pada Maximus.     

"Sepertinya kau sudah kecanduan bibirku, Aleandra," Max sudah mengangkat dagu Aleandra. Tentu dia tidak akan menolak permintaan Aleandra.     

"Anggap saja demikian," ucap Aleandra.     

Max mengecup bibirnya dengan lembut, satu kecupan ringan dia dapatkan. Mereka berdua saling pandang untuk sesaat, ciuman yang diinginkan oleh Aeandra kembali dia dapatkan tapi kini ciumannya sudah berbeda.     

Aleandra memejamkan mata, tangannya bahkan sudah melingkar di tubuh Maximus. Max mengangkat tubuh Aleandra, sehingga gadis itu sudah berada di atas tubuhnya. Tangan Maximus melingkar di tubuh Aleandra, ciuman mereka pun semakin liar. Apa yang mereka lakukan di kolam renang kembali teringat dan tentunya Max ingin mengulanginya lagi, oleh sebab itu tangan Max sudah masuk ke dalam baju yang dipakai oleh Aleandra.     

Jantung Aleandra berdebar, dia tidak menolak Maximus memperlakukannya seperti itu apakah itu bisa dinamakan cinta? Selama ini hubungannya dengan Fedrick biasa-biasa saja, mereka bahkan berciuman bibir hanya sesekali karena jarangnya bertemu.     

Apa dia tidak menolak karena Max memberikan apa yang tidak pernah diberikan oleh Fedrick sebelumnya? Apa dia mau melakukan hal itu karena dia haus akan hal seperti itu? Pertanyaan itu berputar di kepalanya sampai membuatnya tidak menyadari jika posisi mereka sudah berubah.     

Aleandra sudah berada di bawah, sedangkan Maximus sudah berada di atasnya. Bajunya sudah terangkat ke atas tanpa dia sadari, Max masih mencium bibirnya dengan buas, sedangkan tangannya sudah berada di dada Aleandra.     

"Ngh," Aleandra bergerak gelisah, erangannya tertahan karena Max meremas dadanya dan memainkan jarinya di bagian puncak dadanya.     

Aleandra berusaha mendorong tubuh Maximus, dia takut mereka terlalu jauh dari pada itu. Tidak, sampai dia benar-benar yakin dengan apa yang dia rasakan. Dia tidak mau melakukannya tanpa memiliki perasaan sama sekali.     

"Max," Aleandra masih berusaha mendorong. Walau sentuhan yang diberikan oleh Maximus membuatnya merasa melayang tapi dia harus menghentikannya selagi mereka masih bisa menguasai diri mereka.     

"Kenapa, Aleandra? Aku sudah sangat ingin memiliki dirimu, apa kau tidak bersedia?" Max tidak menghentikan ciumannya, bibirnya bahkan sudah turun ke bawah.     

"Bu-Bukan begitu, Max," Aleandra berusaha menahan kepala Maximus.     

"Hm," Max tidak juga menghentikan aksinya, gadis itu benar-benar sudah membuatnya gila. Entah kenapa dia sangat menginginkan Aleandra, belum pernah ada wanita mana pun yang membuatnya seperti itu tapi Aleandra Feodora benar-benar sudah berhasil membuatnya seperti itu.     

"Stop, Max!" Pinta Aleandra.     

"Jawab pertanyaanku terlebih dahulu, Aleandra. Apa kau tidak mau menjadi milikku? Aku berjanji kau tidak akan menyesal!" Max sudah menghentikan aksinya dan menatap gadis itu dengan tatapan lembut. Tangannya bahkan sedang mengusap wajah Aleandra dengan perlahan.     

"Aku tahu, Max. Aku tahu aku tidak akan menyesal tapi aku justru takut kau yang akan menyesal."     

"Kenapa kau berkata seperti itu?" Max mencium pipinya, baju Aleandra kembali diturunkan.     

"Tidak ada apa-apa, sebaiknya kita tidur. Bukankah besok kita akan pergi ke kantor?"     

"Kau benar," Max berbaring di sisi Aleandra dan kembali memeluknya.     

Alendra juga memeluknya erat, dia juga tampak nyaman. Dari hati terucap kata maaf. Dia sudah membuat sebuah keputusan dalam hatinya. Mungkin berat, dia tahu tidak akan mudah tapi dia harus melakukannya.     

Max membelai rambut Aleandra dan mencium dahinya sesekali. Dia akan bersabar, dia akan benar-benar bersabar untuk gadis itu walau dia tidak suka melakukan hal seperti itu. Dia bahkan tidak pernah bersikap manis pada wanita mana pun, Aleandra wanita satu-satunya yang membuatnya harus bersabar, dia pula satu-satunya yang membuatnya bersikap lembut dan penuh perhatian.     

Dia benar-benar tidak keberatan, walau tiba-tiba saja dia berubah menjadi romantis. Entah dari mana bakatnya itu, tapi sepertinya dari ayahnya karena dia sudah terbiasa melihat ayahnya bersikap romantis pada ibunya.     

Aleandra sudah tertidur di dalam pelukannya, Max memandangi wajahnya gadis itu begitu lama dan setelah itu, Max memberikan ciuman di dahi Aleandra. Gadis itu tidak akan dia biarkan pergi darinya.     

"Gadis bodoh!" ucap Max, kali ini ciumannya mendarat di bibir Aleandra.     

Sial, sekarang dia yang jadi tidak bisa tidur. Keberadaan Aleandra bagaikan candu yang sulit dia hindari. Padahal gadis itu belum lama hadir di hidupnya tapi dia sudah mengacaukan dirinya sehingga membuatnya seperti ini.     

Max memeluk Aleandra kembali, sungguh tidak akan dia lepaskan. Dia bersumpah akan hal itu. Sekalipun ada yang ingin merebut Aleandra darinya, tidak akan dia biarkan karena Aleandra Feodora hanya boleh jadi miliknya saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.