Hi's Like, Idiot But Psiko

Debaran Lain



Debaran Lain

0Marline sangat heran karena Aleandra terlihat tidak bersemangat sama sekali. Keadaannya sudah seperti itu semenjak dia datang. Maximus tidak juga mengatakan apa pun, mereka berdua bahkan tidak banyak bicara.     

Hal itu membuat Marline sangat heran, apakah mereka berdua bertengkar? Marline melihat ke arah putranya, lalu dia melihat ke arah Aleandra. Gadis itu terlihat sangat murung dan hal itu semakin membuat Marline ingin tahu.     

"Ada apa dengan kalian berdua? Kalian tidak sedang bertengkar, bukan?"     

"Tidak," jawab Maximus singkat.     

"Lalu? Kenapa kalian berdua seperti sedang sakit gigi?"     

"Maaf, Aunty. Aku merasa kurang sehat," ucap Aleandra.     

"Jika begitu bawa Alendra beristirahat, Max. Seharusnya kau tidak mengajaknya datang jika keadaannya sedang tidak sehat."     

Maximus melihat ke arah Aleandra, matanya menatap tajam ke arah gadis itu. Apa Aleandra seperti itu karena baru saja memutuskan hubungannya dengan Fedrick? Apa Aleandra menyesal? Dia kira sudah selesai tapi ternyata tidak. Sepertinya dia kurang tegas, jika begitu dia akan memberikan pilihan lagi pada Aleandra dan ini untuk terakhir kalinya.     

"Jika begitu kami pulang dulu, Mom. Kami akan datang lagi lain kali," Max beranjak, Aleandra menatapnya dengan tatapan heran.     

"Bukankah kau bilang ingin menginap, Max?" tanya Aleandra.     

"Ayo pulang!" Maximus meraih tangan Aleandra dan menariknya.     

"Max, jangan kasar-kasar!" teriak ibunya. Marline beranjak dan mengikuti putranya yang sedang menarik Aleandra keluar. Aleandra seperti sepoyongan, dia sudah tidak tahan lagi. Sesungguhnya dia terlihat lesu dan tidak bersemangat karena tiba-tiba dia tidak enak badan. Dia ingin mengatakan pada Maximus dan mengajaknya pulang tapi dia tidak enak hati karena ada ibunya.     

"Max, jangan tarik!" pinta Aleandra.     

"Kita pulang, Aleandra. Aku tidak suka melihat keadaanmu yang seperti ini. Apa kau menyesal dengan keputusanmu? Jika kau menyesal maka aku akan memberi satu kesempatan untukmu memperbaiki semuanya!"     

"Apa yang kau katakan? Aku tidak menyesal!" Aleandra berusaha menahan tangan Maximus.     

"Stop, Max. Mommy tidak suka kau memaksa Aleandra seperti itu!" Marline melangkah cepat di sisi putranya. Temperamen Maximus tidak bagus, dia khawatir Max kelepasan dan memukul Aleandra. Entah apa yang terjadi dengan mereka berdua yang pasti dia tidak boleh membiarkan mereka berdua saja saat ini.     

"Max!" Aleandra masih menahan tangan Maximus, sedangkan pria itu tidak peduli dan masih menarik tangannya. Dia tidak suka orang yang menyesali keputusan yang dia ambil sendiri. Jika Aleandra bersama dengannya karena terpaksa lebih baik tidak sama sekali.     

"Aku tidak suka dengan orang yang tidak memiliki pendirian. Jika kau memang menyesal maka aku akan mengantarmu kepadanya!" ucap Maximus dengan nada kesal.     

"Stop, Max. Sebaiknya bicarakan baik-baik," ucap ibunya. Dia jadi iba dengan Aleandra apalagi wajahnya tampak pucat.     

"Max, stop. Aku sudah tidak tahan lagi!" ucap Aleandra.     

Maximus menghentikan langkahnya, begitu juga dengan ibunya. Mereka melihat ke arah Aleandra. Apa maksudnya? Wajah Aleandra semakin pucat, dia benar-benar sudah tidak bisa tahan lagi. Begitu langkahnya berhenti, Aleandra memuntahkan isi perut yang sudah berusaha dia tahan sedari tadi.     

Maximus terkejut, begitu juga dengan ibunya. Aleandra jatuh berlutut di atas lantai, dia masih memuntahkan isi perutnya. Dia tidak peduli lagi, dia sudah tidak bisa tahan lagi.     

"Astaga, Max!" teriak Marline. Dia segera berlari untuk mengambil handuk atau semacamnya.     

Maximus sendiri sudah menghampiri Aleandra dan berlutut di sisinya. Dia kira Aleandra sedang menyesali keputusannya namun ternyata? Aleandra memang pernah mengeluh sakit lambung sewaktu mereka berada di gurun batu. Seharusnya dia menyadarinya lebih cepat, semua itu terjadi pasti karena Aleandra terlalu banyak makan.     

"Bagaimana dengan keadaannya, Max?" Marline berlari menghampiri mereka dengan handuk bersih.     

"Apa kau baik-baik saja, Aleandra?" handuk yang diberikan oleh ibunya diambil dan setelah itu diberikan pada Aleandra untuk mengelap mulutnya.     

Aleandra menggeleng, dia terlihat lemas. Maximus menggendongnya dan membawanya menuju kamar. Marline memerintahkan para pelayan membersihkan lantai dengan perasaan cemas. Apa Aleandra sedang hamil? Semoga saja, dia sangat mengharapkannya karena dia sudah sangat ingin punya cucu. Sebaiknya dia segera memanggil dokter, semoga saja dia mendapat kabar baik.     

Baju Aleandra kotor, dia juga bau muntahan. Maximus membawanya menuju kamar mandi dan mendudukkannya di atas closet. Dia tidak menyadari keadaan Aleandra tapi dia justru mencurigai dirinya.     

"Maafkan aku, seharusnya aku tidak mencurigaimu dan sadar akan keadaanmu," ucap Max seraya melepaskan baju Aleandra yang kotor.     

"Maaf, aku telah mengotori rumah ibumu."     

"Tidak perlu dipikirkan, kenapa kau tidak mengatakan keadaanmu ini padaku?"     

"Aku tidak enak hati karena ada ibumu."     

"Bodoh!" Max menatapnya tajam, "Lain kali jangan bermain-main dengan hal ini. Kau harus mengatakannya padaku sekalipun di hadapan keluargaku!" ucap Max lagi.     

Aleandra hanya mengangguk saja, dia kembali merasa mual. Aleandra berlari menuju wastafel dalam keadaan setengah telanjang karena Max sudah melepaskan semuanya. Maximus menghampirinya dan terlihat khawatir, sebaiknya dia memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Aleandra setelah ini.     

"Lambungku sakit, Max," Aleandra memegangi perutnya. Seharusnya dia tidak banyak makan tadi.     

"Aku akan memanggil dokter setelah ini," Maximus menggendongnya setelah Aleandra mencuci wajahnya.     

"Maaf, Max," ucap Aleandra.     

"Aku yang seharusnya minta maaf, Aleandra. Aku telah salah sangka padamu. Aku kira kau seperti ini karena tidak rela mengakhiri hubunganmu dengan Fedrick, aku benar-benar minta maaf padamu."     

"Bagaimana mungkin aku menyesalinya, Max? Aku sudah memutuskan untuk bersama denganmu maka aku tidak akan menyesalinya walau memang ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadaku ini. Rasa sesak yang aku rasakan sulit diungkapkan dengan kata-kata karena aku sudah menjalin hubungan dengannya selama bertahun-tahun tapi bukan berarti aku menyesal. Aku tahu hubungan kami tidak akan berhasil walaupun dia berjanji akan berubah tapi rasa yang ada di hatiku sudah tidak ada lagi karena?" Aleandra menghentikan ucapannya, wajahnya bersemu merah. Max memandanginya dengan tatapan ingin tahu, kenapa Aleandra tidak melanjutkan ucapannya dan kenapa wajah Aleandra seperti itu?     

"Karena apa, Alandra. Aku ingin mendengarnya!"     

"Pe-Perutku sakit!" Aleandra mengalihkan pembicaraan. Sesungguhnya apa yang ingin dia katakan?     

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Aleandra!"     

"Aduh!" Aleandra pura-pura kesakitan sambil memegangi perutnya.     

"Ingin menghindar, hm? Hari ini mungkin kau bisa lolos tapi tidak dengan nanti!" Maximus menurunkan Aleandra dari gendongannya dan setelah itu dia beranjak pergi untuk mengambil pakaian yang bisa digunakan oleh Aleandra.     

Mata Aleandra tidak lepas dari Maximus, sebenarnya apa yang hendak dia katakan? Max sudah mendapatkan pakaian, dia berbalik dan melangkah mendekati Aleandra. Jantung Aleandra berdebar, dia tahu itu bukan debaran biasa. Bukan debaran karena takut, bukan juga debaran karena kagum. Itu seperti debaran lain, dia tidak berani menerka tapi dia rasa dia tahu debaran apa yang sedang dia rasakan saat ini.     

"Pakai bajunya dan berbaring, aku akan memanggil dokter," ucap Maximus seraya memakaikan baju pada Aleandra.     

"Aku hanya butuh istirahat saja, Max."     

"Tidak! kau lihat wajahmu yang pucat ini? Aku tidak suka melihatnya! Jangan remehkan sakit lambung karena itu berbahaya!"     

Aleandra mengangguk, Max membantunya berbaring. Max turun dari atas ranjang, dia hendak menghubungi dokter pribadi keluarganya tapi sebelum itu terjadi, ibunya sudah masuk ke dalam bersama dokter yang dia panggil.     

"Cepat, periksa calon menantuku!" pinta Marline, dia terlihat begitu bersemangat.     

Aleandra dan Maximus saling pandang, kenapa ibu Maximus begitu bersemangat?     

"Mom?" Maximus menghampiri ibunya saat sang dokter pribadi sedang memeriksa keadaan Aleandra.     

"Mommy harap ini kabar baik, Max," Marline benar-benar bersemangat.     

"Maksud Mommy?" Max masih belum mengerti.     

"Mungkin saja Aleandra hamil, oh... aku sangat mengharapkannya!"     

Mata Aleandra melotot saat mendengarnya, hamil? Maximus menggeleng, bagaimana mungkin Aleandra bisa hamil sedangkan mereka belum lama melakukan hubungan intim.     

"Mom, Aleandra hanya sakit lambung!"     

"Sttss!" Marline meletakkan jari di bibir, dia hanya akan percaya setelah dokter selesai memeriksa keadaan Aleandra. Maximus kembali menggeleng, sedangkan Aleandra tersenyum. Selama ini dia tidak memikirkan hal ini, bagaimana jika sampai dia benar-benar hamil? Mereka tidak menggunakan pengaman selama melakukan sex, sepertinya dia harus membahas hal ini dengan Maximus. Dia tidak boleh hamil sebelum dia bisa membalas kematian keluarganya.     

Sang dokter sudah selesai memeriksa keadaan Aleandra, dokter itu menghampiri Marline sambil tersenyum. Marline sudah tidak sabar mengetahui hasilnya, dia harap Aleandra benar-benar hamil karena dia sudah ingin cepat-cepat menggendong cucu.     

"Bagaimana, apa calon menantuku sedang hamil?" tanya Marline.     

"Maaf, Nyonya. Seperti yang Tuan Muda katakan, lambungnya bermasalah karena terlalu banyak makan. Untuk seterusnya jangan memberinya banyak makanan karena tubuhnya menolak itu!" ucap sang dokter.     

Marline terlihat kecewa, jadi Aleandra benar-benar sakit lambung saja?     

"Sudah aku katakan, Mom. Jika Aleandra hamil tidak mungkin dia muntah sebanyak itu. Mommy terlalu berlebihan," ucap Maximus.     

"Ck, itu karena kau kurang berusaha!" ucap ibunya.     

Untuk kesekian kali, Maximus menggeleng sedangkan wajah Aleandra memerah. Apa ibu Maximus benar-benar menginginkan seorang cucu? Tapi sepertinya dia harus mengecewakan wanita itu karena dia belum siap untuk hamil. Dia semakin yakin jika dia harus membahas hal ini dengan Maximus.     

"Setelah ini aku akan semakin berusaha!" ucapan Maximus semakin membuat wajah Aleandra memerah.     

"Bagus, aku sudah tidak sabar jadi segeralah!" Marline melangkah keluar karena dia akan membuatkan bubur untuk Aleandra.     

Maximus berbicara dengan sang dokter, beberapa obat pun diberikan. Aleandra berbaring sambil menatap langit kamar. Dia malas berpikir, dia tahu hubungannya dengan Maximus bukankah hubungan biasa. Ibunya bahkan meminta cucu, itu berarti hubungan mereka tidak main-main.     

Setelah berbicara dengan sang dokter, Max naik ke atas ranjang dan memeluk Aleandra. Senyum tipis terukir di bibir saat Maximus mencium dahinya.     

"Bagaimana dengan keadaanmu?" tanya Maximus.     

"Aku baik-baik saja, maaf merepotkan kalian."     

"Hei, tidak perlu seperti itu. Beristirahatlah, aku akan menemanimu."     

Aleandra mengangguk, sebaiknya dia tidur sebentar sebelum dia mengutarakan niatnya untuk tidak hamil. Lagi pula mereka belum menikah jadi tidak baik hamil terlalu cepat. Semoga saja Maximus dan ibunya menerima keputusannya dan semoga juga mereka tidak kecewa dengan keputusannya nanti.     

Maximus mengusap punggung Aleandra sampai gadis itu tertidur, hampir saja dia salah paham. Sepertinya dia harus meredakan emosinya tentunya untuk Aleandra saja. Jangan sampai hubungan mereka menjadi hancur hanya karena emosi yang sulit dia redakan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.