Hi's Like, Idiot But Psiko

Aku Tidak Terima



Aku Tidak Terima

0Mereka masih berada di restoran, tangis Aleandra sudah berhenti. Tatapan Fedrick terhadap Maximus sudah berbeda, api permusuhan dan kebencian terpancar jelas dari tatapan matanya. Semua gara-gara pria itu, Aleandra pasti kesepian di tengah pelariannya. Pria itu pasti sengaja memberikan perhatian pada Aleandra yang memang sejatinya sudah kesepian akibat kehilangan keluarga dan juga tidak mendapatkan perhatian darinya.     

Sungguh licik, entah kenapa dia curiga jika Maximus hanya memanfaatkan Aleandra saja. Pria itu terlihat aneh, dia diam saja sedari tadi. Jika dia benar-benar mencintai Aleandra seharusnya dia mencegah kekasihnya disentuh dan didekati oleh pria lain apalagi pria yang menyukai kekasihnya. Pria itu hanya mengatakan beberapa kata saja, dia juga tidak menghibur Aleandra. Pria macam apa pria itu?     

Maximus tahu Fedrick menatapnya dengan tatapan permusuhan tapi dia tidak peduli. Max mengusap air mata Aleandra yang masih tersisa, dia kira gadis itu akan mengecewakan dirinya tapi ternyata tidak. Walau ada beberapa perkataan Aleandra yang tidak dia suka tapi masih bisa dia terima. Dia juga harus mengerti jika semua itu tidaklah mudah untuk Aleandra. Setidaknya gadis itu sudah memilih dirinya dan menolak Fedrick dengan tegas. Itu sudah cukup untuk membuktikan jika Aleandra tidak ragu dengan dirinya dan itu sudah cukup menunjukkan jika Aleandra serius dengan hubungan mereka.     

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Maximus seraya mencium dahinya. Dia tidak ragu menunjukkan perhatiannya di hadapan Fedrick apalagi pria itu mulai menganggapnya musuh. Pria itu juga harus tahu, Aleandra sudah menjadi miliknya.     

"Yeah, maaf jika ada perkataanku yang tidak menyenangkan. Tolong jangan marah, aku tidak bermaksud mengecewakan dirimu," Aleandra menatapnya, dia harap Maximus mempercayainya.     

"Stts... tidak perlu berkata demikian," Maximus kembali mencium dahinya.     

"Bisakah kalian tidak melakukan hal itu?" ucap Fedrick dengan nada kesal. Dia sedang hancur dan patah hati tapi mereka justru mengumbar kemesraan. Apa pria itu sengaja melakukannya untuk menunjukkan padanya jika Aleandra sudah menjadi miliknya?     

"Fedrick, seperti yang kau lihat. Aku dan Max sedang menjalin hubungan."     

"Aku tidak terima, Aleandra! Aku tahu kau sedang mencari perlindungan darinya sebab itu kau mau menjalin hubungan dengannya!"     

"Jangan sembarangan berbicara, Fedrick. Aku memang mencari perlindungan agar aku tidak tertangkap oleh orang-orang jahat yang hendak menangkap aku tapi aku menjalin hubungan dengan Max karena dia mencintai aku dengan tulus!" Aleandra jadi kesal karena Fedrick berbicara sembarangan.     

"Aku juga mencintaimu dengan tulus, Aleandra. Tolong pertimbangkan lagi dan kembalilah denganku. Aku tidak akan mempermasalahkan kau sudah tidur dengannya, aku akan menutup mata akan hal itu. Aku akan menganggap hal itu tidak pernah terjadi."     

"Cukup, Fedrick!" Aleandra semakin kesal.     

"Bukan masalah aku tidur dengannya atau tidak, aku bersedia karena dia benar-benar menunjukkan jika dia akan selalu ada untukku. Dia benar-benar memberikan apa yang aku mau. Bukankah sudah kita bahas tadi? Aku rasa aku tidak perlu mengulanginya lagi. Seharusnya kau intropeksi dirimu, Fedrick. Seharusnya kau sudah tahu kenapa aku tidak mau melanjutkan hubungan kita!"     

"Aleandra, please. Aku mohon kau mau mempertimbangkannya lagi!" pinta Fedrick dengan nada memohon.     

"Tidak, berapa kali pun kau mencoba tapi jawabanku tetap sama. Kita sudah tidak bisa kembali lagi!"     

"Jadi sama sekali tidak ada kesempatan untukku?" Fedrick menunduk. Penyesalan dan kekecewaan begitu menyesakkan dada. Rasanya ingin berteriak marah, rasanya ingin melemparkan sesuatu agar kemarahannya terlampiaskan.     

"Maafkan aku, Fedrick. Kembalilah, sampaikan salamku pada kedua orangtuamu dan katakan aku tidak bisa kembali ke sana lagi. Aku harap kau berhati-hati, semoga saja orang-orang yang mengincar aku tidak mengganggu kalian. Aku juga berharap kau menemukan yang jauh lebih baik dariku. Ingat satu hal ini, Fedrick. Jangan melakukan hal yang sama seperti yang telah kau lakukan."     

"Jadi kita akan berakhir seperti ini?" Fedrick memandangi Aleandra dengan tatapan sendu. Mungkin ini akan jadi terakhirnya bertemu dengan Aleandra tapi rasanya tidak rela.     

"Seharusnya kau sudah tahu, Fedrick. Aku sudah memutuskan hubungan kita waktu itu. Sudah aku katakan seharusnya kau tidak datang tapi setelah ini aku harap kau tidak mencari aku lagi. Sejak awal kita memang tidak berjodoh jadi jangan memaksakan diri agar kita bisa bersama."     

Fedrick tidak bersuara, matanya melihat ke arah Aleandra lalu melihat ke arah Maximus. Hatinya hancur, ternyata seperti itu rasanya patah hati. Pria itu beranjak, bunga yang sedari tadi berada di sisinya dia ambil dan setelah itu Fedrick memberikannya pada Aleandra.     

"Ini untukmu, walau kau berkata seperti itu tapi aku tidak rela. Aku tidak akan menyerah, Aleandra. Kau wanita yang sangat aku inginkan jadi aku tidak akan menyerah begitu saja!" setelah berkata demikian Fedrick melangkah pergi. Matanya kembali panas, kali ini dia tidak bisa menahannya lagi. Air matanya tumpah, dia tidak peduli jika ada yang melihat keadaannya. Rasa sesak itu sudah tidak bisa dia tahan, dia tidak menyangka dia akan patah hati seperti ini. Dia kira bisa membujuk Aleandra tapi nyatanya, dia tidak menduga seorang pria sudah mengisi hati Aleandra.     

Fedrick keluar dari restoran dengan perasaan hancur, sang informan yang dia bayar bahkan tidak berani bertanya setelah melihat keadaannya. Tidak, dia tidak boleh menjadi seorang pecundang yang menyerah dengan cepat. Seperti yang dia katakan, dia tidak akan menyerah. Dia akan berada di kota itu untuk beberapa hari, dia harus menemui Aleandra kembali dan meyakinkan dirinya jika dia benar-benar ingin memperbaiki hubungan mereka. Apa pun caranya dia harus mendapatkan Aleandra dan membawanya kembali bersama dengannya. Jika perlu dia akan menculik dan membawa Aleandra pergi yang jauh lalu menikahinya. Saat itu terjadi, memangnya apa yang bisa dilakukan oleh pria bernama Maximus itu? Fedrick mengusap wajahnya dengan kasar, sial. Kenapa dia jadi memiliki niat jahat? Tidak, dia tidak boleh melakukan hal itu karena Aleandra pasti akan sangat membencinya.     

Sebaiknya dia kembali menemui Aleandra dan membujuknya. Lagi pula dia punya dua alamat yang bisa dia datangi untuk mencari keberadaan Aleandra. Jujur saja dia juga ingin berbicara secara pribadi dengan Maximus Smith tanpa diketahui oleh Aleandra. Dia ingin tahu, apakah pria itu serius atau hanya ingin mempermainkan Aleandra saja? Dia akan mendatangi pria itu besok tapi untuk saat ini, dia butuh tempat tenang untuk menenangkan diri.     

Fedrick meminta sang informan untuk pergi karena pekerjaannya sudah selesai. Dia juga memberikan bayaran yang seharusnya di dapat oleh informan itu. Fedrick kembali ke hotel sedangkan di dalam restoran, Aleandra tidak bergeming. Bunga yang diberikan oleh Fedrick masih berada di tangan. Dia juga tidak berani menangisi Fedrick. Dia berusaha menahan semua sesak yang dia rasakan karena dia tidak ingin membuat Maximus kecewa dengannya apalagi dia sudah berjanji tidak akan menangisi pria lain dihadapan Maximus lagi.     

"Berikan bunganya padaku," pinta Maximus.     

Aleandra memberikannya sambil berusaha tersenyum, walau dia sedih tapi dia juga harus menjaga perasaan Maximus. Pria itu begitu tulus dan mencintainya sebab itu dia harus menjaga perasaannya dan tidak membuatnya marah dan kecewa.     

Bunga dilemparkan begitu saja, Aleandra melihatnya dalam diam. Itu hanya bunga saja, bukan?     

"Jika ingin bersama denganku jangan menyimpan benda apa pun yang diberikan oleh pria lain," ucap Maximus.     

"Tentu tidak, lagi pula itu hanya bunga saja. Pada akhirnya akan layu dan akan dibuang."     

"Baiklah, jika begitu ayo kita kembali," ajak Maximus.     

"Tapi aku lapar, Max," Aleandra memandanginya dengan tatapan sendu. Dia sangat ingin makan karena dia ingin mengalihkan kesedihan hati yang begitu menyesakkan dada dengan makanan. Jika ada kolam renang, mungkin dia sudah menenggelamkan diri di dalam sana.     

"Baiklah, kita makan terlebih dahulu dan setelah itu aku akan mengajakmu pulang ke rumah kedua orangtuaku."     

Aleandra mengangguk dan tersenyum, dia memesan banyak makanan tanpa ragu. Max menatapnya dengan tatapan heran, tapi dia tidak mau bertanya dan hanya diam saja saat Aleandra menunjuk begitu banyak makanan. Lagi pula dia tidak akan melarang, mungkin Aleandra memang sedang lapar.     

Beberapa menu sudah diantar, Aleandra makan dengan lahap seperti sudah tidak makan selama dua hari. Sesungguhnya air matanya sudah akan tumpah tapi dia berusaha menahannya dengan susah payah.     

"Makan pelan-pelan, Aleandra!" ucap Maximus karena Aleandra tersedak makanan.     

"Aku benar-benar lapar!" gelas minuman diraih, isinya pun di teguk sampai habis.     

"Aleandra!" Max meraih tangan Aleandra dan menariknya mendekat.     

"Tidak perlu bertingkah seperti itu untuk menutupi kesedihan hatimu. Apa kau tidak menganggap aku ada? Apa kau pikir aku tidak tahu jika saat ini kau sedang sedih?"     

"Maaf, aku hanya tidak ingin membuatmu kecewa."     

Maximus tersenyum, tangannya sedang mengusap kepala Aleandra dengan perlahan. Gadis itu juga sudah bersandar di dadanya, Max bahkan sedang memeluknya saat ini.     

"Aku tahu kau tidak mau mengecewakan aku, Aleandra. Tapi aku tidak melarang kau menangis. Aku tidak suka melihatmu menahan kesedihan seperti ini. Jika kau mau menangis, maka menangislah. Aku tidak akan marah, ini akan lebih baik dari pada kau menangis secara sembunyi-sembunyi. Aku lebih tidak suka lagi jika kau melakukan hal itu."     

"Tapi aku sudah berjanji tidak akan menangisi pria lain di hadapanmu."     

"Kali ini pengecualian. Kau boleh menangis sampai kau puas dan aku tidak akan marah."     

"Benarkah?"     

"Yeah... hari ini pengecualian."     

"Kau tidak akan mencekik aku, bukan?"     

Max terkekeh dan mencium dahinya, "Tidak!" ucapnya.     

Aleandra tersenyum, matanya pun terpejam. Perasaannya sedikit membaik apalagi Max mengusap punggungnya dan mencium dahinya sesekali.     

"Tidak jadi menangis?" tanya Maximus.     

"Rasanya jadi tidak ingin."     

"Jika begitu kita pergi!"     

"Aku ingin seperti ini sebentar," ucap Aleandra. Kedua tangannya sudah melingkar di tubuh Maximus, mata masih terpejam.     

"Jika tiba-tiba aku menangis nanti, tolong jangan marah padaku, Max," pinta Aleandra.     

"Aku tidak akan marah, Aleandra. Aku berjanji tapi ingat, kau tidak boleh menangisinya begitu lama. Saat ini aku bersabar demi dirimu tapi ingat, kesabaranku ada batasanya."     

"Terima kasih," Aleandra tersenyum tipis. Dia sangat bersyukur Maximus mau mengerti dan mengijinkan dirinya untuk menumpahkan kesedihannya. Padahal dia bisa menangis saat itu juga tapi entah kenapa tiba-tiba dia tidak bisa melakukannya. Dia sangat berharap. Fedrick segera kembali dan semoga saja dia tidak gelap mata dan melakukan segala cara karena tidak terima hubungan mereka berakhir.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.