Hi's Like, Idiot But Psiko

Aku Tidak Seperti Itu



Aku Tidak Seperti Itu

0Aleandra sedang berjemur di sisi kolam renang saat Maximus kembali dari kantor. Max membawa sesuatu, itu adalah bom yang dia rakit sendiri. Keahlian ayahnya dalam membuat bom diturunkan padanya. Keluarga mereka bahkan sudah menjalankan bisnis penjualan senjata api dan peledak sejak lama.     

Ayah dan pamannya memang ahlinya pembuat bom dan menjinakkan benda itu. Sebab itu mereka memiliki kerajaan bisnis yang terus berkembang dengan pesat tanpa ada yang bisa menyaingi bisnis mereka. Mereka juga sudah kaya sejak lama jadi mereka tidak perlu berebut harta karena semua mendapatkan hak mereka masing-masing.     

Walau Maximus jarang pergi ke pabrik pembuatan senjata tapi dia juga ahli dalam bidang tersebut. Dia akan pergi sesekali jika ayahnya memintanya untuk pergi tapi biasanya dia yang berperan menemui pembeli yang memesan senjata api dengan mereka.     

Max meletakkan bom yang dia bawa ke atas meja, hari ini dia ingin mengajari Aleandra menjinakkan benda berbahaya itu. Jas dibuka, Max melangkah masuk ke dalam sambil melonggarkan dasi yang dia pakai. Max melangkah menuju kamarnya karena dia pikir Aleandra sedang tidur siang.     

Pintu pun dibuka namun Aleandra tidak ada di dalam sana, Maximus melangkah keluar, dia mulai mencari keberadaan Aleandra di kamar yang pernah dia tempati dan di dapur tapi dia tidak ada di sana.     

"Aleandra!" Maximus mulai berteriak untuk mencari keberadaan gadis itu. Entah kenapa dia merasa keberadaan Aleandra sangat penting baginya.     

"Nona sedang berenang, Tuan," salah seorang pelayan memberitahunya.     

Maximus melangkah melewati sang pelayan dan pergi ke kolam renang. Benar saja, Aleandra sedang berbaring di kursi malas bahkan dia tertidur karena angin sejuk yang berhembus. Max tersenyum, dia segera menghampiri Aleandra dan duduk di sisinya.     

"Apa tidur di sini menyenangkan, Aleandra?"     

Aleandra terkejut dan terbangun, Maximus tersenyum dan mengusap wajahnya dengan perlahan.     

"Kenapa kau tidur di sini?" tanya Maximus lagi.     

"Aku hanya ingin berjemur tapi cuaca begitu menyejukkan."     

"Baiklah, kau sudah hitam. Lihat kulitmu!"     

Aleandra melihat tubuhnya, oh tidak. Hanya area yang tertutup bikini ini saja yang berwarna putih. Beruntungnya wajahnya tidak terkena sinar matahari secara langsung sehingga wajahnya tetap putih.     

"Oh, tidak. Bagaimana ini?" ucap Aleandra.     

Max terkekeh, sepertinya Aleandra berjemur cukup lama sehingga kulitnya jadi seperti itu.     

"Tidak apa-apa, area ini tetap putih!" ucap Maximus seraya menarik penutup dadanya.     

"Mesum!"     

Maximus kembali terkekeh dan menunduk untuk memberikan sebuah ciuman di bibir Aleandra. Dia akan mengatakan pertemuannya dengan Fedrick tapi nanti setelah mereka melewatkan waktu mereka berdua.     

Ciuman mereka semakin dalam, tangan Maximus bermain di perut Aleandra bahkan tangannya masuk ke dalam penutup dada Aleandra dan meremas isinya. Dia suka melakukan hal itu, dia suka mendengar erangan Aleandra yang sensual.     

"Max!" Aleandra menahan tangannya. Mereka berada di kolam renang, bagaimana jika sampai ada pelayan yang melihat mereka?     

"Aku hanya ingin menyentuhnya saja," ucap Maximus seraya mencium pipinya.     

"Aku tahu, tapi aku takut ada yang melihat."     

"Jika begitu ayo kita masuk ke dalam. Kau sudah selesai, bukan?"     

Aleandra mengangguk dan menegakkan duduknya, Max beranjak dan segera menggendong Aleandra. Max membawanya masuk ke dalam kamar karena mereka akan mandi bersama. Seperti biasa, acara mandi mereka menjadi luar biasa. Aleandra bahkan mengusap pinggangnya saat mereka berdua keluar dari kamar mandi. Aleandra menggerutu sedangkan Maximus tampak puas.     

"Tenagamu benar-benar luar biasa!" ucap Aleandra.     

"Itu karena kau begitu menggoda, Aleandra. Aku tidak tahan jika tidak memberikan sosis Amerika yang sangat kau impikan selama ini."     

"Apa? Sembarangan!" wajah Aleandra merona. Max masih saja mengingat ucapannya tentang sosis Amerika.     

"Kemarilah, ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" Max mengambil handuk karena dia akan mengeringkan rambut Aleandra. Tidak itu saja, dia juga mengambil body lotion karena dia akan memakaikan body lotion itu ke kulit Aleandra yang terbakar sinar matahari.     

"Apakah penting?" tanya Aleandra.     

"Yeah... hari ini Fedrick datang menemuiku."     

Aleandra terkejut, dia segera berpaling untuk melihat Maximus. Fedrick menemui Max, bagaimana bisa?     

"Memang aku yang sengaja ingin bertemu dengannya," ucap Maximus sebelum Aleandra bertanya. Dia juga bisa melihat ekspresi ingin tahu dari wajah Aleandra.     

"Kenapa, Max? Apa yang kalian bicarakan?"     

"Bukankah kau bilang ingin bertemu dengannya? Jadi aku pikir itu hal bagus untuk berbicara dengannya. Terus terang aku tidak peduli dia akan bersekutu dengan musuh atau tidak untuk mendapatkan dirimu tapi demi dirimu aku membuang ego yang aku miliki dan memperingatinya. Besok temui dia dan berbicaralah baik-baik dengannya. Jika dia masih berani membawamu dengan paksa apalagi sampai bekerja sama dengan musuh maka aku tidak akan segan dan jangan salahkan aku jika dia harus berakhir di tanganku!"     

Aleandra hanya diam saja, dia tahu Maximus tidak sedang bercanda. Dia tahu Maximus akan melakukan apa yang dia ucapkan.     

"Kenapa kau diam, apa kau tidak senang?" tanya Max.     

"Bukan begitu Max, katakan padaku apa yang kau bicarakan dengannya?"     

"Dia berkata aku menghasut dan mengancam dirimu sehingga kau mau bersama denganku."     

"Apa?" Aleandra terkejut, kenapa Fedrick berkata demikian?     

"Aku bisa mengerti kenapa dia berprasangka seperti itu. Kau memang ketakutan di kota ini. Dia berkata jika kau hanya menganggap aku sebagai pelarian karena kau kesepian, kau juga butuh perlindungan dan tempat aman. Secara kebetulan aku memberikan apa yang sangat kau inginkan sebab itu kau mau menjalin hubungan denganku dan menjadikan aku sebagai pelarianmu saja. Apakah seperti itu, Aleandra?"     

"Kenapa kau bertanya seperti itu, yang berkata seperti itu bukan aku tapi Fedrick!" Aleandra terdengar tidak senang karena Max bertanya seperti itu.     

"Setelah aku pikirkan, Aleandra. Apa yang dia ucapkan ada benarnya. Kau bersama denganku karena ancaman dariku. Kau adalah buronan yang tidak akan aku lepaskan untuk seumur hidupmu. Kau akan menjadi pelayan dan tawananku untuk seumur hidupku jadi apa yang Fedrick ucapkan ada benarnya. Mungkin saja kau ingin bersama denganku karena kau tahu jika kau tidak akan bisa lepas dariku. Kau juga tahu hanya aku yang bisa melindungi dirimu sehingga kau memutuskan menjadi orang spesial dalam hidupku dari pada menjadi pelayanku untuk seumur hidup. Dengan menjadi orang spesialku, bukankan kau sudah tidak perlu mengkhawatirkan apa pun lagi?" Maximus sengaja berkata demikian karena dia ingin melihat reaksi Aleandra.     

"Max!" Aleandra sedikit berteriak, matanya menatap Maximus dengan tajam, "Jadi kau menganggap aku seperti itu?" Aleandra terlihat kecewa.     

"Menurutmu, Aleandra? Apa aku tidak boleh curiga?" Max menatapnya dengan lekat.     

"Itu hanya asumsi Fedrick saja, Max," Aleandra memegangi tangan Maximus dan meletakkan telapak tangannya yang hangat di pipinya.     

"Aku tidak seperti itu, aku tidak menjadikan dirimu sebagai pelarian. Aku memang takut padamu, kau tahu itu tapi aku tidak sehina itu menjadikan dirimu sebagai pelarian atas semua yang aku rasakan. Fedrick tidak tahu apa pun, sudah aku katakan padamu jika hubungan kami tidak dekat sekalipun dia adalah kekasihku. Dia bahkan tidak mengenal aku dengan baik sebab itu jangan terpengaruh dengan ucapannya. Aku bukan wanita murahan yang mau menyerahkan diriku hanya untuk sebuah perlindungan. Aku tahu ketulusan yang kau miliki sebab itu aku serius untuk bersama denganmu apalagi aku sudah jatuh cinta padamu."     

Maximus tersenyum, ternyata jawaban Aleandra tidak mengecewakan. Tangannya sedang mengusap wajah Aleandra dengan perlahan, dia lebih suka seperti ini dari pada menerka-nerka sehingga membuat salah paham.     

"Aku sangat senang atas jawabanmu, sudah aku katakan jika tidak mudah dicintai olehku. Kau memang pantas aku perjuangkan. Untuk selanjutnya, untuk apa pun itu aku ingin kita saling terbuka dan membicarakannya sehingga tidak ada rahasia di antara kita berdua. Jangan memendam apa pun dan menerka-nerka karena kau bisa tersesat oleh pikiranmu sendiri!"     

Senyum manis terukir di bibir Aleandra. Sungguh dia tidak akan menyesali keputusannya memilih pria itu. Walau Maximus aneh dan berdarah dingin, tapi pria itu sangat bijak bahkan setiap perlakukan manis yang dia berikan membuatnya bahagia.     

"Aku tidak akan menyembunyikan apa pun, Max. Besok aku akan berbicara dengan Fedrick jika apa yang dia pikirkan tentang kita berdua tidaklah benar. Aku juga akan memintanya untuk kembali ke Rusia. Semoga saja dia mau menerima penjelasan dan keputusanku."     

"Bagus, sekarang ikut aku keluar karena hari ini aku ingin mengajarimu sesuatu."     

"Apa yang ingin kau ajarkan?"     

"Kau akan tahu!" Max beranjak dan mengambil sisir. Seperti yang biasa dia lakukan, Maximus menyisirkan rambut Aleandra sampai rapi. Aleandra tersenyum, dia benar-benar bahagia.     

Setelah selesai, Maximus mengajaknya keluar. Aleandra terkejut saat melihat benda yang tidak begitu asing, dia pernah melihatnya di lokasi syuting walau bentuknya agak berbeda.     

"Max," Aleandra memandanginya saat Maximus mengambil bom yang dia tinggalkan tadi.     

"Kenapa? Kau tahu ini apa, bukan?"     

"Apa itu asli?" tanya Aleandra. Jujur dia tidak tahu apa yang hendak Maximus lakukan dengan benda berbahaya itu.     

"Tentu saja asli, benda ini akan aktif sebentar lagi dan kau harus menjinakkannya!"     

"Apa?" Aleandra terkejut. Apa Maximus tidak sedang bercanda?     

"Jangan main-main dengan benda berbahaya itu, Max!" ucap Aleandra.     

"Tidak perlu takut, aku sudah bermain dengan benda ini saat aku berusia tiga tahun!" jawab Maximus dengan santai karena memang itulah yang terjadi.     

"Apa? Aku tidak mau bermain dengan benda itu karena aku tidak mau mati!" Aleandra berusaha menolak karena dia menganggap bermain dengan benda berbahaya seperti itu tidaklah lucu.     

"Tidak perlu takut, ikut aku! Aku ingin lihat apa kau bisa menjinakkan benda ini atau tidak!" Max meraih tangannya dan membawanya masuk ke dalam ruangannya.     

"Max, jangan bercanda! Aku tidak mengerti dan aku tidak bisa menjinakkan benda itu!" teriak Aleandra.     

"Kau belum mencobanya, bagaimana kau bisa tahu?"     

"Max, jangan main-main!" teriak Aleandra lagi. Dia harap Maximus bercanda namun sayangnya tidak. Aleandra ketakutan setengah mati saat Max membawanya masuk ke dalam ruangan, dia bahkan masih berteriak agar Maximus menghentikan niatnya. Sial, candaan Maximus tidaklah lucu. Dia menganggap demikian karena dia tidak tahu jika Maximus ahli dalam benda berbahaya itu. sepertinya sebentar lagi rumah itu akan meledak dan mereka akan mati!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.