Hi's Like, Idiot But Psiko

Salah Perhitungan



Salah Perhitungan

0Austin tersadar setelah melewati masa kritis yang hampir merenggut nyawanya. Setelah kembali, Oliver berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawanya. Setidaknya dia masih membutuhkan pria itu untuk aksi balas dendamnya.     

Peluru yang bersarang di lengan dan perutnya sudah dikeluarkan, luka di paha juga sudah dijahit. Austin hampir kehabisan darah tapi beruntungnya golongan darahnya tidak sulit ditemukan.     

Setelah tidak sadarkan diri selama beberapa jam, akhirnya dia terbangun. Teriakan Austin terdengar nyaring, rasa sakit dia rasakan diseluruh tubuhnya. Austin terengah, ternyata dia masih hidup.     

"Austin!" Oliver menghampirinya dengan terburu-buru, "Bagaimana keadaanmu?" tanya Oliver.     

"Fuck!" teriak Austin penuh emosi.     

"Jangan bergerak, keadaanmu masih tidak memungkinkan," ucap Oliver.     

Austin berbaring dengan kemarahan di hati, dia benar-benar tidak menduga rencana yang sudah dia susun dengan sempurna tetap gagal. Semua anak buahnya mati padahal lawan mereka hanya dua orang saja.     

"Sekarang katakan padaku, apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kau bisa kalah padahal lawanmu hanya seorang pria idiot dan wanita lemah saja!" tanya Oliver.     

"Kau salah, Oliver. Ternyata wanita itu tidak selemah yang kita kira!" ucap Austin.     

"Apa maksudmu?" tanya Oliver ingin tahu.     

"Kita sudah salah menduga jika wanita itu hanya wanita lemah. Dia bahkan bisa membunuh anak buah kita dengan mudah bersama dengan Maximus Smith."     

"Sial, jadi wanita itu tidak seperti yang kita duga?" tanya Oliver. Mereka sudah salah perhitungan tapi bukankah ini informasi baru yang mereka butuhkan?     

"Ya, entah siapa wanita itu tapi kita tidak boleh meremehkan dirinya. Dia bahkan maju dengan Maximus tanpa ragu. Mereka bekerja sama dengan sangat baik untuk melawan kami sebab itu kami bisa kalah. Aku sudah memperhitungkan Max tidak akan berkutik saat aku menyerang mereka karena dia harus melindungi kekasihnya tapi aku sungguh tidak menduga mendapati jika wanita itu pun tidak boleh kita remehkan!" ucap Austin.     

"Baiklah, walaupun kau gagal tapi kita mendapatkan sesuatu. Selama ini kita meremehkan wanita itu tapi ternyata dia tidak boleh kita remehkan sama sekali. Kita sudah mendapatkan poin pentingnya, sekarang kita tinggal mencari lainnya."     

"Apa yang kau rencanakan, Oliver?" tanya Austin.     

"Tentu saja mencari tahu tentang wanita itu lebih banyak. Kita sudah tahu jika dia bukan wanita lemah saja, sekarang sudah terjawab kenapa Maximus memilih dirinya dan dia bukanlah kelemahan Maximus seperti yang kita duga sebelumnya."     

"Jika begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Austin.     

"Tidak melakukan apa pun!" jawab Oliver.     

"Hei, apa maksudmu? Apa kau ingin melupakan dendam kita?"     

"Bodoh, bukan seperti itu!" ucap Oliver. Seringai lebar menghiasi wajah, hal itu membuat Austin curiga. Dia rasa Oliver memiliki rencana. Entah apa, dia tahu wanita itu tidak kehabisan akal.     

"Dengar, Austin. Berdiam diri bukan berarti kita menyerah dan tidak melakukan apa pun. Sekarang kita tidak perlu menunjukkan aksi kita, kita mundur dulu. Kau juga perlu memulihkan diri, bukan? Aku tidak ingin kehilangan dirimu jika kita gegabah!" ucap Oliver.     

"Baiklah kau memang benar. Kita sudah salah perhitungan telah mengira wanita itu adalah kelemahannya. Aku sungguh tidak menduga, sebab itu aku gagal!"     

"Lupakan, kita memang sudah beberapa kali gagal tapi untuk yang selanjutnya tidak akan lagi. Selama kau memulihkan diri, aku ingin pergi menemui seseorang kenalan. Dia bisa membantu aku nantinya, kali ini aku yakin kita tidak akan gagal!" ucap Oliver dengan seringai lebar.     

"Apa yang mau kau lakukan, Oliver?" tanya Austin. Dia benar-benar ingin tahu.     

"Memanfaatkan hubungan mereka berdua," jawab Oliver tanpa ragu.     

"Maksudmu?" Austin tambah penasaran.     

"Kau akan tahu nanti, Austin. Untuk sekarang aku ingin rencana ini aku jalankan dengan perlahan dan pada saat nanti waktunya sudah tiba, kau pasti akan tahu."     

"Baiklah, aku percaya kau pasti memiliki rencana sempurna apalagi kau bilang kali kau tidak akan gagal. Kau pasti memiliki rencana yang luar bisa!"     

Rencana luar biasa? Ya, dia memang memiliki rencana luar biasa nantinya karena dia akan memanfaatkan hubungan Maximus dan kekasihnya. Dan pada saat itu terjadi? Dia ingin lihat apakah mereka masih bisa bersama lagi atau tidak. Sepertinya mimpi dan kekhawatiran Aelandra akan terjadi pada mereka berdua. Pada saat itu terjadi, apakah Max bisa mempercayai Aleandra?     

Maximus bukan orang yang suka dengan pengkhianatan bahkan semua musuhnya tahu, memang tidak ada yang suka dengan pengkhianat tapi bagi Max pengkhianat adalah musuh paling besar untuknya. Entah apa yang akan dilakukan oleh Oliver dan entah apa yang dia rencanakan tapi suatu saat nanti, dia tidak akan selalu gagal karena rencananya yang dia susun secara diam-diam dapat berjalan dengan lancar.     

Yang pasti pada saat itu tiba, Maximus dan Aleandra benar-benar akan diuji apalagi serangan dari Antonio dan juga Fedrick yang menginginkan hubungannya bisa kembali dengan Aleandra, musuh bisa merapat dan hanya waktu yang menjawab semua itu.     

Aleandra termenung di depan jendela kamarnya, dia terlihat tidak bersemangat. Selain hasrat yang belum tuntas tapi dia juga memikirkan mimpi buruk yang dia alami. Sepertinya dia harus menjauhi hutan karena dia benci hutan. Jangan sampai semua berawal dari hutan dan akhirnya dia harus berakhir di hutan.     

Dia tidak mau memikirkan hal ini tapi tidak bisa. Dia merasa ada yang tidak beres. Dia sangat berharap semua baik-baik saja tapi sepertinya tidak. Apakah hubungannya dengan Max akan di uji suatu saat nnati?     

Hal itu bisa saja terjadi, dia benar-benar takut membayangkan jika dia benar-benar mengkhianati Max dan mati di tangannya. Max pasti tidak akan membiarkannya hidup walau cinta pria itu begitu besar padanya. Semoga saja semua itu tidak terjadi dan jika sampai terjadi dia harap semua tidak ada hubungannya dengan Fedrick.     

"Aleandra," terdengar suara Maximus memanggil. Daun pintu terbuka, Max tersenyum saat melihatnya. Aleandra melihatnya sejenak dan setelah itu dia melihat ke arah jendela kembali.     

"Apa yang kau lakukan? Kenapa tidak sarapan?" Max mendekatinya dan duduk di sisinya.     

"Aku sedang tidak berselera makan, Max," Ucap Aleandra.     

"Kenapa? Apa ada yang kau pikirannya, Aleandra?" Max menarik Aleandra mendekat sehingga gadis itu bersandar di bahunya.     

"Aku hanya memikirkan mimpi burukku, Max."     

"Itu hanya mimpi saja, bukan? Untuk apa kau mempermasalahkannya?"     

"Aku hanya takut, " Aleandra memeluk Maximus dengan erat. Dia takut mimpi itu menjadi nyata sehingga hubungan mereka harus jadi hancur.     

"Sudah aku katakan kau tidak perlu takut, Aleandra!"     

"Aku sangat ingin, Max. Aku tidak ingin memikirkan mimpi itu tapi aku tidak bisa. Aku takut kau membenci aku, aku takut kau tidak mempercayai aku lagi. Firasatku mengatakan jika akan terjadi hal buruk pada kita berdua dan pada saat itu tiba, apakah kau masih mau mempercayai aku seandainya aku membuat sebuah kesalahan yang tidak kau sukai, Max?" Aleandra memandangi pria itu dengan tatapan serius. Dia sangat berharap apa yang saat ini membuatnya gelisah tidak terjadi.     

Max menghembuskan napas beratnya, dia tahu Aleandra pasti takut akan banyak hal tapi memang musuh bisa memanfaatkan hubungan mereka berdua untuk tujuan mereka jadi sebaiknya mereka saling waspada dan saling terbuka satu sama lain agar tidak terjadi salah paham yang begitu berati pada mereka dikemudian hari.     

"Baiklah tidak perlu khawatir, aku tahu kau khawatir tapi aku akan selalu meminta padamu untuk selalu terbuka denganku tanpa menyembunyikan apa pun dariku. Dengan begitu kita bisa mengatasi musuh bersama dan dengan begitu pula kesalahan pahaman bisa teratasi tanpa berlarut panjang! Aku juga akan mengingatkan dirimu untuk selalu percaya denganku dan aku juga ingin kau mengenal aku dengan baik agar suatu saat nanti kau tidak terkecoh dengan orang lain yang menyamar sebagai aku karena apa saja bisa dilakukan oleh musuh-musuh kita untuk tujuan mereka. Kau mengerti, bukan?"     

Aleandra mengangguk tanda dia mengerti, Max mengangkat dagunya dan mengecup bibirnya dengan lembut. Semoga gadis itu tidak tergoda dengan apa pun nanti sehingga dia masuk ke dalam perangkap musuh. Bagaimanapun Aleandra hanya seorang stutman, dia tidak pernah terjun dalam dunia kejahatan sehingga dia tidak pernah tahu bagaimana para penjahat bisa memanipulasi keadaan sehingga korban yang mereka inginkan menjadi tidak berkutik sama sekali.     

"Jika begitu ayo kita sarapan, aku sudah berjanji akan memperkenalkan dirimu pada keluargaku. Kau belum pernah bertemu dengan kakek dan nenekku, bukan?"     

"Apa tidak masalah aku menemui mereka, Max?" Tanya Aleandra. Jujur saja dia tidak percaya diri untuk bertemu dengan keluarga Maximus yang lain.     

"Kenapa bertanya demikian? Tentu saja tidak masalah. Mereka semua baik jadi kau tidak perlu khawatir. Mereka pasti akan sangat senang bertemu denganmu nanti. "     

"Baiklah," Aleandra tersenyum dan mendaratkan ciumannya di pipi Maximus.     

"Kau yang memulai terlebih dahulu!" Max mengangkat dagu Aleandra dan mencium bibirnya dengan lembut.     

Aleandra naik ke atas pangkuan Max tanpa ragu, mereka berdua kembali berciuman. Kedua tangan Aleandra sudah melingkar di leher Maximus. Kedua tangan Max bahkan berada di atas kedua pahanya. Ciuman mereka terlepas tapi tidak lama kerena setelah itu mereka kembali berciuman dengan penuh nafsu.     

Max melumat bibir Aleandra dengan buas, kedua tangan juga bergerak liar tapi hanya sebatas bagian paha saja. Kecapan lidah terdengar, mereka sangat menikmati ciuman yang mereka lakukan.     

Max memandangi wajah Aleandra dan mengusap wajahnya dengan perlahan, senyum menawannya juga terukir di bibir. Ciumannya mendarat di pipi Alendra, rasanya tidak ingin pergi tapi mereka harus sarapan dan pergi.     

"Aku sangat tidak ingin menghentikan ini, Aleandra tapi kita harus sarapan. Jangan sampai aku memakanmu terlebih dahulu sehingga kita tidak bisa pergi ke mana pun hari ini! "     

Alendra tersenyum dan tidak berkata apa-apa, ciumannya mendarat di dahi Maximus. Dia juga merasa enggan beranjak tapi perutnya mulai terasa lapar.     

Setelah kembali berciuman, mereka keluar dari kamar dan pergi sarapan. Max memperlakukan Aleandra seperti biasa walau dia gagal. Dia bahkan tidak ragu menyuapi Aleandra dengan mulutnya. Pagi itu terasa sedikit berbeda bagi mereka dan setelah selesai mereka berdua segera pergi ke rumah keluarga besar Maximus.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.