Hi's Like, Idiot But Psiko

Bagaikan Candu



Bagaikan Candu

0Setelah mengetahui kelemahan Maximus, Oliver segera bergerak. Dia menganggap perkataan Caitlyn serius, semua didukung oleh beberapa keanehan-keanehan yang terjadi. Max yang biasanya tidak pernah memiliki pelayan, tiba-tiba memiliki pelayan. Tidak hanya itu saja, Maximus tidak pernah mengijinkan seorang wanita mana pun tinggal di rumahnya tapi gadis itu pengecualian. Sebab itu dia percaya jika perkataan yang diucapkan oleh Caitlyn adalah benar. Jika bukan karena hamil, dia yakin Max tidak mungkin mengijinkan gadis itu tinggal di rumahnya.     

Sebab itu dia berencana menculik Aleandra, menjadikan Aleandra sebagai umpan untuk menghabisi Maximus. Pria itu tidak akan bisa melakukan apa pun jika wanita yang mengandung bayinya berada di tangannya.     

Tapi melancarkan rencananya itu tidaklah mudah, dia tahu itu. Maximus tidak mungkin membiarkan gadis itu seorang diri dan membiarkannya pergi tanpa adanya pengawasan sama sekali.     

Sebab itu Oliver harus mencari celah, dia juga harus memiliki rencana yang sangat matang agar penculikan yang dia lakukan nanti bisa berjalan dengan lancar. Selain melakukan pengintaian dia juga sedang mencari tahu siapa sebenarnya Aleandra.     

Bermodal foto yang waktu itu dia ambil, Oliver dan Austin mulai mencari tahu identitas Aleandra. Ternyata tidak semudah yang dia kira, mereka tidak menemukan apa pun tentang gadis itu. Semua data tentang dirinya tidak ada sama sekali, apa ada yang mengubah atau menyembunyikan data gadis itu? Pertanyaan itu muncul di hati mengingat siapa Maximus Smith dan memang kecurigaan mereka sangat benar.     

Max sedang membuatkan sebuah identitas palsu yang bisa digunakan oleh Aleandra untuk sementara. Jika Aleandra bersama dengannya dan menjadi istrinya, maka dia akan mendapatkan identitas asli yang akan menyandang namanya kelak. Aleandra Smith, terdengar tidak buruk.     

Tidak saja membuatkan identitas palsu untuk Aleandra, Max juga menutup semua informasi tentang gadis itu. Namanya, profesi dan dari mana dia berasal, semua itu tidak akan ditemukan oleh siapa pun. Sebab itu OLiver dan Austin tidak menemukan apa pun dan tentunya hal itu membuat Oliver murka.     

Dia tahu tidak mudah tapi mereka terlambat menyadari jika kelemahan Maximus adalah orang yang mereka tawari kerja sama waktu itu. Seandainya mereka tahu lebih cepat? Pasti mereka sudah menculiknya dan sudah berhasil melancarkan balas dendam.     

"Sial, aku tidak menyangka kita sudah tertipu. Seandainya kita menyadari hal ini lebih cepat?" Oliver mengusap wajah, kesal.     

"Tidak perlu khawatir, Sayang. Kita punya banyak cara untuk mengetahui siapa sebenarnya gadis itu," ucap Austin menenangkan kekasihnya.     

"Bagaimana, Austin? Semua informasi tentang dirinya sulit kita temukan! Aku benar-benar menyesal. Seandainya waktu itu kita tahu akan kelemahannya itu, kita pasti sudah bisa melakukan balas dendam kita!"     

"Bersabarlah, ini hanya masalah waktu saja. Cepat atau lambat, kita pasti bisa membalaskan dendam kita! Sekarang kita tidak perlu bergerak, Maximus pasti semakin waspada karena dia sudah tahu jika ada yang mengintai rumahnya. Sekarang kita mundur terlebih dahulu sambil mengumpulkan informasi tentang gadis itu. Kita pasti bisa menemukannya walau dia sudah menyembunyikannya sedemikian rupa. Jika kita terburu-buru, kemungkinan kita yang akan gagal. Sebaiknya perlahan tapi pasti, mungkin kita bisa menemukan sekutu lain sehingga kekuatan yang kita miliki semakin besar dan kemenangan pun bisa kita dapatkan dengan mudah."     

Oliver belum menjawab, apa yang dikatakan oleh Austin sangat benar. Jika mereka terburu-buru, kemungkinan besar mereka akan gagal. Mereka tahu konsekuensi dari kegagalan dan kekalahan mereka. Mereka akan berakhir tragis oleh sebab itu, mereka harus memiliki rencana yang sangat matang.     

"Percayalah padaku, Sayang. Kita hanya perlu bersabar sebentar lagi. Kemenangan pasti akan kita dapatkan jika kita bersabar," ucap Austin.     

"Baiklah, aku percaya padamu," Oliver berusaha tersenyum.     

"Bagus, kita tidak bisa mengintai rumahnya lagi tapi kita bisa mengintainya di tempat lain. Sekarang kita pergi, kita bisa mengintai di kantornya. Mungkin dari sana kita bisa menemukan petunjuk."     

Oliver mengangguk, memang sebaiknya mereka pergi untuk mengumpulkan informasi walau sedikit. Selain mengintai di tempat itu, mereka tidak memiliki tempat untuk mengintai lagi. Jika mereka mengintai di kediaman keluarga besar keluarga Smith, itu namanya mengantar nyawa.     

Sementara itu, identitas Aleandra sudah jadi. Jared membawa identitas sementara milik Aleandra ke dalam ruangan bosnya. Max sedang sibuk dengan pekerjaannya saat Jared masuk ke dalam, Aleandra tidak datang karena dia kurang tidur tapi Max memerintahkannya datang ke kantor saat jam makan siang.     

Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, Aleandra sudah hampir selesai dengan makanan yang dia buat. Entah kenapa dia jadi merasa seperti istri yang begitu perhatian pada suaminya.     

Selama membuat makanan, Aleandra terlihat termenung karena ada yang dia pikirkan. Semua itu tentang Fedrick. Dia sudah mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungannya dengan Fedrick tapi dia belum menemukan cara untuk menghubunginya.     

Dia tidak bisa menggunakan ponsel yang diberikan oleh Maximus, dia juga tidak bisa menggunakan telepon yang ada di rumah itu. Dia tidak ingin Maximus tahu jika dia menghubungi kekasihnya untuk mengakhiri hubungan mereka tapi bagaimana caranya agar dia bisa menghubungi Fedrick tanpa ketahuan?     

Aleandra memikirkan hal itu begitu lama sampai akhirnya dia mendapatkan satu cara yaitu telepon umum. Hanya itu satu-satunya cara yang dia miliki untuk menghubungi Fedrick. Dia tahu sangat berbahaya tapi dia tidak punya pilihan lain. Sepertinya memang harus dia lakukan, cara itu juga bisa menyamarkan keberadaannya. Jika ada yang menyadap percakapannya, orang itu tidak akan tahu posisi pastinya karena dia menggunakan telepon umum. Bagaimanapun dia harus waspada, bukan?     

Karena merasa itu cara yang paling baik, Aleandra memutuskan akan menghubungi Fedrick menggunakan telepon umum walaupun dia tahu itu sangat berisiko. Dia akan menghubungi Fedrick setelah mengantar makan siang untuk Max. Dia akan menggunakan alasan jika dia ingin pergi membeli barang milik pribadi wanita, semoga Max tidak keberatan.     

Makanan sudah jadi, Aleandra bergegas mengganti bajunya. Dia akan pergi bersama supir yang sudah disiapkan oleh Max untuk mengantarnya pergi. Tidur pun sudah cukup dan beruntungnya dia tidak terbangun dalam kotak yang tertutup. Walau sesungguhnya dia sangat ingin mencobanya tapi sepertinya lain kali dia akan mencoba tidur di dalam kotak aneh itu.     

Setelah siap, Aleandra bergegas. Dua pasang mata mengintainya saat dia sudah tiba dan turun dari mobil. Tentunya itu adalah Oliver dan Austin. Mereka tidak menduga jika mereka akan benar-benar melihat gadis itu di sana.     

"Kau lihat, dia datang," ucap Austin.     

"Lalu? Apa yang bisa kita lakukan?" tanya Oliver. Gadis itu memang datang ke tempat itu, lalu? Apa yang bisa mereka lakukan?     

"Besok kita kembali lagi. Jika gadis itu datang ke tempat ini setiap hari maka kita harus memiliki mata-mata lebih."     

"Baiklah, yang kau ucapkan sangat benar. Kita memang harus memiliki mata-mata lebih untuk memantau mereka," ucap Oliver. Karena mereka tidak mau membuang waktu di sana jadi mereka pergi. Lagi pula mereka tidak tahu berapa lama Aleandra di tempat itu.     

Aleandra masuk ke dalam tanpa tahu ada yang mengawasi, seorang pegawai Maximus membawanya naik ke atas. Aleandra tersenyum saat melihat pria itu. Dia akan membujuk Max agar mengijinkannya pergi sendirian agar dia bisa menghubungi Fedrick.     

"Kenapa kau baru datang, Aleandra?" Max meletakkan dokumen yang sedang dia periksa ke atas meja.     

"Maaf, apa aku terlalu lama?"     

"Tidak, kemarilah!" perintah Maximus seraya mengulurkan tangannya.     

Aleandra melangkah mendekat dan meletakkan makanan yang dia buat ke atas meja. Maximus meraih tangannya dan menariknya hingga Aleandra duduk di atas pangkuannya.     

"Bagaimana tidurmu, apa sudah cukup?" tanya Max seraya mendaratkan ciumannya di pipi Aleandra.     

"Tentu saja, aku sangat bersyukur tidak terbangun di dalam kotak."     

Max terkekeh, dia memang sengaja tidak menutup kotak itu dan meninggalkan Aleandra yang masih tidur dengan pulas tadi pagi.     

"Jika begitu malam ini, kau harus mencobanya."     

"Boleh juga, aku penasaran!" ucap Aleandra.     

"Bagus!" Max menarik laci dan mengambil identitas palsu yang sudah dia simpan di sana.     

"Ini untukmu, mulai sekarang kau tidak perlu khawatir lagi tapi ini hanya untuk sementara saja," ucap Maximus seraya memberikan identitas palsu ke tangan Aleandra.     

Aleandra melihatnya. Amy, itu nama samaran yang dia gunakan dulu dan sekarang nama itu digunakan di identitas palsunya.     

"Bagaimana? Kau tidak keberatan menggunakan nama itu lagi, bukan?"     

"Tentu tidak, nama ini lebih baik. Terima kasih, Max," Aleandra mengangkat wajahnya untuk mencium pipi Maximus.     

"Berterima kasihlah dengan baik, Aleandra," Max mengangkat dagu Aleandra dan mencium bibirnya.     

Alandra membalas ciuman yang pria itu berikan, dia rasa ini saatnya meminta ijin pada Maximus. Dia harap Max mengijinkan dirinya pergi seorang diri agar dia bisa menghubungi Fedrick.     

Maximus menghisap bibir bagian bawahnya, bibir gadis itu sudah bagaikan candu baginya. Jika tidak berada di kantor, dia akan menghisap bagian lainnya. Tangannya sedang mengusap paha Aleandra dan memijitnya dengan sensual. Jantung Aleandra berdebar, tangannya sudah berada di atas punggung tangan Maximus untuk menahan tangannya agar tidak bergerak lebih jauh.     

"Max, a-ada yang ingin aku bicarakan," ucap Aleandra saat Maximus sedang mencium lehernya.     

"Katakan!" Max masih mencium lehernya tanpa henti.     

"Bo-Bolehkah aku pergi keluar sebentar?"     

"Untuk apa?"     

"Aku ingin membeli barang-barang keperluanku," dusta Aleandra.     

"Jika begitu Rebeca yang akan pergi membelikannya!"     

"Jangan, aku ingin membelinya sendiri," Aleandra masih berusaha membujuk.     

"Tidak, kau tahu di luar sangat berbahaya untukmu, Aleandra."     

"Aku tahu," Aleandra memegangi wajah Maximus dan memandangi wajahnya.     

"Aku hanya sebentar saja dan tidak jauh, aku berjanji akan jaga diri jadi ijinkan aku pergi sebentar," pintanya.     

"Tidak! Katakan apa yang kau inginkan maka Rebeca yang akan membelikannya!" Maximus masih tidak mengijinkan.     

"Max!" Aleandra jadi kesal.     

"Jangan membantah, Aleandra. Apa kau lupa kejadian di hutan itu? Apa kau ingin mengulangi kejadian itu? Kemungkinan musuh mengirim orang yang lebih kuat dan jika sampai kau dikejar lagi, aku yakin kau tidak akan selamat!"     

Aleandra menunduk. Sudah dia duga Max tidak akan mengijinkan dirinya pergi seorang diri tapi dia harus tetap menghubungi Fedrick. Seharusnya dia tidak meminta ijin pada Max dan langsung melakukan apa yang ingin dia lakukan. Entah kenapa dia jadi menyesal.     

"Hei, aku melakukan hal ini untuk keselamatan dirimu," ucap Max seraya mengusap wajahnya.     

Aleandra berusaha tersenyum, sepertinya dia memang harus mencari cara lain.     

"Baiklah," jawab Aleandra.     

"Jika begitu ayo kita makan," ajak Maximus seraya mencium bibirnya.     

Aleandra kembali mengangguk. Max memandanginya dengan tatapan curiga, jangan-jangan ada yang Aleandra sembunyikan darinya. Dia jadi curiga, sepertinya Aleandra pergi bukan untuk membeli barang. Aleandra semakin tidak bersemangat dan hal itu membuat rasa curiga Max semakin tinggi.     

"Baiklah," ucap Max tiba-tiba, "Kau boleh pergi," ucapnya lagi.     

"Benarkah?" Aleandra mengangkat wajah dan dalam sekejap mata saja wajahnya sudah terlihat berseri.     

Max mengangkat satu alisnya, sudah dia duga ada yang disembunyikan gadis itu darinya.     

"Tentu, aku tidak suka melihat wajahmu murung seperti ini," ucap Max seraya mencium bibir Aleandra yang sudah bagaikan candu baginya.     

"Oh, Max. Terima kasih," Aleandra memeluk Maximus. Dia sangat senang tapi dia tidak tahu jika Maximus sengaja mengijinkannya pergi untuk melihat apa yang ingin dia lakukan. Jika Aleandra berani melakukan sesuatu dan mengkhianatinya, maka tidak akan dia maafkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.