Hi's Like, Idiot But Psiko

Welcome To My Family



Welcome To My Family

0Selama di perjalanan menuju kediaman keluarga besar Maximus, Aleandra terlihat begitu gelisah. Ini pertama kalinya dan tentunya dia merasa tidak enak hati. Entah bagaimana keluarga Maximus, dia harap dia tidak membuat kesalahan yang bisa mempermalukan dirinya sendri.     

Maximus menggenggam tangan Aleandra, dia tahu gadis itu gelisah karena tidak percaya diri tapi keluarganya tidak mungkin keberatan dengan hubungan mereka berdua. Aleandra tersenyum tipis saat Maximus mengusap wajahnya dan setelah itu Aleandra bersandar di bahunya.     

"Kenapa kau terlihat gelisah?" tanya Max, tangannya tak henti membelai rambut Aleandra dan ciumannya mendarat di dahi Aleandra.     

"Ini karena rasa tidak percaya diri saja, Max."     

"Tidak perlu merasa seperti itu, Aleandra. Semua keluargaku sangat baik. Kau tidak perlu merasa tidak percaya diri."     

"Baiklah, apa boleh aku bertanya agar aku sedikit tahu tentang keluargamu, Max?" tanya Aleandra. Mungkin setelah tahu sedikit tentang keluarga Maximus membuatnya tidak begitu merasa canggung lagi.     

"Tentu saja, apa yang ingin kau tahu? Aku akan menjawabnya dan tidak akan menyembunyikan apa pun darimu!"     

"Thanks, Max," Aleandra mengangkat wajahnya dan mendaratkan ciuman di pipi Maximus.     

"Jadi, apa yang ingin kau tahu?"     

"Hm, be-berapa saudaramu?" tanya Aleandra. Dia mulai bertanya dari Maximus terlebih dahulu sebelum bertanya yang lain     

"Aku anak tunggal, Aleandra. Aku tidak punya saudara sama sekali."     

"Kenapa? Apa ibumu tidak mau memilki anak lagi?" Aleandra semakin ingin tahu.     

"Tidak, ibuku sejak awal divonis tidak bisa memiliki anak tapi dibalik ketakutannya dia bisa mengandung aku. Sesungguhnya ceritanya panjang tapi setelah melahirkan aku, ibuku tidak bisa punya anak lagi."     

"Pantas saja ibumu begitu mengkhawatirkan dirimu, aku melihat jika dia sangat menyayangi dirimu," ucap Aleandra.     

"Yeah, dia memang selalu seperti itu tapi walau aku anak tunggal tapi hidupku tidak sepi karena aku memiliki banyak sepupu."     

"Benarkah, berapa banyak sepupu yang kau miliki, Max?"     

"Banyak!" jawab Max singkat.     

"Berapa banyak?" Aleandra semakin ingin tahu mengetahui keluarga Maximus.     

"Kau tahu, Aleandra? Pamanku mempunyai anak kembar enam. Dua perempuan dan empat laki-laki."     

"Oh my God, seriously?"tanya Aleandra dengan ekspresi tidak percaya.     

"Yes dan bibiku punya dua anak. Karena sepupuku banyak jadi aku tidak merasa kesepian walau sesungguhnya aku lebih suka berada di dalam lemari tapi tidak hanya mereka saja, keluargaku yang ada di Colorado dan Australia juga ada."     

"Wow... Wow, wait!" sela Aleandra.     

"Kenapa, hm?" Max tersenyum melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Aleandra.     

"Berapa banyak keluargamu, Max? Kenapa aku jadi takut membayangkannya?"     

"Tidak banyak," jawab Max santai.     

"Tidak banyak bagaimana? Mendengar ucapanmu saja membuat aku takut!" ucap Aleandra.     

"Apa yang kau takutkan, Aleandra? Mereka semua baik. Lagi pula sebagian dari mereka tidak ada di sini, mereka akan kembali dan berkumpul saat natal dan tahun baru untuk melewatkan waktu bersama."     

Aleandra bernapas lega, beruntungnya dia tidak perlu bertemu dengan semua keluarga Maximus hari ini.     

"Bagaimana? Apa masih ragu?" tanya Maximus seraya membelai wajahnya.     

"Tidak, aku merasa lebih baik!"     

"Bagus, keluargaku manusia dan kau manusia. Keluargaku bukan kanibal jadi kau tidak perlu takut dengan mereka," ucap Maximus.     

Aleandra tersenyum, sekarang dia benar-benar merasa lebih baik walau masih ada rasa canggung dia rasakan di hatinya. Aleandra bersandar di bahu Maximus dengan nyaman, dia bahkan memejamkan matanya. Usapan tangan Maximus di kepalanya membuat mengantuk. Dia tidak tahu berapa lama akan tiba jadi dia memilih untuk seperti itu untuk sejenak.     

Max tersenyum tipis, bibir dinginnya kembali mendarat di dahi Aleandra. Dia sudah mengabari kakek dan neneknya dan mengatakan jika dia akan pulang membawa wanita yang dia sukai. Walau mereka belum jadi pasangan kekasih tapi cepat atau lambat gadis itu pasti jadi miliknya.     

Sebuah rumah megah sudah terlihat, Aleandra melihatnya tanpa berkedip. Rumah itu bagaikan sebuah kastil kerajaan, entah berapa luasnya tapi rumah itu berdiri di belakang sebuah bukit.     

Mata Aleandra semakin terbelalak, jangan katakan itu rumah kediaman keluarga Maximus tapi sepertinya demikian. Dia jadi ingin tahu, sebenarnya seberapa kaya keluarga Maximus Smith?     

Di lihat dari rumah yang dia tempati saat ini saja sudah membuatnya menelan ludah dengan susah payah apalagi melihat rumah megah bak kastil itu? Tiba-tiba kedua kakinya terasa lemas.     

"Max, apa itu rumah keluargamu?" tanya Aleandra.     

"Seperti yang kau tahu, Aleandra."     

"Oh my God, kakiku tiba-tiba tidak bertenaga!" ucap Aleandra.     

'Tidak perlu khawatir, kakek dan nenekku tinggal di sana dan.rumah itu digunakan saat seluruh keluargaku berkumpul agar semuanya muat."     

"Sekarang aku jadi ingin pingsan!"     

Max terkekeh dan mencium dahinya, sepertinya Aleandra akan benar-benar pingsan saat melihat bandara pribadi keluarganya. Rasakan sudah tidak sabar saat itu tiba dan melihat Aleandra pingsan.     

Mobil sudah berhenti, mata Aleandra tidak berhenti melihat sana sini. Jujur ini pertama kalinya dia datang ke rumah seperti itu. Rasa gugup kembali menyelimuti hati, rasanya tidak bisa percaya jika dia berada di sana saat ini.     

"Kenapa kau diam saja? Apa yang kau tunggu?" tanya Maximus karena Aleandra diam saja.     

"Kakiku tidak mau bergerak," ucap Aleandra.     

Max menhampiri Aleandra dan meraih tangannya, "Rileks, Aleandra," ucapnya.     

Aleandra mengangguk dan tersenyum, kakinya mulai melangkah dengan berat mengikuti langkah Maximus. Matanya tidak henti melihat sana sini saat mereka melangkah masuk ke dalam. Rumah megah itu benar-benar bagaikan sebuah istana, dia tidak bisa membayangkan seberapa kayanya keluarga Maximus.     

Rumah itu sunyi, tidak ada siapa pun. Aleandra sangat heran, begitu juga dengan Maximus.     

"Kenapa tidak ada orang, Max?" tanya Aleandra.     

"Entahlah, kau tunggu di sini. Aku akan mencari nenekku."     

"Tapi, Max," Aleandra menahan tangan Maximus karena dia tidak mau ditinggal sendirian.     

"Tidak apa-apa, aku hanya sebentar saja!"     

Dengan berat hati Aleandra melepaskan tangannya, dia juga tersenyum tipis saat Max mengusap kepalanya. Aleandra berdiri di tempat saat Max meninggalkan dirinya di dalam ruangan. Mata Aleandra masih tidak lepas dari Maximus saat pria itu masuk ke dalam sebuah ruangan.     

Aleandra kembali melihat sana sini, dia semakin merasa canggung. Cukup lama dia menunggu tapi Maximus tidak juga kembali. Dia jadi bingung, apakah dia harus mencari Maximus atau bagaimana?     

Tidak, sebaiknya dia menunggu sesaat lagi. Mungkin Max akan segera kembali. Aleandra kembali menunggu dan tidak lama kemudian seorang wanita cantik setengah baya keluar dari sebuah ruangan. Wanita itu melihat ke arahnya dengan tajam, dia juga melangkah dengan cepat ke arah Aleandra tentu matanya masih menatap gadis itu dengan tatapan tajamnya.     

"Se-Selamat siang, Nyonya," ucap Aleandra dengan sopan.     

Bukannya menjawab sapaan darinya, wanita itu berlari ke arahnya dan mengeluarkan sebuah tongkat dari belakangnya. Aleandra terkejut saat dia mendapatkan serangan tiba-tiba dari wanita itu. Tongkat yang ada di tangan sudah melayang ke arah Aleandra, tentunya Aleandra menunduk dengan cepat untuk menghindari tongkat yang dipukulkan ke arahnya.     

"Nyonya, apa yang kau lakukan?" tanya Aleandra seraya melangkah mundur.     

"Refleks yang bagus, tidak buruk!" wanita itu justru berkata demikian.     

Aleandra tampak tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi?     

"Bersiaplah, aku belum selesai!" ucap wanita itu.     

"Nyonya, aku datang bersama dengan Maximus!" ucap Alendra tapi apa pun yang dia katakan tidak dipedulikan oleh wanita itu.     

Aleandra kembali menghindar saat wanita itu memukulkan tongkatnya, dia bahkan menangkis serangan kaki yang dia dapat secara tiba-tiba. Tidak bisa, wanita itu tidak bercanda jadi dia harus serius.     

"Bagus, aku suka semangatmu!" ucap wanita itu.     

Mereka berdua sudah berdiri saling berhadapan dengan kuda-kuda siap menyerang.     

"Aku tidak tahu apa yang telah aku lakukan tapi aku tidak akan kalah!" ucap Aleandra.     

"Aku suka semangatmu!" dua tongkat di lemparkan ke bawah kaki Aleandra, "Ambil itu, pertarungan sesungguhnya baru dimulai!"     

Walau tidak mengerti, Aleandra mengambil tongkat yang dilemparkan oleh wanita itu. Dua tongkat sudah berada di tangan, mereka kembali memasang kuda-kuda siap menyerang. Mata mereka saling pandang dan setelah itu, teriakan mereka terdengar di susul dengan benturan tongkat yang keras.     

Serangan demi serangan didapat oleh Aleandra, dia bahkan kewalahan menangkis sabetan tongkat dari wanita itu. Walau sudah tua ternyata dia tidak boleh meremehkan wanita itu. Suara tongkat yang saling berbenturan terus terdengar, Aleandra melangkah mundur karena sedari tadi dia hanya menangkis tanpa memukul.     

"Ayolah, jangan kecewakan aku! Aku tidak suka tidak ada perlawanan!" teriak wanita itu seraya menendang perut Aleandra.     

Aleandra tidak bisa menghindari tendangan tiba-tiba itu, tubuhnya bahkan terdorong kebelakang. Aleandra berlutut di lantai dengan satu kaki, tangannya berada di perut dan matanya menatap wanita itu dengan tajam.     

"Jangan remehkan aku!" teriak Aleandra. Dia segera berlari ke arah wanita itu dan kali ini dia yang menyerang. Dua tongkat disabetkan tanpa ragu, lagi-lagi suara benturan terdengar. Mereka diam saling pandang saat tongkat saling membentur. Mereka berdua mundur sesaat dan setelah itu, mereka kembali saling menyerang.     

Tidak ada yang mau mengalah di antara mereka. Mereka terus memukul sampai satu tongkat mereka sudah terlempar di lantai.     

Aleandra terengah, ini tidak sama dengan aksi yang selalu dia lakukan. Beruntungnya dia bisa bela diri, jika tidak dia yakin dia sudah babak belur saat ini.     

Walau sudah tersisa satu tongkat, mereka juga terlihat lelah tapi tidak ada yang mau menyerah. Mereka bahkan masih memasang kuda-kuda, siap menyerang.     

"Kali ini kau pasti kalah!" teriak Aleandra.     

"Kita lihat saja nanti, Nona!" jawab wanita itu.     

Tongkat sudah terangkat, mereka saling pandang dan setelah itu mereka berlari sambil berteriak. Tongkat sudah terayun dan tidak lama kemudian suara benturan keras terdengar. Tongkat mereka berdua terpental ke atas, tapi bukan berarti pertarungan mereka selesai. Kini mereka saling memukul dan menendang, setiap kali pukulan di layangkan, mereka dapat menangkisnya begitu juga tendangan.     

Aksi pukul memukul berjalan cukup sengit sampai akhirnya mereka terhenti saat tangan Aleandra berada di leher wanita itu, begitu juga dengan tangan wanita itu yang berada di leher Aleandra.     

Mereka berdua terengah dengan ekspresi puas karena mereka imbang. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.     

Plok! Plok! Plok! Suara tepukan tangan terdengar. Aleandra sangat heran ketika melihat banyaknya orang-orang yang tiba-tiba keluar bahkan Maximus juga ada bersama dengan mereka.     

"Sudah cukup bukan, Aunty?" ucap Maximus.     

"Oh, Max. Kau memang tidak salah memilih," ucap Vivian. Dia adalah istri Matthew Smith kakak dari ayah Maximus.     

Aleandra melangkah mundur dengan ekspresi tidak mengerti. Aunty? Maximus menghampirinya dan meraih tangannya.     

"Tidak perlu takut, Aunty Vivian hanya bermain denganmu," ucapnya.     

Bermain? Aleandra ingin berteriak tapi dia tidak berani apalagi seorang wanita tua mendekatinya dan memeluknya sambil berkata, "Welcome to my family."     

Aleandra benar-benar tidak mengerti, matanya melihat orang-orang yang ada di sana lalu dia melihat ke arah Maximus. Apa sih maksud semua ini? Sungguh dia tidak paham.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.