Hi's Like, Idiot But Psiko

Kau Pasti Bercanda!



Kau Pasti Bercanda!

0Aleandra berdiri jauh di ujung ruangan. Itu karena dia takut dengan bom yang sudah Maximus letakkan di atas meja. Dia yakin pria itu pasti bercanda saja, dia yakin Maximus hanya ingin mengajaknya bermain namun sayangnya Max serius.     

Tidak saja satu bom, bom lain juga dia keluarkan dari dalam lemari. Aleandra semakin ketakutan, Maximus pasti sudah gila mengajaknya bermain dengan benda berbahaya itu.     

"Kenapa kau bersembunyi di sana, kemarilah!" Maximus melihat ke arahnya.     

"Tidak mau, Max. Jangan bercanda dengan benda berbahaya itu!" teriak Aleandra. Jujur saja dia takut apalagi dia hanya orang awan yang tidak pernah menyentuh benda berbahaya seperti itu.     

"Tidak perlu takut, Aleandra. Ada aku! Hari ini aku akan mengajarimu menjinakkan benda itu dan mengajarimu bagaimana cara mengaktifkannya," Maximus melangkah mendekati Aleandra dan meraih tangannya.     

"Apa... Apa kau benar-benar mengerti mengenai benda itu?" tanya Aleandra. Jujur saja dia tidak yakin, dia benar-benar mengira Maximus hanya bercanda saja.     

"Tentu saja, sudah aku katakan padamu, bukan? Aku sudah bermain dengan benda itu saat aku berusia tiga tahun. Sekarang saatnya aku mengajarimu tentang benda itu, setidaknya kau harus paham walau sedikit."     

"Ta-Tapi aku tidak pernah menyentuh benda itu sama sekali, bahkan ini pertama kalinya aku melihat benda itu."     

Max tersenyum, tubuh Aleandra ditarik mendekat. Maximus mengusap wajah Aleandra dan memandangi wajahnya.     

"Sebab itu aku akan mengajarimu dan kau bisa melihat benda itu dengan teliti. Aku melakukan hal ini agar kau bisa waspada jika suatu hari nanti kau harus terlibat dengan benda berbahaya itu. Coba kau bayangkan hal ini, Aleandra. Saat musuh datang menyerang kita dan pada saat itu tiba-tiba saja mereka membawa kakakmu yang masih hidup sebagai sandera untuk mengecohmu dan ditubuhnya di pasang dengan benda berbahaya itu, apakah kau akan diam saja tanpa bisa melakukan sesuatu dan melihat kakakmu mati meledak karena benda berbahaya itu?"     

Aleandra menelan ludahnya, dia diam saja sambil memikirkan perkataan yang diucapkan oleh Maximus. Yang dia katakan sangat benar, bagaimana jika tiba-tiba dia harus menghadapi situasi seperti itu? Apa dia akan ketakutan seperti saat ini? Apa dia akan diam saja dan menyaksikan kematian kakaknya? Tidak, dia tidak bisa diam saja menyaksikan kematian kakaknya karena dia tidak mau melihat anggota keluarganya mati di depan matanya lagi.     

"Sudah aku katakan kau tidak perlu khawatir karena ada aku jadi kau tidak perlu takut, aku akan mengajarimu pelan-pelan sampai kau bisa."     

"Baiklah, yang kau katakan sangat benar. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, bisa saja musuh mengancamku menggunakan benda itu nanti. Maaf jika aku terlalu penakut, aku hanya orang awan yang tidak pernah menyentuh benda berbahaya itu secara langsung. Walau aku pernah melihatnya di lokasi syuting tapi itu palsu," ucap Aleandra.     

"Tidak masalah, Aleandra. Aku tahu kau sangat asing dengan benda itu bahkan kau jauh dari dunia kejahatan. Kau mau belajar itu sudah bagus, cukup tunjukkan keberanianmu dan rasa percaya dirimu, itu sudah sangat cukup. Walau kau orang awan, tapi aku senang karena kau mau belajar."     

"Baiklah," Ucap Aleandra, "Aku tahu duniaku sudah berubah sejak malam itu. Aku tahu aku sudah harus beradaptasi dengan dunia baruku yang tiba-tiba jadi keras. Aku juga tahu aku harus segera beradaptasi karena aku bersama denganmu."     

"Aku senang mendengarnya, wanitaku memang tidak boleh lemah. Calon Mrs. Smith harus kuat dan bisa mengendalikan situasi yang harus dia hadapi secara tiba-tiba."     

"Sepertinya namaku akan berubah sebentar lagi," ucap Aleandra.     

"Yes, Mrs. Smith," Maximus menunduk dan mengecup bibirnya.     

Aleandra tersenyum, dia tahu tidak akan mudah bersama dengan Maximus terlepas siapa pun pria itu tapi jika dia mau belajar maka dia akan menjadi pantas bersama dengan Maximus Smith.     

"Jadi, apa kau sudah siap?" tanya Maximus seraya mengusap wajahnya dengan perlahan.     

"Tentu saja, tapi tolong yang sabar karena ini pertama kalinya bagiku," pinta Aleandra.     

"Tentu saja, ayo!" Max mengecup bibir Aleandra sejenak dan setelah itu dia mengajak Aleandra menuju meja. Jantung Aleandra berdebar melihat dua benda berbahaya yang ada di atas meja, jujur saja dia sangat takut tapi dia berusaha memberanikan diri.     

"Kemarilah, tidak perlu gugup seperti itu," Maximus menarik Aleandra mendekat dan mendekatkan bom rakitannya sendiri ke arah Aleandra.     

"A-Apa yang harus aku lakukan?" tannya Aleandra.     

"Aku akan mengajarimu, menjelaskan bagaimana cara benda itu bekerja dan bagaimana caranya menjinakkan benda itu," jelas Maximus.     

"Tiba-Tiba jari kemariku menjadi kaku," ucap Aelandra sambil menekuk jari jemarinya.     

"Setelah ini aku akan membantumu merenggangkannya!"     

"Caranya?" Aleandra melirik ke arah Maximus.     

"Sepertinya kau perlu menggenggam sosis Amerika supaya jarimu tidak kaku!" goda Maximus.     

"Apa? Enak saja!" wajah Aleandra tersipu. Maximus terkekeh, padahal mereka sudah sering melakukannya tapi Aleandra masih saja malu-malu.     

Mereka segera duduk bersama, Maximus mulai menjelaskan bom itu pada Aleandra. Setiap rangkaian kabel yang ada di benda itu dijelaskan secara rinci juga fungsi-fungsi setiap kabel yang ada dan tentunya kepala Aleandra pusing mendengarnya.     

"Oh, God. Siapa sebenarnya yang membuat benda rumit ini!" ucap Aleandra frustasi.     

"Aku," jawab Maximus dengan santai.     

"What? Seriously?" Aleandra berpaling dan memandanginya dengan tatapan tidak percaya.     

"Yes, apa aku terlihat Bercanda?" Max juga menatapnya.     

"Tidak mungkin, siapa kau sebenarnya?"     

"Seharusnya kau tahu, Aleandra. Aku si pecinta Benjamin dan juga si aneh yang suka bersembunyi di dalam lemari!"     

"Oh, tidak. Aku tidak bisa mempercayainya," ucap Aleandra.     

"Kau juga harus tahu, Aleandra. Semua yang aku lihat sudah terekam jelas di otakku. Seri uang yang kau ambil dariku waktu itu semua aku mengingatnya," ucap Maximus.     

"Tidak mungkin, kau pasti bercanda!" Aleandra masih tidak percaya.     

"Apa perlu aku sebutkan satu persatu? Seharusnya kau bersyukur karena waktu itu aku tidak memintamu mengambalikan uang yang sudah kau curi seperti sedia kala sesuai dengan seri angkanya," ucap Maximus.     

"Oh, tidak. Jangan sampai terjadi karena aku tidak mungkin bisa menemukan uang itu lagi!" bisa-bisa dia jadi orang gila di jalanan karena mencari uang itu.     

Maximus terkekeh, dia hanya bercanda saja. Aleandra melihat ke arah bom dan terlihat frustasi, memang tidak mudah mempelajari benda itu dalam hitungan menit.     

"Baiklah, kita lakukan dari yang mudah terlebih dahulu. Kau sudah hapal fungsi warna empat kabel ini, bukan?" tanya Maximus seraya menunjuk empat kabel dengan warna yang berbeda.     

"Coba jelaskan lagi," pinta Aleandra. Dia meminta hal itu supaya dia tidak membuat kesalahan.     

"Kau lihat kabel merah ini?" Maximus mulai menunjuk kabel berwarna merah.     

"Biasanya yang berwarna merah akan tersambung pada pemicu sehingga saat kabel ini dipotong maka bom tidak jadi meledak tapi bom yang aku buat ini berbeda. Jangan terkecoh dengan warna setiap kabel yang ada dan perhatikan dengan baik ke mana rangkain kabel itu terhubung."     

Aleandra mengangguk, dia mulai sibuk melihat setiap kabel yang ada. Semua rangkain kabel terlihat rumit, sungguh dia sulit memahaminnya tapi dia sudah memutuskan untuk mempelajari benda itu. Maximus terlihat puas karena Aleandra mau belajar. Dia memang sedang membentuk Aleandra agar gadis itu pantas berada di sisinya. Calon istrinya tidak boleh lemah apalagi saat ada musuh yang tiba-tiba menyerang.     

"You ready?" tanya Max karena dia akan mengaktifkan benda itu.     

"No!" jawab Aleandra sambil menggeleng.     

"Kau pasti bisa, percaya dirilah," Maximus mencium dahinya dan setelah itu bom pun diaktifkan.     

Jantung Alendra berdegup kencang, melihat angka yang ada di bom. Dia tahu dia hanya memiliki waktu lima menit saja untuk menjinakkan benda itu. Aleandra melihat kabel-kabel itu dengan teliti tapi Maximus hanya menjelaskan yang warna merah saja.     

"Rileks, Aleandra. Kau pasti bisa," Maximus memberinya semangat.     

Aleandra mengangguk, jantungnya semakin berdetak cepat karena waktu yang dia miliki semakin berkurang. Waktu yang dia miliki tinggal tiga menit saja, itu gawat dan tentunya dia semakin gugup.     

Jarinya sudah meraba kabel merah tapi Maximus bilang kabel merah tidak selalu terhubung dengan alat pemicu. Jarinya mulai berpindah ke warna biru, dia pernah melihat ini. Seorang aktor berperan sebagai penjinak bom yang akan meledak, dia ingat saat sang aktor memotong kabel merah tapi bom masih aktif dan setelah itu sang aktor mencari kabel lain. Sial, semoga saja tebakannya benar.     

Maximus memandanginya dengan ekspresi puas, sungguh di luar dugaan. Ternyata Aleandra belajar dengan cepat. Dia kira Aleandra akan memotong salah satu kabel itu tapi ternyata tidak karena Aleandra sedang mencari sesuatu di balik keempat warna kabel itu.     

Napas Aleandra sudah berat, dia bahkan bisa mendengar detakan jantungnya. Rasanya jantungnya sudah berada di telinganya saat ini. Waktu yang dia miliki tinggal satu menit lagi, Aleandra semakin panik tapi Max diam saja. Pria itu seperti tidak takut benda itu akan meledak.     

"Max!" Aleandra berteriak, jari jemarinya gemetar. Waktu sudah tinggal tiga puluh detik, apa Max ingin diam saja sampai benda itu meledak?     

"Jangan gugup dan cari kabelnya, Aleandra!" teriak Maximus.     

Aleandra menelan ludah, jarinya terus mencari apa yang dia inginkan. Angka di bom terus bergerak, dari angka 25, 24, 23 dan terus berkurang. Dengan jari yang gemetar dan rasa panik luar biasa karena suara detakan angka yang terus berkurang, Aleandra meraba kabel hijau dengan perlahan dan akhirnya, dia menemukan sebuah kabel tipis berwarna emas yang tersembunyi di antara kabel itu. itulah yang dia cari sedari tadi, alat pemotong diambil dengan cepat apalagi waktu yang dia miliki tinggal sepuluh detik.     

Aleandra menahan napas, angka mulai menunjuk angka delapan, tujuh, enam dan terus berkurang. Ketika angka sudah menunjukkan angka 3, Aleandra memotong kabel tipis itu. Aleandra menutup mata, dia takut benda itu meledak tapi tidak ada reaksi.     

"Bagus, Aleandra kau berhasil!" ucap Maximus.     

"Apa, benarkah?" Aleandra membuka matanya, dia tampak tidak percaya melihat angka yang ada di bom sudah berhenti di angka dua.     

'"Yes, aku berhasil!" Aleandra melonjak girang dan memeluk Maximus. Dia sungguh tidak menduga dia bisa menjinakkan benda itu padahal dia hanya menggunakan insting dan sedikit pengetahuan yang dia miliki.     

"Bagus, aku bangga padamu. Kau memang pantas menjadi Mrs. Smith selanjutnya!" puji Maximus.     

"Aku sungguh tidak menduga, Max. Padahal ini perdana bagiku," Alaeandra benar-benar senang.     

"Aku tahu kau pasti bisa, Aleandra!"     

"Sebab itu kau hanya diam?" tanya Aleandra seraya memandanginya.     

"Hm," jawab Max, ciumannya mendarat di pipi Aleandra.     

"Hei, bagaimana jika aku gagal dan benda itu meledak?" tanya Aleandra.     

"Tidak akan, karena aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!"     

Aleandra tersenyum, Maximus memeluknya erat. Gadis itu memberikannya banyak kejutan, tidak sia-sia dia memilih Aleandra.     

"Sekarang kau harus belajar yang lebih rumit dari pada itu," ucap Max.     

"Aku jadi bersemangat!" ucap Aleandra.     

Maximus mencium bibir Aleandra, anggap itu sebagai hadiah. Hadiah sesungguhnya akan dia berikan di kamar nanti. Mereka berdua kembali sibuk, Aleandra sudah tidak segugup seperti semula tapi yang pastinya dia harus belajar extra agar dia pantas berada di sisi Maximus.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.