Hi's Like, Idiot But Psiko

Jadi Bimbang



Jadi Bimbang

0Mata Maximus terbuka ketika Aleandra memeluknya erat. Senyum menghiasi wajahnya saat melihat Aleandra masih tidur nyenyak di sisinya. Max memperhatikan wajah gadis itu begitu lama, jarinya bahkan bermain di garis wajah Aleandra.     

Max menelan ludahnya dengan kasar, matanya sudah jatuh ke bibir Aleandra yang menggoda. Jarinya juga sudah berada di bibir Aleandra dan mengusapnya perlahan. Rasanya ingin menikmati bibirnya tapi dia tidak ingin mengganggu tidur Aleandra.     

Tangannya tidak juga berhenti, kini matanya jatuh ke dada Aleandra dan lagi-lagi dia hanya bisa menelan ludahnya. Aleandra tidur dengan nyenyak, hal itu membuat Max ingin menggodanya.     

Ciumannya mendarat di dahi Aleandra, lalu turun ke hidung dan terus ke arah bibirnya. Kecupan lembut dia berikan di bibir Aleandra, karena kecupan yang dia berikan membuat Aleandra sedikit terganggu.     

"Hm!" Aleandra memutar tubuhnya tapi dia tidur kembali.     

Max tersenyum dan memeluknya dari belakang, kini bibirnya bermain di tengkuk Aleandra. Tangannya sedang mengusap lengan gadis itu dengan perlahan. Sial, dia tidak bisa berhenti bahkan tangannya sudah berada di pinggang Aleandra, mengusap lekukan tubuhnya.     

Aleandra bergerak sedikit tapi dia kembali tidur, sepertinya dia tidur dengan nyaman di dalam kotak. Dia bahkan tidak tahu jika Max sudah menutup kotak ranjangnya saat tengah malam. Senyum Max semakin lebar, kakinya sudah menjepit tubuh Aleandra dan tangannya berada di bagian perut gadis itu.     

Max mengusap bagian perutnya, dia semakin ingin menggoda gadis itu. Tangan Maximus sudah masuk ke dalam baju Aleandra dan naik ke atas. Dada Aleandra yang tidak ditutupi oleh penghalang menjadi sasarannya, Max meremasnya perlahan, membelai dan memainkan puncak dadanya.     

"Ahh...!" Aleandra mendesah tanpa sadar. Max semakin bersemangat, bibirnya masih menyelusuri tengkuk Aleandra. Tangannya semakin bergerak liar, rasanya ingin membalikkan tubuh Aleandra lalu menikmati dadanya menggunakan bibir. Desahan pelan Aleandra kembali terdengar, gadis itu bahkan berbalik dan tentunya itu adalah keuntungan bagi Maximus.     

Kini dia bisa melakukan apa yang dia mau, baju Aleandra sudah terangkat ke atas dan memperlihatkan kedua dadanya yang menggoda. Gadis itu mengernyitkan dahi dalam tidurnya, antara nyata dan tidak. Wajah Max sudah berada di dadanya, mencium kedua dadanya dengan perlahan. Oh, sesuatu bergejolak dalam dirinya, dia sudah lama tidak melakukan sex dan tentunya gairahnya berkobar dengan mudah.     

Rasanya ingin berhenti karena dia tahu Aleandra tidak akan mau melakukan hal itu tapi sedikit saja, dia rasa sudah cukup. Mata Max tidak lepas dari puncak dada Aleandra yang berwarna pink muda, jarinya mulai menyentuh dan memainkannya.     

"Ahh..!" Aleandra kembali mendesah, dia merasa sentuhan itu nyata tapi matanya terasa berat untuk terbuka.     

Dengan perlahan, Max menjilati puncak dadanya. Tentu hal itu kembali membuat erangan Aleandra kembali terdengar. Max sudah tidak bisa menahan diri lagi, ujung dada Aleandra di kulum dan di hisap dengan kuat. Tangannya bahkan sudah berada di paha Aleandra dan mengusapnya.     

Aleandra bergerak gelisah, dia rasa apa yang dia rasakan bukan mimpi karena rasa sakit dan nikmat itu terasa nyata. Max masih menghisap puncak dadanya secara bergantian saat Aleandra membuka mata dan melihat ke bawah di mana Maximus sedang menikmati kedua dadanya.     

"Akh... Max!" Aleandra memegangi wajah pria itu. Ternyata apa yang dia rasakan bukanlah mimpi semata.     

"Max, ahhh... apa yang kau lakukan?" tanya Aleandra di balik desahan napasnya.     

Max melepaskan dada Aelandra sejenak dan menatap gadis itu tapi tangannya tidak berhenti membelai puncak dada Aleandra.     

"Aku menginginkan dirimu, Aleandra. Aku sudah tidak bisa menahan diriku lagi."     

"Tapi, Max?" Aleandra kembali mendesah karena Max sudah menikmati dadanya lagi. Tangan pria itu bahkan sudah masuk ke dalam celana yang dia gunakan.     

"Akh... Jangan!" pinta Aleandra saat jari Maximus menekan area sensitifnya dari balik celana dalam yang dia gunakan.     

"Max, ahh.... stop!" pintanya. Dia benar-benar harus menghentikan kegiatan itu karena dia belum siap.     

Bibir Max sudah berada di perutnya. Nafsu benar-benar sudah menguasai dirinya. Seharusnya dia tidak mengganggu tidur Aleandra dan sekarang dia sudah tidak bisa berhenti lagi.     

"Max!" Aleandra mengangkat tubuhnya dengan cepat tanpa sadar saat itu ranjang sedang tertutup kotak.     

"Max!" Aleandra hendak memegangi kepala pria itu gara Max berhenti tapi, DHHUUKK!! Kepala Aleandra terbentur kotak dengan keras.     

"Aw, sakit!" Aleandra berteriak, sedangkan Maximus terkejut.     

"Aleandra, apa kau baik-baik saja?" Max segera mendekatinya. Api gairahnya langsung padam seketika.     

Aleandra meringkuk sambil memegangi kepalanya. Ringisannya bahkan terdengar karena rasa sakit di kepalanya. Max mengumpat dan membuka penutup tempat tidurnya. Sial, seharusnya dia membuka kotak itu terlebih dahulu.     

"Apa kau baik-baik saja?" Max kembali bertanya sambil mengusap kepala Aleandra.     

"Sakit," ucap Aleandra.     

"Maaf, seharusnya aku membuka penutupnya terlebih dahulu," Max sudah memeluknya, tangannya tak henti mengusap kepala Aleandra dan memberikan ciuman di sana.     

"Apa masih sakit?" tanyanya lagi.     

Aleandra menggeleng, tapi kini senyum tipis menghiasi wajahnya. Walau kepalanya terbentur tapi perhatian yang Maximus berikan membuat rasa sakitnya sudah tidak terasa.     

"Baiklah, tidurlah lagi. Tidak seharusnya aku mengganggu tidurmu."     

"Tidak apa-apa, tapi kepalaku sakit!" Aleandra menggosok kepalanya. Sepertinya sebuah benjol akan berada di sana tidak lama lagi.     

"Biarkan aku," Max menyingkirkan tangan Alaendra. Kini dia yang menggosok kepala gadis itu dengan pelan. Aleandra memeluknya dan terlihat manja. Tidak masalah dia bermanja pada pria itu, bukan? Selama ini dia tidak pernah bermanja dengan Fedrick, dia tidak pernah merasakan manisnya masa pacaran bahkan dia tidak pernah mendapatkan perlakuan manis dari Fedrick dan sekarang, semua itu dia dapatkan dari Maximus. Sebagai seorang wanita, tentu dia ingin dicintai dan merasakan manisnya pacaran.     

Maximus tersenyum dan mencium dahinya, walau gagal tapi dia merasa pagi ini sangat berbeda. Setidaknya sudah ada seseorang yang bersama dengannya saat ini. Paginya yang membosankan tidak akan ada lagi selama Aleandra bersama dengannya.     

"Bagaimana, apa masih sakit?" tanya Maximus.     

"Bagaimana jika aku berkata iya?" Aleandra balik bertanya.     

"Jika begitu kepalamu harus di benturkan sekali lagi agar rasa sakitnya lebih berasa!" ucap Max bercanda.     

"Enak saja!" Aleandra memukul dadanya dengan wajah cemberut.     

Max terkekeh dan untuk kesekian lagi, sebuah ciuman kembali mendarat di pipi dan dahi Aleandra. Dia tidak akan bosan melakukan hal itu. Mata Aleandra sudah terpejam untuk menikmati ciuman yang dia berikan.     

Mereka berdua berpelukan, rasanya pagi itu sangat berharga dan tidak boleh mereka lewatkan. Aleandra membuka mata ketika Max membelai rambutnya.     

"Oh, aku lupa. Kapan kau menutup kotaknya?" tanya Aleandra. Hari ini dia harus menuntaskan rasa penasarannya dengan tempat tidur aneh itu.     

"Saat kau sudah terlelap."     

"Oh, ya? Tapi kenapa tidak panas?" tanya Aleandra. Seharusnya mereka kepanasan karena kotak tertutup.     

"Tentu saja tidak. Kemarilah, aku akan menunjukkan padamu beberapa hal."     

Aleandra naik ke atas tubuh Maximus untuk berpindah ke sisi lainnya dan setelah itu, Alendra berbaring miring saat Maximus menunjukkan beberapa tombol yang ada di sisi ranjang.     

"Tekan tombol ini untuk menutup kotak," ucapnya.     

Aleandra menekannya dan benar saja, kotak mulai tertutup. Aleandra jadi panik karena jadi gelap gulita. tidak ada cahaya yang masuk ke dalam kotak.     

"Aku jadi kesulitan bernapas," ucapnya dan tiba-tiba saja lampu menyala setelah Maximus menekan sebuah tombol.     

"Tidak perlu khawatir, tekan tombol ini untuk menyalakan lampu dan tekan tombol ini juga," Max menunjukkan beberapa tombol yang ada di sisi ranjang.     

"Apa setiap tombol itu ada kegunaannya?"     

"Tentu saja, agar tidak panas dan tidak pengap kau harus menekan tombol yang ini."     

"Aleandra mengangguk, bingung. Apa menyenangkannya tidur di dalam kotak? Kepalanya bahkan harus terbentur tapi yeah, hal itu menyenangkan bagi Maximus yang memang menyukai tempat sempit dan gelap.     

"Sudah tahu, bukan?" tanya Maximus seraya mencium pipinya.     

"Ya, tapi ide dari mana kotak seperti ini? Aku yakin ranjang seperti ini tidak di jual di pasaran!"     

"Tentu saja ini ranjang khusus yang aku pesan sendiri. Tidak ada yang mustahil jika kau punya banyak uang!"     

"Baiklah, sepertinya kebanyakan orang kaya suka bertingkah aneh!" ucap Aleandra seraya memukul bahunya.     

"Dan kau, akan terjerat oleh pria kaya aneh ini," Max menangkap tangannya dan mengecup punggung tangannya.     

"Apa kau ingin menjadikan aku aneh sama seperti dirimu?"     

"Apa kau mau? Kita bisa membangun keluarga di dalam lemari," jawab Maximus menggoda.     

"Tidak mau, dasar menyebalkan. Aku tidak mau mendapat julukan keluarga lemari!" tolak Aleandra.     

"Jika aku tidak keberatan."     

"Apa? Memangnya apa yang bisa kita lakukan di lemari sempit itu?"     

"Kau ingin mencoba melakukan sesuatu di sana, Aleandra?" goda Maximus.     

"Tidak mau, sempit!"     

"Aku akan buat yang besar," Max tersenyum lebar, sedangkan Aleandra kembali berkata tidak.     

"Tidurlah kembali, hari ini aku akan menemanimu di rumah dan kita akan pergi setelah makan siang."     

"Hm," Aleandra mengangguk sambil tersenyum.     

Matanya kembali terpejam, dia enggan untuk bangun apalagi setelah ini dia harus melakukan hal yang berat yaitu menghubungi Fedrick dan mengakhiri hubungan mereka berdua. Rasanya tidak mau melakukannya, rasanya ingin tidur sepanjang hari. Itulah sebabnya dia berharap bisa langsung berbicara dengan Fedrick agar dia tidak bimbang dan lihatlah sekarang, dia mulai merasa bimbang dan enggan. Bukannya dia tidak mau mengakhiri hubungannya dengan Fedrick, tapi rasa enggan dan tidak tega mulai tumbuh di hati.     

"Aleandra," Max memanggilnya karena Aleandra memeluknya erat.     

"Ijinkan aku seperti ini untuk sebentar saja, Max. Aku sangat membutuhkannya," pinta Aleandra.     

"Kenapa berkata seperti itu? Aku tidak keberatan kau memelukku sepanjang hari," Maximus membelai rambutnya. Ciuman lembut bahkan dia berikan. Dia ingin Aleandra nyaman bersama dengannya walau sesungguhnya dia sudah tidak sabar tapi dia tidak mau memaksa. Semua itu dia lakukan hanya untuk Aleandra saja.     

"Terima kasih, Max," Aleandra semakin memeluknya erat, rasa berat dan bimbang semakin memenuhi hati. Apa dia mampu mengutarakan niatnya untuk berpisah dengan Fedrick nanti? Jantunganya bahkan sudah berdebar saat membayangkannya. Dia berharap, benar-benar berharap dia punya keberanian untuk memutuskan hubungan mereka tanpa menunda-nunda apalagi Maximus pasti akan mendengar percakapan mereka nantinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.