Hi's Like, Idiot But Psiko

Kita Gagal



Kita Gagal

0Oliver menunggu kepulangan Austin dengan perasaan cemas. Sudah beberapa jam berlalu semenjak Austin pergi untuk menyerang Maximus, kekasihnya itu belum juga kembali. Rasa cemas dan takut memenuhi hati, dia takut Austin tertangkap oleh Maximus. Jika sampai hal itu terjadi, dia tahu hal buruk akan terjadi pada Austin. Dia juga khawatir Austin akan mengatakan tentang dirinya pada Maximus sehingga Max mendatanginya dan menangkapnya.     

Sebaiknya dia membuat rencana cadangan, jika Austin tidak kembali dalam waktu dua belas jam maka dia akan pergi dari tempat itu sebelum Maximus menemukan keberadaan dirinya. Lagi pula dia hanya memanfaatkan Austin saja untuk membantunya balas dendam. Apa pun yang terjadi, dia tidak boleh tertangkap sebelum dendam ibunya terbalaskan. Max harus menanggung kesalahan yang diperbuat oleh kedua orangtuanya karena mereka sudah membunuh ayahnya tapi dia sangat berharap Austin segera kembali jika tidak dia akan mencari sekutu lain yang juga menginginkan kematian Maximus.     

Sementara itu di dalam hutan, setelah kepergian Maximus dan Aleandra, Austin melangkah masuk ke dalam hutan dengan susah payah. Makian dan umpatan terdengar, dua luka tembakan dia dapatkan. Satu tembakan di lengan dan satu tembakan di punggung. Seluruh tubuhnya terasa sakit akibat ledakan dan akibat benturan.     

Tubuhnya terpental jauh dan menghantam pohon besar, dia bahkan hampir tidak sadarkan diri dan karena hal itu pula dia masih bisa hidup walau keadaannya babak belur. Tidak saja dua tembakan yang dia dapatkan, luka robek di paha juga dia dapatkan akibat ledakan.     

Dia benar-benar sudah salah perhitungan, dia kira ini adalah kesempatan emas untuk menghabisi Maximus karena tidak ada anak buah yang mengikutinya tapi ternyata dia salah. Dua puluh anak buahnya tidak tersisa satu pun dan sekarang dia harus pergi dari tempat itu sebelum ada yang datang.     

Biasanya Max akan memerintahkan anak buahnya untuk membersihkan lokasi setelah pertarungan selesai, dia sudah mencari tahu tentang pria itu begitu banyak jadi dia tahu. Oleh sebab itu, sebelum anak buah Maximus datang untuk membersihkan lokasi sebaiknya dia segera pergi.     

Austin melangkah sambil memegangi luka di bagian perutnya, dia harus mencapai mobilnya yang lumayan jauh. Dengan keadaannya yang seperti itu, entah kenapa dia tidak yakin. Dia bahkan jatuh terduduk di sebuah pohon besar. Sepertinya dia butuh istirahat. Austin memejamkan matanya, dia kira dia bisa beristirahat untuk sejenak tapi ternyata tidak. Suara orang-orang dari kejauhan membuatnya tersadar. Dia mulai mengintai dan benar saja dugaannya, anak buah Max sedang membersihkan lokasi. Jared memerintahkan semua mayat ana buah Austin dibawa dari tempat itu, tentu hal itu membuat Austin menelan ludah dan bertanya dalam hati. Mau di bawa ke mana tubuh para anak buahnya?     

Dia masih mengintai untuk melihat Jared dan yang lain bekerja dengan begitu cepat untuk menghilangkan bukti dari tempat itu. Sial. Oliver pasti akan sangat marah karena dia sudah gagal tapi mereka tahu, orang yang hendak mereka habisi bukanlah orang sembarangan yang bisa dibunuh dengan mudah.     

Sebaiknya dia kembali melanjutkan niatnya untuk pergi karena bisa saja para anak buah Maximus menemukan keberadaannya. Jika dia masuk semakin jauh ke dalam hutan, mereka pasti tidak akan melihat keberadaannya apalagi hutan yang gelap. Austin menarik tubuhnya yang babak belur masuk ke dalam hutan, entah sudah berapa lama dia tidak tahu tapi yang pasti dia bisa sampai ke mobil dengan sudah payah dan tentunya dia kehilangan banyak darah.     

Austin menjalankan mobil dengan sisa tenaga dan kesadaran yang dia miliki, dia hampir menabrak beberapa kali tapi tekad kuatnya membuat Austin bisa mencapai tujuannya. Dia bersumpah pada saat dia sudah bisa mengalahkan Maximus, akan dia cukur kepala pria itu sampai botak, akan dia siram dengan air keras wajahnya dan dia akan mengumpulkan para preman untuk memperkosa kekasihnya di depan matanya. Itu balasan yang setimpal untuk apa yang dia alami saat ini, dia jadi tidak sabar menantikan hari itu tiba.     

Suara mobil yang berhenti di depan rumah, membuat Oliver berlari ke arah jendela untuk mengintip. Dia khawatir jika yang datang adalah anak buah Maximus. Jika sampai hal itu terjadi maka dia harus segera pergi dari tempat itu agar tidak tertangkap.     

Oliver melihat dengan teliti dan ketika melihat Austin turun dari mobilnya dengan susah payah, Oliver terkejut dan segera berlari menuju pintu. Apa yang terjadi dengan Austin? Pria itu bahkan merangkak di atas tanah untuk menuju pintu rumahnya dengan sisa tenaga yang sudah hampir habis.     

"Austin!" Oliver berteriak dan berlari ke arahnya.     

"Akhirnya... aku bisa tiba," ucap Austin.     

"Apa yang terjadi denganmu?" Oliver memapah tubuh Austin dan segera membawanya masuk sebelum ada yang melihat apa yang telah terjadi.     

"Sorry Oliver, kita gagal!"     

"Jangan banyak bicara, lukamu harus segera diobati."     

Austin dibaringkan di atas sofa, Oliver segera mengambil kotak P3K. Dia juga menghubungi seseorang untuk mengobati keadaan Austin. Bisa dia tebak apa yang telah dialami oleh Austin. Padahal tidak ada satu orang pun pengawal yang bersama dengan Maximus tapi pria idiot itu bisa mengalahkan Austin dengan puluhan anak buahnya seorang diri.     

"Fuck!" teriak Oliver. Matanya terasa panas, dendam pada Maximus Smith harus terbayarkan. Setelah ini mereka tidak boleh gegabah lagi karena mereka tahu, pria itu sulit dihadapi walau dia hanya seorang diri.     

Austin sudah tidak sadarkan diri, tenaga sudah tidak ada lagi. Oliver benar-benar marah, walau dia hanya memanfaatkan Austin saja tapi dia tidak boleh membiarkan Austin mati begitu saja. Max memang sulit mereka hadapi, dia jadi ingin tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi? Apakah Austin dan puluhan anak buahnya tidak bisa melukai pria itu walau sedikit pun?     

Tentunya sebuah luka di dapatkan oleh Maximus demi melindungi Aleandra. Mereka sudah berada di rumah sakit pribadi milik keluarga Maximus. Luka yang didapat begitu dalam, setidaknya harus di jahit agar tidak infeksi.     

Aleandra menunggu di luar dan terlihat termenung, dia sedang memikirkan penyerangan yang baru saja mereka dapatkan. Dia takut jika orang-orang yang menyerangnya malam ini adalah orang-orang yang mengejarnya selama ini. Dia rasa seperti itu karena tidak mungkin ada yang lainnya.     

Aleandra menunduk, dia benar-benar hanya bisa membawa masalah dan sekarang dia sudah membuat Maximus terluka karena permasalahan yang sedang dia hadapi. Hari ini luka di lengan lalu bagaimana dengan besok? Bisa saja Maximus tertembak dan mati, entah kenapa dia jadi takut membayangkannya. Semoga saja hal itu tidak terjadi karena dia tidak mau melihat siapa pun mati di depan matanya lagi.     

Selama Aleandra menunggu, Max sedang berada di dalam sebuah ruangan di mana luka di lengannya sedang di jahit. Tidak ada ekspresi sakit yang dia tunjukkan, pria itu bahkan terlihat santai dengan ponsel di tangan lainnya karena saat itu dia berbicara dengan Jared yang sedang membersihkan lokasi. Dia ingin tahu apakah Jared mendapatkan petunjuk tentang orang yang menyerangnya malam ini atau tidak.     

"Bagaimana, Jared. Apa kau mendapatkan petunjuk siapa pelakunya?" tanya Max pada sang asisten.     

"Tidak, Master. Tidak ada satu pun yang hidup," jawab Jared. Setelah begitu banyak tembakan yang dilepaskan oleh senjata api otomatisnya dan beberapa peluru peledak, bagaimana ada yang bisa selamat? Austin hanya beruntung karena tubuhnya terpental dan menghantam pohon. Jika hal itu tidak terjadi, dia pasti sudah berakhir tragis seperti para anak buahnya.     

"Apa orang-orang itu adalah orang Rusia?" tanya Maximus lagi.     

"Bukan," jawab Jared karena mereka memang tidak seperti orang Rusia.     

"Baiklah." Max mengakhiri pembicaraan mereka. Jika orang-orang itu bukan orang Rusia berarti yang mengincar mereka malam ini adalah musuhnya. Sial, musuh hanya bisa bersembunyi saja tanpa berani menunjukkan siapa dirinya.     

Max melihat tangannya yang sudah selesai di jahit, tanpa berkata apa-apa pria itu beranjak padahal si dokter belum memberinya obat. Dokter dan perawat hanya saling pandang saja, mereka tidak berani mencegah Max keluar dari ruangan tapi sang dokter memberikan obat pada perawat itu dan memerintahkannya untuk memberikan obat oles pada Max agar luka jahit itu cepat sembuh.     

Aleandra beranjak dari tempat duduknya dengan wajah cemas saat melihat Max sudah keluar dari ruangan. Dia bahkan menghampiri Maximus dengan terburu-buru dan memeluknya.     

"Bagaimana dengan keadaanmu, Max?" tanya Aleandra.     

"Aku baik-baik saja, hanya sebuah luka ringan jadi tidak perlu khawatir."     

"Maafkan aku, Max. Semua gara-gara aku," Aleandra menyembunyikan wajahnya di dada Max dengan rasa bersalah memenuhi hati.     

"Apa maksudmu, Aleandra?"     

"Aku hanya bisa mencelakai dirimu saja, Max," ucapnya lirih.     

"Hei, lihat aku!" Max mengangkat dagu Aleandra dan memandangi wajahnya. Mata gadis itu merah, sepertinya dia menangis karena mengira semua adalah kesalahannya.     

"Orang-Orang itu pasti menginginkan aku, bukan? Aku benar-benar sudah membuatmu dalam masalah."     

"Bodoh, tidak perlu merasa bersalah," Max mengusap wajah Aleandra dan mendaratkan ciumannya di dahi Aleandra, "Semua bukan salahmu. Mereka bukan orang-orang yang menginginkan dirimu, mereka adalah musuh yang menginginkan kematianku jadi jangan merasa bersalah," ucapnya lagi.     

"Benarkah?" Aleandra memandanginya dengan lekat.     

"Yes, jadi tidak perlu menyalahkan diri sampai menangis seperti ini."     

"Aku mengkhawatirkan dirimu, Max," Aleandra mengencangkan pelukannya. Entah kenapa dia merasa begitu lega melihat keadaan pria itu yang baik-baik saja.     

"Sudah aku katakan, aku baik-baik saja. Kau bisa lihat sendiri, lukanya juga sudah di jahit."     

Aleandra melepaskan pelukannya dan melihat luka yang ada di lengan Maximus. Lagi-lagi dan untuk kesekian kali, dia terlihat begitu lega.     

"Ayo kita pulang. Kau pasti lelah, bukan?"     

Aleandra mengangguk dengan cepat dan tersenyum dengan manis. Walau itu bukan orang-orang yang menginginkan dirinya tapi tetap saja, mereka hampir celaka gara-gara penyerangan itu dan lagi-lagi Max menyelamatkan dirinya.     

Mereka hendak pergi tapi sang perawat memanggil dan memberikan obat oles pada Aleandra. Setelah mengambil obat itu, Aleandra berlari menghampiri Max sambil tersenyum     

Maximus meraih pinggangnya dan mengajak Aleandra pergi. Malam sudah begitu larut, Aleandra pasti sudah lelah dan mereka butuh istirahat setelah melewati malam yang sedikit kacau. Walau ada yang menyerang mereka tapi bagi Aleandra, apa yang mereka lewati malam ini tidak akan dia lupakan karena dia sangat menikmati waktu kebersamaannya dengan Maximus.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.