Hi's Like, Idiot But Psiko

Aku Tidak Tahu Apa Pun



Aku Tidak Tahu Apa Pun

0Aleandra memukul tangan Maximus karena rahangnya semakin sakit. Pria itu benar-benar tidak bercanda tapi sesungguhnya dia tidak tahu jika Maximus berusaha menahan diri sebisa yang dia lakukan. Jika dia menuruti emosinya, rahang Aeandra pasti sudah dipatahkan olehnya.     

"Max," Aleandra memanggil dengan tatapan memohon. Dia harap pria itu mau mendengarkan penjelasan darinya dan berhenti menyakitinya.     

Max masih mencengkeram rahang Aleandra, tatapan sendu gadis itu dan ekspresi wajahnya yang memohon membuatnya tidak tega. Max mendorong tubuh Aleandra dan memutar langkah. Dari pada dia menyakiti gadis itu lebih baik dia melepaskan gadis itu.     

"Pergi, Aleandra!" ucapnya sinis.     

"Tidak, aku tahu aku salah. Tidak seharusnya aku berbohong tapi aku melakukan hal itu agar tidak ada yang tahu di mana posisiku saat ini. Aku takut ada yang menyadap pembicaraanku sehingga keberadaanku ketahuan," ucap Aleandra.     

"Apa kau pikir aku akan percaya lagi dengan ucapanmu setelah kebohongan yang kau ucapkan?"     

"Please, kali ini aku tidak berbohong," Aleandra memberanikan diri berjalan mendekatinya dan memeluknya dari belakang. Mau dipukul atau apa pun dia tidak peduli, yang pasti dia harus menjelaskan sampai Max percaya padanya.     

"Setelah ini kau mau memukul aku atau kau ingin membunuhku, aku tidak keberatan. Sejak awal aku sudah pasrah mati di tanganmu tapi dengarkan perkataanku terlebih dahulu. Aku tidak bermaksud membohongimu tapi aku terpaksa."     

"Kenapa? Apa kau tidak ingin aku tahu?" Max masih bersikap dingin.     

"Ya, aku memang tidak ingin kau tahu karena aku ingin menghubungi kekasihku yang ada di Rusia!" ucap Aleandra tanpa ragu.     

Aleandra melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, air shower yang mengguyur membuatnya mulai kedinginan. Terserah apa yang terjadi, dia memang sudah salah karena membohongi Maximus.     

"Jadi Fedrick adalah kekasihmu?" Max memutar langkahnya dan mendekati Aleandra. Gadis itu diam, saat Maximus menghimpitnya ke dinding kamar mandi.     

"Dia memang kekasihku, Max. Aku sudah menjalin hubungan dengannya begitu lama tapi hubungan kami memang tidak seperti pasangan kekasih. Kepergianku untuk mencari telepon umum karena aku ingin berbicara dengannya. Aku tidak bisa menggunakan ponsel dan juga telepon rumahmu karena aku takut ada yang menyadap pembicaraanku sehingga ada yang tahu keberadaanku. Telepon umum menjadi pilihan karena lokasiku tidak akan ketahuan jika ada yang menyadap pembicaraanku!"     

"Tapi kau bisa meminta bantuanku, Aleandra. Aku bisa membantumu menyembunyikan posisimu jika kau memang takut ada yang melacak posisimu saat kau sedang menghubungi pria bernama Fedrick itu. Seharusnya kau tidak membohongiku dan tidak menyembunyikan hal ini dariku. Apa kau tidak percaya padaku atau kau pikir aku tidak mampu melakukannya?"     

"Aku tidak tahu," Aleandra membuang wajahnya.     

"Aku tidak tahu apa pun... aku tidak tahu apa pun tentangmu, Max. Selama ini yang aku tahu kau orang yang menawan aku, aku hanya tahu kau orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan. Selain itu aku tidak tahu apa pun lagi tentangmu. Aku tidak tahu apa yang bisa kau lakukan dan apa keahlianmu. Yang aku tahu kau suka bersembunyi di dalam lemari dan tidur di kotak aneh itu. Yang lainnya aku tidak tahu lagi!" ucap Aleandra.     

Max tersenyum, pinggang Aleandra diraih sehingga tubuh mereka berdua merapat. Aleandra menatapnya dengan tatapan tidak mengerti, kenapa ekspresi pria itu jadi berubah?     

"Sepertinya ada yang belum kau ucapkan, Aleandra," ucapnya.     

"A-Apa?" Aleandra terlihat gugup.     

"Selain yang kau sebutkan itu, bukankah kau sudah tahu semua bentuk tubuhku?"     

"I-Itu pengecualian!" Aleandra membuang wajahnya yang memerah.     

"Baiklah, sekarang katakan padaku. Kenapa kau menghubungi Fedrik dan kenapa kau tidak ingin aku tahu jika kau menghubunginya?"     

"Aku tidak ingin kau tahu karena aku menghubunginya untuk mengakhiri hubungan kami berdua," Aleandra masih memalingkan wajahnya.     

"Kenapa?" Max memegangi dagunya sehingga mereka berdua saling pandang.     

"Karena aku sudah memutuskan untuk bersama denganmu. Aku tahu aku tidak boleh serakah dan harus melepaskan dirinya," wajah Aleandra kembali memerah, pandangannya bahkan berpaling ke samping agar dia tidak melihat Max secara langsung.     

"Jadi kau memilih bersama denganku?" tanya Maximus. Aleandra menjawab dengan anggukan, memang dia sudah memutuskan hal demikian.     

"Kenapa? Katakan padaku apa alasanmu memilih aku dan ingin mengakhiri hubunganmu dengan pria yang sudah menjalin hubungan denganmu begitu lama? Apa kau memilih aku karena aku bisa membantumu balas dendam sedangkan dia tidak?"     

"Tidak!" teriak Aleadra pelan. Matanya kembali menatap Maximus.     

"Aku memilih bersama denganmu karena kau memberikan apa yang tidak diberikan Fedrick untukku selama ini," ucap Aleandra.     

"Apa yang kau maksud materi?"     

"Bukan, Fedrick juga memiliki uang. Dia memberikan apa yang aku mau dan membelikannya tapi dia tidak memiliki waktu untukku. Sudah aku katakan, kami tidak seperti pasangan kekasih karena Fedrick sibuk dengan dunianya sendiri dan lebih mencintai pekerjaannya dari pada aku," Aleandra tersenyum pahit setelah mengatakan hal itu.     

"Kami memang berpacaran tapi dia tidak seperti pacarku. Kami jarang menghabiskan waktu bersama. Apa kau tahu kenapa aku masih perawan? Kami tidak pernah bermesraan bahkan ciuman bibir saja jarang kami lakukan. Aku memutuskan memilih dirimu karena kau memberikan waktu dan perhatianmu padaku. Aku tidak tahu aku sudah memiliki cinta di hatiku untukmu atau tidak tapi yang pasti aku lebih ingin bersama denganmu. Sebab itu aku harus memutuskan Fedrick agar dia tidak mencari dan menunggu aku apalagi aku sudah tidak mau kembali ke Rusia dan tinggal di sana."     

"Apa kau serius dengan ucapanmu, Aleandra? Satu kali lagi aku tegaskan padamu, sekali kau memutuskan untuk bersama denganku maka selamanya kau tidak akan pernah bisa lepas dariku."     

"Aku tahu," Aleandra melingkarkan kedua tangannya ke leher Maximus, "Lagi pula sejak awal aku sudah tidak bisa pergi darimu, bukan?" ucapnya lagi.     

"Bagus jika kau sudah tahu!" Max menunduk dan memberikan kecupan di bibir Aleandra.     

"Kau harus ingat, Aleandra. Aku paling tidak suka dibohongi jadi jangan pernah berbohong padaku lagi karena apa pun yang kau lakukan aku akan tahu!"     

"Benarkah, apa kau punya banyak mata?" tanya Aleandra.     

"Yes, cctv adalah mata kedua dan jika tidak ada cctv satelit yang akan menjadi penggantinya. Oleh sebab itu, aku akan tahu apa pun yang kau lakukan di luar sana!"     

"Baiklah, maaf jika sudah membohongimu. Mulai sekarang aku akan meminta bantuan padamu saat aku ingin menghubungi Fedrick."     

"Bagus!" Max mencium bibirnya dan merapatkan tubuh mereka hingga tidak memiliki jarak.     

Jantung Aleandra berdebar, dia benar-benar bisa merasakan sosis Amerika menempel di bagian bawah tubuhnya. Max menghisap bibir bagian bawahnya lalu dia kembali mengulum bibir Aleandra dan memasukkan lidahnya ke dalam.     

Tangannya sudah berada di baju Aleandra dan mengangkatnya perlahan. Bibir mereka terlepas saat Max mengangkat baju Aleandra ke atas. Napas Aleandra tampak berat, kedua tangannya berada di dada Max untuk mengusap otot dadanya.     

Bra yang dia pakai dilepas dan dilemparkan, Max kembali merapatkan tubuh mereka berdua dan mencium bibirnya. Jantung Aleandra semakin berdegup cepat karena sosis Amerika sudah tegak berdiri.     

Desahannya terdengar saat Max meremas dadanya dan memainkan puncak dadanya menggunakan jari. Aleandra tahu itu salah tapi dia tidak mau menghentikan Maximus.     

Bibir Maximus sudah berada di lehernya, memberikan kecupan dan meninggalkan beberapa tanda di sana. Aleandra memandanginya sambil menggigit bibir, persetan. Dia sangat ingin merasakan lebih dari pada itu.,     

"Ahh...!" Aleandra mendesah panjang saat Maximus memainkan ujung dadanya. Bibir pria itu sudah berada di sana, dia tidak juga menikmatinya dan hanya menggoda puncak dada Aleandra dengan bibirnya. Tentu hal itu membuat Aleandra gelisah, rasanya ingin berteriak agar Maximus segera menghisapnya.     

"Max," Aleandra memanggil dengan suara serak karena nafsu yang sudah membakar.     

"Apa yang kau inginkan, Aleandra?" Max sengaja melakukan hal itu untuk menggoda Aleandra. Gadis itu berdiri dengan gelisah, sesuatu yang ingin dia ucapkan terasa tersangkut di tenggorokan.     

"Katakan, apa yang kau inginkan?" Max memainkan lidahnya dan menjilat puncak dada Aleandra yang sudah mengeras.     

"Akh!" Aleandra mengerang hanya karena satu jilatan yang dia berikan.     

"Aku tanya padamu, Aleandra," Max berhenti menggodanya dan memandangi Aleandra dengan tajam, "Apa kau bersedia menyerahkan dirimu malam ini? Jika kau bersedia maka kita lanjutkan tapi jika kau belum siap, kita lakukan lain kali. Aku memang menginginkan dirimu tapi aku tidak mau memaksa dirimu jika kau belum siap sama sekali. Kita bisa menghentikan hal ini sebelum kita berdua dikuasai oleh nafsu sehingga kita tidak bisa menghentikannya lagi!" ucap Max.     

"Aku?" Aleandra menggigit bibirnya dan menunduk. Tentu saja dia belum siap. Dia juga tidak mau melakukan hal itu untuk pertama kalinya di dalam kamar mandi.     

"Aku sudah tahu jawabannya, tidak perlu memaksakan diri," ucap Max seraya mengusap wajahnya perlahan.     

"Maafkan aku," ucap Aleandra tidak enak hati.     

"Tidak apa-apa, ayo kita berendam berdua," ajak Maximus.     

"Ti-Tidak, sebaiknya aku keluar saja," Aleandra mengambil baju dan juga bra miliknya yang ada di atas lantai. Sebaiknya mereka tidak melakukan hal itu karena dia rasa mereka tidak akan bisa berhenti lagi dan tidak bisa menguasai diri mereka lagi.     

Aleandra keluar dari kamar mandi dengan cepat, sedangkan Maximus melihat kepergiannya sambil mengumpat dalam hati. Sial, padahal mereka bisa melakukannya dan seharusnya dia tidak bertanya. Rasanya kesal dan tentunya dia butuh air dingin untuk meredakan nafsu yang sudah membakar dirinya.     

Tidak Maximus saja yang membutuhkan air dingin, Aleandra juga membutuhkannya. Gadis itu sudah berendam di dalam bathtub, wajahnya memerah mengingat sosis Amerika yang sudah berubah wujud menjadi sosis berotot.     

Oh, dia rasa malam ini dia tidak akan bisa tidur karena dia akan membayangkan sosis itu sepanjang malam. Bagaimana rasanya saat melakukan hubungan intim? Apakah akan sakit? Ataukah sebaliknya?     

"Sialan," umpat Aleandra. Entah kenapa dia merasa sedikit menyesal telah menolak sosis Amerika tapi tidak jadi soal karena cepat atau lambat dia akan merasakannya juga. Dari pada memikirkan hal itu, lebih baik dia bersyukur karena Maximus tidak marah padahal dia sudah menipu pria itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.