Hi's Like, Idiot But Psiko

Tradisi Keluarga Smith



Tradisi Keluarga Smith

0Aleandra diam seribu bahasa saat Maximus mengompres perutnya yang terkena tendangan Vivian. Matanya menatap Maximus, dia benar-benar butuh penjelasan. Apa Max sengaja meninggalkan dirinya? Sesungguhnya untuk apa serangan yang diberikan oleh Aunty Maximus?     

Banyak yang ingin dia tanyakan tapi lidahnya terasa kelu. Dia merasa seperti mengikuti sebuah ujian bela diri. Seandainya dia tidak bisa membalas setiap serangan yang diberikan oleh Aunty Maximus tadi, dia rasa dia sudah babak belur dengan wajah lebam.     

"Maafkan Aunty Vivian, Aleandra. Sepertinya dia terlalu bersemangat," ucap Maximus.     

"Apa maksudnya ini, Max? Apa kau sengaja meninggalkan aku?" akhirnya perkataan itu terucap juga dari mulut Aleandra.     

"Tidak, mereka yang menahan aku agar aku tidak keluar!"     

"Benarkah?" Aleandra menatap Maximus dengan lekat.     

"Apa kau tidak percaya, Aleandra?" Maximus juga memandanginya.     

"Bukan begitu, Max. Lalu untuk apa aku diserang? Apakah mereka tidak menyukai aku?"     

Max tersenyum, baju Aleandra diturunkan. Akibat tendangan itu perut Aleandra sedikit memar. Aleandra masih menunggu jawaban dari Maximus, dia benar-benar ingin tahu akan hal itu.     

"Sesungguhnya itu seperti tradisi, Aleandra," ucap Maximus.     

"Tradisi? Tradisi macam apa itu, Max? Aku belum pernah melihat tradisi seperti ini," ucap Aleandra dengan ekspresi tidak mengerti.     

Max terkekeh dan mengecup bibir Aleandra. Pasti Aleandra merasa aneh tapi bukan Aleandra saja yang harus melewati tradisi dari keluarganya.     

"Kau tahu, Aleandra? Sesungguhnya itu semacam tradisi untuk menyambut calon menantu di rumah kami," ucap Max tanpa ragu.     

"Menan... What?" mulut Aleandra menganga. Apa dia tidak salah dengar?     

"Jangan bercanda, Max!" ucap Aleandra dengan wajah memerah.     

"Untuk apa aku bercanda? Setiap wanita yang akan masuk ke dalam keluarga kami pasti akan mendapatkan ujian seperti itu."     

Aleandra tampak tidak percaya, kenapa harus ada ujian? Sungguh aneh tapi Max berkata jika itu adalah tradisi keluarganya jadi mau di kata apa. Dia bisa protes tapi tunggu, dia bukan calon menantu jadi kenapa dia juga harus mendapatkan ujian seperti itu?     

"Ta-Tapi aku bukan calon menantu keluargamu, Max," ucap Aleandra seraya membuang wajahnya ke samping.     

"Apa kau tidak mau menjadi calon menantu keluarga ini, Aleandra?"     

"Wha-What?" Aleandra terkejut.     

"Apa kau tidak mau menikah denganku suatu saat nanti?" tanya Max lagi. Tangannya sudah berada di pipi Aleandra dan mengusapnya perlahan.     

"Ta-Tapi, Max?"     

"Lihat aku, Aleandra," pinta Maximus. Tangannya sudah berada di dagu Aleandra.     

"Apa kau pikir aku main-main denganmu?" tanya Maximus. Aleandra diam, tidak tahu harus menjawab apa.     

"Aku serius denganmu, sangat serius. Aku tidak sedang bermain-main karena aku sudah menetapkan hatiku padamu. Walau saat ini kau belum memiliki perasaan untukku tapi aku akan sabar menunggu sampai kau memiliki perasaan padaku. Jadi segeralah jatuh cinta padaku, Aleandra. Jangan membuat aku lama menunggu karena aku sudah tidak sabar menjadikan dirimu sebagai milikku!"     

Jantung Aleandra berdebar, wajahnya juga memerah. Entah sudah berapa kali dia mendengar ucapan Maximus yang seperti itu tapi tetap saja membuat jantungnya berdebar.     

"Aku tidak memaksamu, aku ingin kau mau bersama denganku tanpa paksaan. Jangan jadikan ucapanku seperti beban tapi nikmati saja waktu kebersamaan kita. Lambat laun kau pasti menjadi milikku!" ucap Maximus lagi. Sungguh dia semakin cerewet.     

"Max, keluar! Kau ingin menyembunyikan dirinya sampai kapan?!" terdengar suara Vivian di depan pintu kamar.     

"Aku akan segera membawanya keluar, Aunty!"     

"Segera, jangan bawa dia bersembunyi di dalam lemari!"     

Aleandra tersenyum, matanya melihat ke arah lemari besar yang ada di kamar itu. Sepertinya itu lemari yang menjadi tempat Maximus untuk bersembunyi.     

"Ayo kita keluar, mereka sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu," Maximus mengulurkan tangannya ke arah Aleandra. Senyum menawannya terukir di bibir, sedangkan Aleandra meletakkan tangannya ke atas telapak tangan Maximus sambil tersenyum.     

"Kali ini tidak ada lagi tradisi lainnya, bukan?" tanya Aleandra curiga.     

"Tidak perlu khawatir, aku rasa sudah tidak ada," jawab Max. Saat itu mereka sudah berjalan keluar.     

"Apa maksudmu? Kenapa perkataanmu seperti tidak meyakinkan?" tanya Aleandra.     

Max hanya tersenyum tanpa menjawab, sedangkan Aleandra semakin curiga. Apa akan ada drama lainnya lagi?     

Mereka segera keluar dari kamar, Max membawa Aleandra ke ruang keluarga di mana keluarganya ada di sana. Ayah dan ibunya juga sudah datang, mereka bergabung dengan yang lainnya dan terlihat berbincang.     

"Hai, Guys," sapa Max pada keluarganya.     

"Kemarilah, Aleandra. Duduk dengan kami," ajak Marline.     

Aleandra menghampiri Marline dengan canggung, dia melambai sana sini sambil tersenyum. Dia menjadi pusat perhatian, tentunya hal itu membuatnya tidak nyaman.     

Dua wanita dengan wajah sama menjadi perhatiannya, mereka adalah Alesya Smith dan Scarlet Smith. Mereka dua dari kembar enam anak dari Matthew Smith dan Vivian. Kembaran mereka yang lain tidak datang karena mereka sedang sibuk.     

Aleandra duduk di sisi Marline di mana Kate juga duduk di sana. Gadis itu tersenyum canggung saat Kate mengusap lengannya.     

"Jadi namamu adalah Aleandra?" tanya Kate.     

"Ya, Nyonya," jawab Aleandra.     

"Kenapa memanggil aku Nyonya? Aku nenek Maximus jadi panggil aku nenek," ucap Kate.     

Aleandra hanya mengangguk sambil tersenyum, wanita tua yang sangat ramah.     

"Dari mana asalmu, Aleandra?" tanya Kate.     

"Aku dari Rusia, Nenek. Aku melarikan diri ke Amerika karena aku dikejar oleh orang-orang yang ingin membunuh aku," ucap Aleandra tanpa ragu. Dia tidak mau menyembunyikan apa pun pada keluarga Maximus. Mereka mau menerima dirinya atau tidak, dia harus menerimanya.     

"Astaga, apa yang terjadi? Kenapa kau tidak mengatakan hal ini pada kami, Marline?" tanya Kate.     

Aleandra menunduk, sepertinya dia tidak diterima. Sudah dia duga, keluarga Max pasti tidak mau Maximus celaka hanya karena menjalin hubungan dengan seorang wanita biasa seperti dirinya.     

"Sorry, Mom. Aku tidak bermaksud menyembunyikan hal ini tapi aku pikir lebih baik kalian mendengarnya secara langsung dari Aleandra."     

"Ma-Maaf, aku tidak mau menyusahkan Max. Aku benar-benar minta maaf," Aleandra menunduk dengan wajah sedih.     

"Apa luka ini kau dapatkan karena melindunginya, Max?" tanya Scarlet seraya melihat tangan Max dan yang saat itu dia duduk di sisi Maximus.     

"Yeah, begitulah," jawab Maximus.     

"Ya ampun, Max. Kenapa bisa luka seperti ini? Padahal kau tidak pernah terluka sebelumnya!" ucap Alesya pula.     

"Tidak perlu dipikirkan, hanya luka ringan saja," ucap Max lagi.     

Aleandra semakin menunduk, luka di lengan Maximus memang didapat saat melindungi dirinya. Dia jadi semakin merasa bersalah apalagi semua mata menatap ke arahnya.     

"A-Aku benar-benar minta maaf."     

"Apa maaf saja cukup? Bekas luka ini akan ada di lengannya untuk seumur hidupnya. Walau dia seorang pria tapi tetap saja bekas luka ini akan jelek!" ucap Scarlet.     

Semua diam, begitu juga dengan Maximus. Dia tahu kedua sepupunya hanya iseng saja untuk mengerjai Aleandra.     

"La-Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menggantikannya dengan lenganku?" tanya Aleandra dengan pelan.     

"Bagaimana lenganmu bisa menggantikan lengannya?" kini giliran Alesya.     

"I-Itu?" Aleandra gugup. Matanya melihat Maximus, dia sangat berharap Max membantunya tapi Max diam saja. Setelah melihat ke arah Maximus dan tidak mendapat bantuan, Aleandra melihat ke arah Marline. Dia juga berharap Marline membantunya tapi Marline justru terlihat prihatin.     

"Jangan dipikirkan, mereka tidak bermaksud menyalahkan dirimu. Max sudah seperti adik mereka jadi itu seperti rasa prihatin mereka pada Maximus," ucap Kate.     

"Aku memang sudah salah, Nenek. Aku minta maaf," Aleandra kembali menunduk, air mata hampir tumpah.     

"Aku hanya bisa menyusahkan hidup Max saja, aku hanya bisa menjadi beban untuknya. Tidak seharusnya aku bersama dengannya, aku minta maaf."     

"Kenapa kau jadi bicara yang tidak-tidak? Kami hanya membahas luka ini saja," ucap Scarlet.     

"Ya ampun, Max. Lenganmu sepertinya harus di tato agar bekas luka ini tidak terlihat," sela Alesya.     

"Nanti aku akan membuatnya," ucap Maximus.     

"Tapi bagaimana jika calon istrimu nanti tidak suka dengan tato di lengannya?" tanya Scarlet.     

"Kau benar, itu akan jadi masalah untukmu, Max," sela Alesya.     

Aleandra menggigit bibir, ucapan kedua sepupu Max bagaimana menohok dirinya. Apa ini semacam sindiran keras untuknya?     

"Tidak apa-apa, aku rasa calon istriku tidak akan keberatan," Max berkata demikian sambil melihat ke arah Aleandra.     

"Dari mana kau tahu?" tanya Scarlet dan Alesya secara bersama-sama.     

"Be-benar, aku tidak keberatan!" ucap Aleandra.     

Semua mata melihat ke arah Aleandra, begitu juga dengan Maximus.     

"Kenapa kau yang menjawab, apa kau calon istrinya?" tanya Scarlet.     

"Ya!" Aleandra bangkit berdiri, "Aku memang calon istrinya. Apa salah?" tanya Aleandra tanpa pikir panjang. Dia sungguh jadi terpancing dengan permainan yang dibuat oleh Scarlet dan Alesya.     

Aleandra terengah, dia jadi terbawa emosi. Di saat dia sedang menenangkan emosinya, gelak tawa terdengar di ruangan itu. Aleandra tampak linglung, apa yang terjadi?     

"Akting kita sukses," ucap Scarlet dan setelah itu dia mengadukan telapak tangannya pada Alesya.     

Mereka berdua tertawa, sedangkan Aleandra terduduk kembali dengan perasaan yang tidak menentu bahkan wajahnya tampak memerah.     

"Selamat, Max. Dia bersedia jadi istrimu. Ingat, jangan kau bawa dia tinggal di dalam lemari," ucap Alesya pada Maximus.     

"Yeah," jawab Max singkat. Senyum menghiasi wajah, matanya tidak lepas dari Aleandra yang bagaikan orang ling lung.     

"Ya ampun, akhirnya aku akan punya menantu," Marline terlihat senang.     

"Selamat untukmu, Marline," ucap Vivian.     

"Bagaimana akting kami berdua, Aunty?" tanya Scarlet pada Alesya.     

"Akting kalian sangat keren," Marline menunjukkan jari jempolnya.     

Aleandra menatap Scarlet dan Alesya, jadi mereka berdua hanya berakting saja? Entah kenapa dia jadi merasa dijebak oleh mereka? Mata Aleandra melotot ke arah Maximus tapi pria itu tersenyum lebar. Dia tidak menyangka Aleandra akan menjawab demikian dan tentunya dia sangat senang.     

"Sekali lagi, Sayang. Welcome to my family," ucap Kate.     

Gelak tawa kembali terdengar, Aleandra tampak cemberut karena lagi-lagi dia dikerjai oleh keluarga Maximus. Sudah dua kali, rasanya ingin berteriak tapi lagi-lagi dia tidak berani melakukanya. Seperti yang Maximus katakan, itu adalah tradisi yang mereka lakukan untuk menyambut anggota baru mereka karena jika lelaki Smith membawa seorang wanita pulang dan mengenalkan wanita itu pada yang lain berarti wanita itu sudah ditetapkan akan menjadi bagian dari mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.