Hi's Like, Idiot But Psiko

Kenapa Kau Berbohong?



Kenapa Kau Berbohong?

0Fedric sudah kembali ke dalam ruangannya setelah menyelesaikan rapat. Sang sekretaris menghampiri dengan terburu-buru karena ada yang hendak dia sampaikan pada bosnya.     

Jujur saja dia penasaran dengan wanita yang mencari bosnya tadi. Telepon terputus begitu saja sebelum wanita itu menjawab pertanyaan darinya. Dia rasa bosnya harus tahu mengenai hal itu.     

Sang sekretaris menghampiri Fedrick yang sudah duduk dan memeriksa pekerjaan. Setelah ini Fedrick berencana pergi untuk mencari Aleandra.     

"Sir, beberapa jam yang lalu ada yang mencari anda," ucap Sekretarisnya.     

"Siapa?" tanya Fedrick tanpa melihat ke arah sekretarisnya.     

"Entahlah, seorang wanita."     

"Siapa?" Fedrick beranjak dari tempat duduknya dan menatap sekretarisnya dengan tatapan tajam.     

"Entahlah, wanita itu tidak mengatakan siapa dirinya padahal aku sudah bertanya padanya."     

"Apa dia tidak mengatakan apa pun?" tanya Fedrick. Dia merasa jika yang menghubungi adalah Aleandra tapi kenapa Aleandra tidak menghubungi ponselnya sehingga dia bisa menghubungi Aleandra kembali?     

"Tidak, dia hanya berkata jika dia ingin berbicara dengan anda dan tidak mengatakan apa pun padahal aku sudah bertanya dan memintanya meninggalkan pesan," jawab sang sekretaris.     

"Sial!" teriak Fedrick seraya menjatuhkan diri di atas tempat duduknya. Dia semakin yakin jika yang mencarinya adalah Aleandra.     

Aleandra pasti ketakutan sehingga dia tidak berani mengatakan apa pun. Mungkin dia tidak percaya dengan siapa pun lagi, sebab itu dia waspada dan hati-hati.     

"Sir?" sang sekretaris menatapnya dengan ekspresi heran.     

"Dengar ini baik-baik. Jika wanita itu kembali menghubungi dan mencariku, tidak peduli apa pun yang sedang aku lakukan, kau harus mencari aku agar aku bisa berbicara dengannya. Tahan dia agar tidak menutup teleponnya!" perintah Fedrick.     

"Yes, Sir. Lain kali aku akan menahannya."     

"Jika begitu kau boleh keluar!" ucap Fedrick.     

Sekretarisnya segera keluar tanpa berkata apa-apa. Dia bisa melihat jika bosnya sedang pusing dan frustasi. Sepertinya wanita yang mencarinya sangat penting sehingga bosnya terlihat seperti itu.     

Setelah sekretarisnya pergi, Fedrick menunduk. Kesedihan tersirat di wajahnya, penyesalan memenuhi hati. Dia sangat yakin yang menghubungi dan mencarinya tadi adalah Aleandra, dia sangat yakin itu. Seandainya dia membatalkan rapatnya hari ini, dia pasti bisa berbicara dan mengetahui keberadaannya. Bisakah waktu diulang kembali?     

Jika dia berada di ruangannya saat itu? Fedrick mengusap wajah dengan kasar dan menghembuskan napas beratnya.     

"Please, Aleandra. tolong hubungi aku kembali. Aku sangat merindukanmu dan aku berjanji akan menjagamu dan kali ini aku tidak akan mengabaikan dirimu seperti yang pernah aku lakukan."     

Fedrick menunduk, tubuhnya bergetar. Sial, sekarang dia benar-benar merasa kehilangan Aleandra dan dia baru menyadari jika dia sangat mencintai Aleandra. Seandainya waktu bisa diulang, yeah ... jika bisa diulang maka dia tidak akan menyia-nyiakan waktu kebersamaannya dengan Aleandra. Dia akan menunjukkan kasih sayang dan memberikan cintanya untuk Aleandra. Dia akan meluangkan lebih banyak waktu untuk Aleandra. Dia juga akan membuat Aleandra bahagia tapi sayangnya, semua yang sudah terjadi tidak bisa diulangi dan dia hanya bisa menyesal karena selama ini dia tidak mempedulikan hubungan mereka berdua.     

Air mata Fedrick bahkan menetes karena penyesalan yang dia rasakan menyesakkan dadanya. Tidak saja rasa penyesalan tapi rasa rindu dengan Aleandra memenuhi hati. Setidaknya dia tahu jika Aleandra masih hidup karena dia sangat yakin seratus persen jika yang menghubunginya adalah Aleandra dan dia sangat berharap Aleandra kembali menghubunginya agar dia bisa menebus kesalahan yang telah dia lakukan selama ini tapi sayangnya, tujuan Aleandra menghubunginya karena dia ingin mengakhiri hubungannya dengan Fedrick dan pada saat Fedrick tahu, apakah dia akan merelakan Aleandra? Apakah dia menyerah atau justru sebaliknya?     

.     

.     

Suasana hati Maximus sedang buruk karena Aleandra menghubungi seorang pria yang bernama Fedrick tanpa sepengetahuannya. Siapa pun pria itu, tidak seharusnya Aleandra menghubungi pria itu secara diam-diam. Seharusnya Aleandra mengatakan hal itu tapi kenapa dia lebih memilih diam?     

Mata Maximus menatap para karyawannya dengan tajam, ekspresi wajahnya terlihat mengerikan. Tidak ada yang berani bersuara, tidak ada pula yang berani melihat ke arahnya. Setelah selesai mendengar percakapan Aleandra, Max mengumpulkan karyawannya untuk rapat tapi suasana hati yang kacau, membuat suasana terasa mencekam.     

Karena Maximus tidak ada di dalam ruangannya ketika dia kembali, jadi Aleandra memilih untuk pulang. Dia tahu Maximus sedang sibuk dan dia tidak mau mengganggu pria itu. Sebelum pergi Aleandra menitipkan pesan pada Rebeca dan memintanya untuk mengatakan pada Max jika dia pulang ke rumah. Tentu hal itu semakin membuat Maximus marah, dia beranggapan jika kepulangan Aleandra karena gadis itu tidak ingin dia melihat kesedihan yang dia rasakan akibat tidak bisa berbicara dengan Pria yang bernama Fedrick.     

Max tersenyum sinis, sungguh pandai tapi dia tidak akan termakan dengan spekulasi yang dia buat sendiri. Dia akan pulang dan melihat, apakah Aleandra mau berkata jujur tentang apa yang dia lakukan di luar sana atau tidak. Dia harap Aleandra mau jujur sehingga gadis itu tidak membuatnya kecewa.     

Setelah kembali, Aleandra tampak termenung. Perasaannya kacau, padahal dia sangat berharap bisa berbicara dengan Fedrick sehingga dia bisa mengakhiri hubungan mereka karena dia takut bimbang dan sekarang, dia jadi bimbang apalagi dia tahu, kesempatan untuk menghubungi Fedrick akan sulit dia dapatkan.     

Aleandra menghela napas, sudahlah. Lain kali dia akan pergi diam-diam tanpa sepengetahuan Maximus. Yang penting dia sudah tahu di mana telepon umum berada dan dia akan pergi dengan menyamar. Dia tidak tahu jika Max sudah tahu apa yang dia lakukan dan siapa yang dia hubungi dan tentunya Max sedang dalam perjalanan pulang untuk mencari tahu siapa sebenarnya Fedrick. Dia sangat berharap Aleandra mau jujur tanpa menutupi hal itu darinya.     

Dari pada tidak melakukan apa pun, Aleandra pergi ke dapur untuk membuat makan malam. Walau sudah ada dua pelayan tapi dia tetap membuatkan makan malam untuknya dan Maximus. Dia sedang sibuk ketika Max sudah tiba, Maximus melangkah cepat masuk ke dalam rumahnya.     

Dia tahu Aleandra ada di mana, suaranya terdengar sedang berbicara dengan pelayan di dapur. Kedua pelayan yang sedang membantu Aleandra menunduk melihat kedatangannya, dengan isyarat tangan, Maximus meminta mereka untuk pergi.     

Maximus berusaha menahan emosi dan bersikap manis. Sungguh hanya Aleandra Feodora saja yang bisa membuatnya seperti itu. Jika wanita lain, dia tidak mau mempedulikannya. Dia bahkan harus bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa pun dan seperti tidak pernah mendengar apa pun.     

Aleandra terkejut saat tangan Max sudah melingkar di pinggangnya. Maximus harap dengan sikapnya itu, Aleandra mau jujur tanpa menyembunyikan apa pun. Yang dia butuhkan adalah kejujuran dari Aleandra.     

"Kau sudah kembali rupanya," ucap Aleandra.     

"Kenapa kau tidak menunggu aku dan pulang sendiri?" Max mendaratkan bibirnya ke pipi Aleandra.     

"Aku tidak mau mengganggumu, Max. Aku tahu kau sibuk jadi aku memilih untuk pulang."     

"Baiklah jika begitu, sekarang katakan padaku apa yang kau lakukan di luar sana?" Max mulai ke topik pembicaraan.     

"Membeli barang," jawab Aleandra.     

Max memejamkan mata, membeli barang? Ternyata Aleandra berbohong seperti yang dia ucapkan sebelum pergi. Saat ini dia masih bersabar,benar-benar masih bersabar. Dia bahkan berusaha agar emosi tidak memenuhi hatinya.     

"Mana barang yang kau beli?" tanya Maximus.     

"Di-Di dalam kamar," jawab Aleandra sambil menyelipkan rambutnya di belakang telinga.     

"Oh, boleh aku melihatnya?" Dada Maximus turun naik, rasanya ingin mencekik leher Aleandra saat itu juga karena gadis itu berani membohonginya.     

"Untuk apa kau melihatnya, Max? Aku membeli pembalut dan beberapa barang lainnya."     

"kau yakin? Apa kau tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku, Aleandra?" tanya Maximus.     

"Me-Menyembunyikan apa?" Aleandra melepaskan tangan Maximus dan melangkah pergi. Apa maksud perkataan pria itu? Apa Maximus tahu apa yang dia lakukan di luar sana?     

"Aleandra, aku tidak suka dibohongi!" ucap Max seraya menekan ucapannya.     

Aleandra diam, sedangkan Maximus kembali memejamkan mata karena dia sedang menahan emosi yang meluap di hati. Kedua tangannya sudah mengepal dengan erat, jika bukan Aleandra yang berdiri di hadapannya saat ini sudah dia pastikan gadis itu sudah tidak bernyawa.     

Maximus memilih pergi, suara pintu kamar yang dibanting dengan keras membuat Aleandra terkejut. Aleandra masih tidak bergeming, dia sedang memikirkan apa yang dimaksud oleh Maximus. Apa Max tahu apa yang dia lakukan?     

Aleandra masih diam, otaknya terus bekerja sampai akhirnya dia menyadari dan dia sangat yakin jika Maximus tahu apa yang telah dia lakukan dan pria itu tahu jika dia berbohong dan tidak membeli barang seperti yang dia ucapkan.     

Ini buruk, dia tidak mau pria itu marah karena dia tahu akibatnya. Aleandra berlari menuju kamar Maximus, sebaiknya dia berkata jujur dan mengatakan pada Maximus jika dia menghubungi kekasihnya yang ada di Rusia untuk mengakhiri hubungan mereka.     

"Max!" Aleandra berteriak dan membuka pintu kamar.     

Maximus sedang berdiri di bawah guyuran air shower untuk mendinginkan kepalanya dan meredakan emosi yang sedang meluap di hati. Dia tidak ingin emosi itu menguasai hati sehingga dia melukai Aleandra walau sesungguhnya dia tidak suka ada satu orang pun yang menipunya.     

"Max," Aleandra kembali memanggil. Suara air di kamar mandi membuat Aleandra tahu jika pria itu ada di dalam sana. Dia tidak peduli karena dia tidak mau berbohong lagi dan akan mengatakan pada Max apa yang dia lakukan dan siapa Fedrick.     

"Max, aku ingin berbicara denganmu!" Aleandra menerobos masuk ke dalam kamar mandi.     

Max masih berdiri di bawah guyuran air shower, matanya melihat ke arah Aleandra dan menatapnya tajam.     

"Apa kau tahu risiko menerobos masuk saat aku sedang mandi, Aleandra?" tanya Max dengan nada dingin.     

"Aku tahu, aku minta maaf tapi ada yang ingin aku bicarakan denganmu," Aleandra melangkah mendekat, dia harus menjelaskan pada Max saat itu juga.     

Napas Max tampak memburu, itu karena dia sedang menahan diri. Padahal dia sedang meredakan emosi tapi keberadaan gadis itu justru membuat emosinya memenuhi hati.     

"Max, sebenarnya aku keluar bukan untuk membeli barang. " Aleandra semakin mendekat dan tiba-tiba saja dia berteriak karena Maximus menarik tangannya dan mencengkeram dagunya dengan erat.     

"Jadi apa yang kau lakukan, Aleandra?" tanya Maximus.     

Aleandra ketakutan, rahangnya sakit akibat cengkeraman tangan Maximus. Tubuhnya basah karena guyuran air shower, Max tidak juga mengurangi cengkeramannya bahkan dia sangat ingin mematahkan rahang Aleandra.     

"Sa...kit, Max!" ringis Aleandra.     

"Katakan padaku, kenapa kau berbohong?!" tanya Maximus.     

Aleandra semakin ketakutan, tidak seharusnya dia berbohong karena Maximus Smith tampak begitu menakutkan saat ini. Sekarang, apakah Max akan percaya dengan apa yang akan dia ucapkan nanti? Dia sangat berharap tapi Max, benar-benar terlihat menakutkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.