Hi's Like, Idiot But Psiko

Beri kami Cucu



Beri kami Cucu

0Kabar penyerangan yang didapat oleh Maximus pada malam itu langsung di dengar oleh keluarganya. Marline mengajak suaminya bergegas menuju rumah Maximus. Mereka tidak peduli walau sudah larut malam karena mereka harus tahu keadaan putra semata wayang mereka.     

Mereka sudah menunggu begitu lama karena mereka tiba saat Max dan Aleandra berada di rumah sakit. Marline begitu khawatir, dia berjalan mondar mandir dan tampak gelisah. Dia sangat berharap putranya baik-baik saja karena tidak ada satu anak buah pun bersama dengannya saat penyerangan terjadi.     

Michael sudah menghubungi putranya saat Max sedang di perjalanan kembali setelah dari rumah sakit. Tentu saja Marline semakin gelisah saat tahu Max harus pergi ke rumah sakit. Jika bukan Aleandra berarti putranya yang terluka.     

"Dari dulu sampai sekarang, kau seperti setrikaan berjalan!" ucap Michael karena istrinya tidak berhenti berjalan mondar mandir.     

"Aku mengkhawatirkan keadaan putra kita, Mich!" ucap Marline.     

"Apa yang kau khawatirkan? Dia sedang dalam perjalanan kembali jadi apa yang kau khawatirkan?"     

"Tentu saja aku khawatir, aku takut terjadi sesuatu dengannya apalagi mereka ke rumah sakit. Pasti terjadi sesuatu pada mereka saat mereka sedang di serang."     

"Aku tahu kau sedang khawatir, tapi duduklah. Aku pusing melihatmu mondar mandir seperti itu," ucap Michael.     

Marline menghentikan langkahnya tapi tidak lama kemudian dia menghampiri suaminya dan duduk di sisinya.     

"Siapa yang menyerang putra kita, Mich?"     

"Entahlah, musuh ada di mana-mana Marline jadi kita tidak bisa menebak yang mana."     

"Kurang ajar, saat aku tahu siapa yang telah melakukan hal ini pada putra semata wayangku, aku tidak akan ragu untuk memberikan beberapa lubang di kepalanya!"     

"Tidak perlu khawatir, saat Max sudah kembali aku akan mengajaknya melihat lokasi di mana dia diserang untuk melihat siapa yang telah berani melakukan hal itu!"     

"Kau harus menemukannya Mich, agar aku bisa mencincang orangnya."     

"Kau tidak perlu khawatir, dia milikmu saat kami sudah menangkapnya."     

Marline mengangguk, dia tidak terima ada yang berani melukai putranya. Jika saja ada satu goresan didapat oleh Max, dia benar-benar tidak akan memafaatkannya dan dia akan mencari pelakunya sampai dapat. Sebagai seorang ibu yang hanya memiliki satu putra saja, tentu hal itu membuatnya murka dan dia bersumpah tidak akan memaafkan pelaku yang telah menyerang putranya secara tiba-tiba di saat dia sedang menikmati waktunya bersama dengan kekasihnya.     

Marline menunggu dengan perasaan cemas, dia berharap putranya segera tiba. Setelah beberapa saat menunggu, terdengar suara mobil di luar sana. Marline segera beranjak, dia bahkan melangkah dengan cepat menuju pintu dan keluar dari rumah.     

Marline terlihat lega melihat putranya tapi dia terkejut ketika melihat mobil putranya hancur di bagian belakang dan goresan akibat peluru.     

"Oh my God, Max. Ada apa dengan mobilmu?" Marline berjalan mendekati mobil, dilihat dari kehancuran yang terjadi sepertinya mobil itu terkena ledakan yang dahsyat.     

"Hanya terkena ledakan bazoka," jawab Max santai.     

"What?" Marline terkejut dan segera menghampiri putranya.     

"Bagaimana keadaanmu, apa ada yang terluka?" Marline melihat keadaan Max dengan teliti. Amarah memenuhi hati ketika melihat jahitan yang terdapat di lengannya.     

"Aku baik-baik saja, Mom," Max hendak melangkah pergi untuk menghampiri Aleandra tapi ibunya menahan tangannya sambil berteriak, "Apanya yang baik-baik saja?!"     

Aleandra diam saja, dia jadi tidak berani beranjak karena ibu Max terlihat begitu marah.     

"Mom, kenapa kau berteriak?" Max memandangi ibunya dengan tatapan heran.     

"Ayo masuk!" Marline menarik putranya masuk ke dalam.     

"Mom, hei!" Max melihat ke arah Aleandra tapi dia mengikuti langkah ibunya masuk ke dalam. Michael diam saja, dia tahu kekhawatiran istrinya. Istrinya pasti sangat marah melihat luka itu. Dia bahkan tidak pernah memukuli putranya selama ini bagaimana dia tidak marah apalagi Maximus adalah anak spesial yang mereka dapatkan di saat keadaan istrinya yang waktu itu sudah dinyatakan tidak akan pernah memiliki anak sama sekali.     

Aleandra mengikuti mereka dari belakang, dia benar-benar tidak berani bersuara. Dia bahkan masuk ke dalam kamarnya di saat Marline melihat luka yang terdapat di lengan Max.     

"Astaga, lukanya begitu dalam. Apa yang sebenarnya terjadi?" air mata Marline hampir tumpah, dia tidak sanggup melihat putranya terluka seperti itu.     

"Mom, ini hanya luka ringan saja. Sudah dijahit jadi tidak perlu dipermasalahkan."     

"Tapi Mommy tidak tega melihatmu terluka seperti ini," ucap Marline.     

"Aku baik-baik saja," Max memeluk ibunya untuk menghiburnya, "Terima kasih Mommy sudah mengkhawatirkan aku tapi aku ini seorang pria dan ini hanya luka ringan saja akibat pertarungan. Jika aku tidak mau menanggung luka ini maka punggung Aleandra yang terluka jadi Mommy tidak perlu mengkhawatirkan aku," ucapnya.     

"Baiklah, maaf jika Mommy terlalu berlebihan," Marlyn melepaskan pelukannya.     

"Tidak apa-apa, aku tahu Mommy seperti ini karena mengkhawatirkan aku."     

"Jika begitu pergilah mandi, Max. Daddy ingin mengajakmu melihat siapa yang telah berani menyerangmu," ucap Michael.     

"Baik, Dad. Aku tidak akan lama," Max melihat ke arah kamar Aleandra sejenak dan setelah itu dia kembali berkata, "Tolong jangan menyalahkan Aleandra karena yang melakukan hal ini bukan orang yang mengincarnya tapi yang melakukannya adalah musuhku yang selalu menyerang aku secara diam-diam selama ini," pintanya.     

"Kami tidak akan menyalahkannya, Max. Kau justru harus melindunginya tapi apa kau belum tahu siapa orangnya sampai sekarang?" tanya ibunya.     

"Orangnya selalu bersembunyi Mom, entah sudah berapa banyak yang aku tangkap dan introgasi tapi tidak ada yang mau mengatakan siapa yang menginginkan kematianku apalagi orang itu hanya bisa bersembunyi saja!"     

"Baiklah, segera bersihkan diri dan setelah itu kita cari bersama," ucap ayahnya.     

"Mom, tolong buat makanan. Aleandra bilang lapar tadi tapi kami belum pergi makan," pinta Maximus.     

"Baiklah, akan segera Mommy buatkan." ucap Marline.     

Max melangkah menuju kamar, sedangkan Marline pergi ke dapur. Michael masuk ke dalam ruangan di mana dia akan melihat apa yang terjadi bersama dengan putranya nanti.     

Di dalam kamar, Aleandra sedang berbaring setelah selesai mandi. Dilihat dari reaksi ibu Max saat melihat luka di lengan Max membuat perasaannya kacau. Bagaimana jika luka itu diakibatkan oleh dirinya? Bagaimana reaksi ibu Max jika sampai hal itu terjadi?     

Jujur saja, dia jadi takut Max mengalami hal yang serius saat membantunya balas dendam.     

"Aleandra," terdengar suara Marline memanggilnya.     

"Ya, Aunty," Aleandra segera beranjak dan keluar dari kamar.     

Marline tersenyum saat gadis itu membuka pintu, Aleandra tampak canggung tapi dia berusaha tersenyum.     

"Max bilang kau belum makan, ayo keluar."     

"Aku sudah tidak lapar, Aunty," ucap Aleandra.     

"Kenapa, Sayang? Ayo kita buat makanan bersama. Kau harus makan walau sedikit, Max mengkhawatirkan dirimu."     

Aleandra hanya mengangguk, sesungguhnya dia tidak enak hati. Dia juga jadi tidak lapar karena kejadian itu tapi dia tidak bisa menolak ajakan Marline apalagi membuat Max mengkhawatirkan dirinya. Marline mengajak Aleandra ke dapur untuk membuat makanan, sedangkan Maximus dan ayahnya mulai menyelusuri tempat di mana dia diserang dengan cara meretas satelit.     

Hutan yang dipenuhi oleh pohon besar tentu membuat mereka kesulitan untuk melihat wajah pelaku. Sudah Max duga, orang yang menginginkan kematiannya tidaklah bodoh. Seorang pria yang diduga sebagai pemimpin kelompok yang menyerangnya memilih berjalan di antara pepohonan yang besar agar tidak bisa terlihat dengan mudah. Walau mereka sudah mengambil gambar dan memperbesarnya tapi tetap saja wajah orang itu sulit dilihat dengan jelas.     

Pohon-Pohon yang menjulang tinggi benar-benar membuat pandangan mereka jadi minim. Sepertinya orang itu sangat tahu dia akan ketahuan jika dia berada di tempat terbuka. Max dan Michael bahkan terus menyelusuri tempat itu sampai Jared datang untuk membersihkan lokasi. Mereka bahkan tidak dapat melihat Austin karena terhalang oleh pohon dan tentunya hutan yang gelap.     

"Kau lihat itu, Dad. Aku tidak bisa melihat siapa pelakunya karena dia tidak sebodoh yang kita kira!" ucap Maximus.     

"Jika begitu kau harus semakin waspada, Max. Kau tahu ibumu menyayangi dirimu lebih dari apa pun bahkan dia lebih menyayangi dirimu dari pada aku jadi kau harus selalu waspada," ucap ayahnya.     

"Apa Daddy cemburu?" tanya Max.     

"Untuk apa aku cemburu pada putraku sendiri!"     

Max terkekeh, walau ayahnya berkata ibunya khawatir tapi dia bisa melihat jika ayahnya juga mengkhawatirkan dirinya. Max dan Michael masih berada di dalam ruangan sampai akhirnya Marline memanggil mereka karena makanan sudah jadi.     

Walau sudah malam, mereka tetap makan bersama padahal saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Michael dan Maximus tidak banyak makan tapi tidak untuk Marline, dia makan begitu banyak sampai membuat Aleandra heran. Dia terlihat canggung, jangan-jangan ibu Max memang hobi makan lalu Max ingin merubah dirinya seperti ibunya. Itu sangat masuk akal, biasanya seorang laki-laki menginginkan pasangan yang tidak jauh berbeda dengan ibunya.     

Setelah selesai makan, Michael dan Marline pamit pulang. Aleandra menyimpan makanan sisa di dalam kulkas saat Maximus mengantar kedua orangtuanya pergi.     

"Max, jangan lupa keinginan Mommy," ucap Marlyn.     

"Memangnya apa yang Mommy inginkan?" tanya Maximus heran.     

"Mommy ingin punya cucu yang banyak, apa kau tidak tahu? Jadi buatlah mulai sekarang!"     

"Ck, Mom. Aku belum bisa melakukan apa pun."     

"Maksudmu?" tanya ibunya tidak mengerti.     

"Sudah malam, Mommy dan Daddy pulang saja. Besok aku akan mengajak Aleandra pulang ke rumah nenek dan memperkenalkan Aleandra pada yang lain."     

"Baiklah," Marline mencium pipi putranya lalu kembali berkata, "Jangan membuat Mommy menunggu lama dan segera beri kami cucu!"     

Maximus menggeleng, begitu juga dengan ayahnya. Max masih berdiri di depan pintu sampai mobil kedua orangtuanya tidak terlihat lagi dan setelah itu dia masuk ke dalam. Max menghampiri Aleandra yang sedang merapikan beberapa alat makan.     

"Apa yang kau lakukan?" Max memeluknya dari belakang dan mencium pipinya.     

"Hanya membereskan beberapa piring saja," jawab Aleandra.     

"Biarkan pelayan yang melakukannya, sekarang waktunya kita tidur," Max memutar tubuh Aleandra dan menggendongnya.     

"Tanganmu, Max."     

"Tidak perlu khawatir, sudah aku katakan hanya luka ringan!"     

Aleandra tersenyum, kedua kaki sudah melingkar di tubuh Max begitu juga tangannya agar Max tidak terlalu menggunakan kekuatan tangan saat menggendongnya. Mata Aleandra terpejam saat Maximus mencium bibirnya dengan lembut. Mereka berdua saling pandang sesaat dan setelah itu Max membawanya ke dalam kamar.     

Ibunya ingin punya cucu? Dia saja hanya bisa menahan diri agar tidak menyentuh Aleandra karena dia tidak mau melakukan sex sebelum Aleandra mencintai dirinya. Entah kenapa hal itu jadi penting baginya padahal dia tidak pernah memikirkan hal demikian sebelumnya tapi lagi-lagi hal itu hanya khusus untuk Aleandra saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.