Hi's Like, Idiot But Psiko

Rencana Oliver



Rencana Oliver

0Oliver terlihat puas, sudah dia duga ada persaingan cinta dan seperti yang dia duga Maximus tidak akan melepaskan gadis itu. Dia masih mengintai cctv sampai Fedrick pergi bahkan sampai Maximus membawa Aleandra pergi.     

Sekarang saatnya menyusun rencana, yang mana dulu yang harus dia temui. Apakah dia harus langsung menemui anak buah Antonio atau dia pergi menemui Fedrick terlebih dahulu. Dia harus memikirkan hal ini baik-baik karena dia tidak boleh kehilangan sekutu yang memiliki kekuatan besar.     

"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Oliver?" tanya Austin. Dia yakin Oliver memiliki rencana lebih baik dari pada dirinya.     

"Aku sedang memikirkannya, Austin."     

"Jangan berlama-lama, jika tidak kita akan kehilangan sekutu besar yang akan memberikan kita kemenangan!" ucap Austin.     

"Sabarlah, Austin. Terlalu buru-buru juga tidak baik. Kita tidak bisa langsung mendekati mereka karena itu bisa membuat mereka curiga. Jangan sampai nyawa kita yang melayang sebelum kita bisa mengajak mereka bekerja sama."     

"Jadi?" Austin semakin ingin tahu.     

"Dengar, Austin. Orang-Orang itu pergi begitu saja setelah mengintai dan aku menebak mereka memang hanya ingin tahu siapa yang melindungi buronan mereka. Mereka sengaja memancing pemuda itu datang hanya untuk tahu siapa musuh yang harus mereka lawan. Sebab itu mereka langsung pergi setelah mengintai dan aku yakin mereka akan mencari tahu tentang Maximus Smith."     

"Lalu?" Austin tampak belum paham.     

Seringai lebar menghiasi wajah Oliver, semua sesuai dengan dugaannya dan dia tidak menyangka Maximus tidak melakukan pertahanan apa pun. Hanya beberapa anak buah saja yang terlihat berjaga. Seharusnya si ahli peretas itu sudah tahu jika apa yang akan dia lakukan akan dilihat oleh musuh sehingga dia harus waspada dan mematikan cctv atau mengacaukannya.     

Sepertinya pria itu tidak menyangka akan ada yang mengintai atau dia memang lupa. Cinta memang bisa membuat semua orang lupa sampai Maximus yang terkenal akan kekejaman dan ke hati-hatiannya itu bisa melakukan hal ceroboh hanya karena cinta. Dia akan memanfaatkan kelalaian yang pria itu lakukan, dia juga tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan tapi apakah semua sesuai dengan apa yang sedang dia pikirkan saat ini?     

"Kenapa kau tidak menjawab aku, Oliver. Apa yang sedang kau rencanakan?" Austin sungguh ingin tahu.     

Oliver menatapnya dengan seringai lebar, kali ini tidak mungkin gagal asal mereka melakukannya dengan penuh perhitungan. Kekuatan besar yang mereka temukan bagaikan intan permata yang tidak boleh di sia-siakan.     

"Dengarkan aku, Austin. Untuk kali ini kita tidak boleh gagal. Kita juga harus melakukannya dengan penuh perhitungan. Tidak boleh terlalu cepat, tidak boleh pula terlalu lama. Orang-Orang yang mengikuti pemuda itu, aku yakin seratus persen jika dia datang mengikuti pemuda itu untuk mencari tahu siapa orang yang melindungi gadis buronannya. Aku menebak telah terjadi sesuatu di antara mereka sebab itu aku juga menebak jika mereka akan mencari tahu siapa sebenarnya pria yang akan mereka hadapi. Menurutmu, Austin. Apakah mereka bisa mendapatkan informasi Maximus Smith dengan mudah?" Oliver kembali menyeringai.     

Tidak akan ada yang bisa mendapatkan informasi tentang Maximus dengan mudahnya, sampai sekarang belum ada yang bisa apalagi orang-orang dari Rusia yang tidak tahu apa pun. Mereka seperti sedang masuk ke dalam kandang Singa tanpa tahu jika itu adalah kandang Singa. Bagi Maximus mereka bagaikan mangsa empuk yang menyerahkan nyawa walau pria itu tidak tahu kehadiran mereka. Sebab itu dia bisa memanfaatkan mereka.     

"Jadi kau berencana mendekati mereka saat mereka sudah tidak bisa menemukan informasi tentang si idiot itu?" tanya Austin.     

"Yes, tapi kita tidak perlu terburu-buru. Biarkan saja mereka mencari dan ketika waktunya sudah tiba, aku yang akan mendekati mereka dan memberikan mereka harapan. Pada saat itu, kita akan mendapatkan kekuatan mereka sehingga kita bisa melancarkan aksi balas dendam kita."     

"Kau sungguh pintar, Sayang. Aku tidak menyangka kau bisa merencanakan hal ini tapi bagaimana dengan pemuda itu?" Austin melihat ke arah komputer di mana mereka masih meretas cctv hotel yang memperlihatkan Fedrick berada di sebuah bar dan sedang menikmati sebotol minuman untuk menjernihkan pikirannya.     

"Dia bisa jadi pion berguna kita, Austin. Kita juga harus memantau pria itu, pria yang patah hati bisa melakukan apa pun jadi percayalah padaku. Pemuda itu tidak mungkin pergi begitu saja, dia pasti akan terus berusaha untuk mengejar gadis itu. Maximus juga tidak mungkin melepaskan gadis itu jadi kita akan melihat mereka bentrok karena cinta dan setelah itu? Kitalah yang diuntungkan oleh situasi itu."     

"Kau benar-benar luar biasa, Sayang. Kau memikirkan hal ini begitu matang sampai apa yang akan kau lakukan pada pemuda yang patah hati itu pun kau pikirkan."     

"Tentu saja, Austin. Selama ini kita sudah mengorbankan banyak anak buah, mereka mati sia-sia tanpa bisa membunuh Maximus jadi sekarang, kita harus memanfaatkan kekuatan besar itu untuk menggapai kemenangan. Sebab itu kali ini tidak perlu terburu-buru tapi tidak boleh pula terlambat. Kita manfaatkan situasi ini, Maximus pasti tidak akan tahu dan tidak akan menyangka jika kita memanfaatkan hal ini untuk berkolaborasi dengan musuh untuk menghancurkan dirinya!" Oliver tersenyum, mata masih melihat ke arah Fedrick yang hancur karena patah hati.     

Sebotol minuman sudah hampir habis, Fedrick menunduk dengan gelas yang baru diisi penuh dengan minuman di tangan. Dia juga sudah terlihat mabuk. Rasanya tidak bisa mempercayainya, dia ditolak karena pria lain.     

Padahal dia datang dengan harapan tinggi, tapi semua harapan itu hancur seketika. Dia kalah telak oleh pria yang baru dikenal oleh Aleandra, gadis itu pasti seperti mendapat rumah disaat pelariannya.     

"Kenapa, Aleandra?" bahu Fedrick gemetar. Air mata pun mengalir tanpa sadar, rasanya sangat menyakitkan. Fedrick kembali meratapi patah hati yang baru dia rasakan, dia harap dia sedang bermimpi dan begitu terbangun Aleandra ada di sisinya.     

Ponsel Fedrick berbunyi, dia enggan menjawab tapi dia rasa itu dari ibunya yang ingin tahu apa dia sudah berhasil atau tidak dan benar saja, ibunya sudah tidak sabar ingin tahu apakah Fedrick berhasil membawa Aleandra atau tidak.     

"Bagaimana, Fedrick?" tanya ibunya setelah Fedrick menjawab.     

"Aku gagal!" ucap Fedrick.     

"Apa maksudmu gagal?" tanya ibunya tidak mengerti.     

"Dia sudah punya kekasih yang lain," ucap Fedrick dengan perasaan hancur.     

"Apa? Tidak mungkin!" Ibunya terdengar tidak percaya.     

"Dia menolak aku, dia lebih memilih bersama dengan pria yang baru dia kenal itu. Aku sudah kalah!" terdengar nada kecewa dari ucapannya.     

"Oh, tidak!" Ibunya juga terdengar kecewa.     

"Kenapa, Fedrick? Dia belum lama menghilang tapi kenapa da begitu cepat berpaling?" tanya ibunya.     

"Aku tidak tahu, Mom. Dia bersama dengan pria itu saat menemui aku. Aleandra berkata dia mendapatkan apa yang dia ingin selama ini dari pria itu."     

"Kau lihat itu! Dia ingin dicintai dan begitu dia bertemu dengan seseorang yang memberikan apa yang dia inginkan dan yang tidak dia dapatkan darimu selama ini maka dia langsung berpaling darimu!"     

"Aku tahu aku salah, Mom!" Fedrick mengusap wajah dan terlihat frustrasi.     

"Sekarang kau baru tahu saat semua sudah terlambat. Jangan salahkan dirinya yang berpaling tapi salahkan dirimu yang tidak pernah memberikan apa yang sangat dia inginkan. Bukankah sudah aku katakan, wanita butuh kasih sayang dan dicintai tapi kau tidak pernah memberikan hal itu untuknya!"     

Fedrick diam, tidak bisa menjawab. Semua memang salahnya tapi dia tidak rela. Dia sangat mencintai Aleandra walau dia sedikit terlambat.     

"Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau kehilangan dirinya!"     

"Jika kau memang benar-benar menginginkannya kembali, cobalah untuk berbicara dengannya secara pribadi. Pria sejati tidak akan menyerah dengan mudah. Pria sejati akan melakukan apa pun untuk cintanya jadi jangan menyerah hanya karena dia menolakmu satu kali. Mungkin saja dia seperti itu karena dia baru merasakan manisnya cinta dari pria yang baru dia temui. Mungkin saja dia akan berubah pikiran setelah kau menemuinya lagi dan menunjukkan kesungguhan cintamu padanya!"     

"Bagaimana jika dia tetap menolak?"     

"Kau belum mencobanya, Fedrick. Lakukan saja jika kau memang sangat ingin memperbaiki hubungan kalian tapi kau harus ingat, kau tidak boleh memaksa karena cinta tidak bisa dipaksakan! Jangan melakukan kesalahan yang membuatnya jadi membenci dirimu!"     

"Aku tahu, tapi aku tidak akan mundur sekalipun dia menolak! Sejak awal dia milikku jadi dia akan tetap menjadi milikku. Siapa pun pria itu aku tidak akan takut dan menyerah!" ucap Fedrick. Dia memang berniat menemui Maximus secara pribadi dan memintanya untuk meninggalkan Aleandra. Semoga saja pria itu bisa dia ajak bernegosiasi sehingga Aleandra bisa kembali dengannya dan dia juga berniat menemui Aleandra.     

"Aku senang kau mau berjuang untuk mendapatkan cintamu tapi ingat, jangan kelewat batas. Kau juga tidak tahu siapa yang dipilih oleh Aleandra saat ini. Jangan memakai kekerasan karena semua yang terjadi akibat kesalahanmu. Bicarakan semua baik-baik tapi jika Aleandra tidak juga mau kembali maka anggaplah kalian memang tidak berjodoh. Aku juga suka dengannya dan menyayanginya tapi jika dia tidak bisa menjadi menantuku, apa yang bisa aku lakukan? Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada orang lain apalagi soal perasaan!" Nasehat ibunya. Dia berkata demikian agar Fedrick tidak memaksakan kehendaknya. Dia ingin Fedrick berjuang untuk mendapatkan cintanya. Sebagai laki-laki Fedrick memang harus melakukan hal itu tapi dia tidak mau Fedrick salah mengambil langkah apalagi memaksakan kehendaknya pada Aleandra.     

"Aku tahu!" Jawab Fedrick singkat.     

"Jika begitu tidak perlu cepat-cepat kembali. Soal pekerjaan ayahmu yang akan menanganinya. Berjuanglah dan aku harap kau berhasil dan jangan lupakan nasehat dariku!"     

"Sudah aku katakan, aku tahu!" jawab Fedrick. Dia benar-benar tidak bersemangat. Tidak saja semangat, dia merasa separuh jiwanya seperti hilang. Kehilangan orang yang dicintai terasa begitu menyakitkan apalagi semua yang terjadi akibat kebodohan yang dilakukan oleh diri sendiri.     

Fedrick meneguk minumannya sampai habis setelah selesai berbicara dengan ibunya. Tentu dia tidak akan cepat kembali, sekarang pekerjaan tidak penting lagi karena yang paling penting saat ini adalah membawa Aleandra kembali bersama dengannya. Sebaiknya dia mencari apartemen yang bisa dia gunakan selama satu bulan, dia tahu tidak akan mudah tapi dia tidak akan menyerah untuk mendapatkan Aleandra kembali dari tangan pria itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.