Hi's Like, Idiot But Psiko

Pertanyaan Aleandra



Pertanyaan Aleandra

0Aleandra sangat marah saat mendengar ucapan Fedrick. Dia tidak tahu jika Maximus menyaksikan dan juga mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dengan kemarahan di hati, Aleandra menghampiri Fedrick dan menampar wajahnya dengan keras.     

Fedrick terkejut, dia tidak menduga Aleandra akan memukulnya seperti itu. Aleandra masih menatapnya tajam, dia tidak suka Fedrick yang seperti itu. Tidak seharusnya Fedrick memfitnah Maximus tanpa tahu apa-apa, dia benar-benar kecewa dengan Fedrick.     

"Kenapa kau memukul aku? Apa yang aku katakan salah?" tanya Fedrick sambil memegangi pipinya.     

"Kau tidak tahu apa-apa, Fedrick. Jadi jangan asal bicara jika tidak aku tidak akan pernah mau bertemu denganmu lagi!" ucap Aleandra sinis.     

"Apa yang aku katakan bisa saja terjadi, Aleandra. Apa kau tidak curiga sama sekali?"     

"Stop, Fedrick!" teriak Aleandra lantang. Rasanya ingin memukul Fedrick lagi tapi tiba-tiba saja pintu ditendang dari luar dan terbuka dengan kasar. Fedrick melihat ke arah pintu begitu juga dengan Aleandra. Mereka terkejut saat melihat Maximus masuk ke dalam ruangan dengan wajah menakutkan dan sepucuk pistol berada di tangan.     

"Max, ada apa?" Aleandra menghampirinya tapi dia tampak ketakutan karena ekspresi Maximus yang menakutkan.     

"Beraninya kau?! Aku memberikan kesempatan padamu untuk berbicara dengannya tapi beraninya kau memfitnah aku agar dia mau kembali padamu?!" ucap Maximus dengan kemarahan di hati. Pistol diangkat dan di arahkan ke arah Fedrick, hal itu membuat Aleandra terkejut begitu juga dengan Fedrick.     

"Aku akan membunuhmu saat ini juga!"     

"Max, apa yang mau kau lakukan?" teriak Aleandra. Dia segera berlari menghampiri Maximus dan memegangi tangannya. Tangan Aleandra bahkan gemetar, dia tahu situasi tidak bagus jadi dia harus bisa membujuk Maximus.     

"Menyingkir, Aleandra. Aku tidak akan bermurah hati pada orang yang telah berani memfitnah aku tanpa tahu siapa aku!"     

"Jangan, Max. Jangan lakukan!" pinta Aleandra sambil berteriak.     

"Lihatlah, Aleandra. Dia bisa membunuh seseorang dengan mudah. Aku rasa memang dialah pelakunya," ucap Fedrick mencibir.     

"Kau!" Max semakin kesal dan marah.     

"Diam kau, Fedrick!" teriak Aleandra. Dia masih berusaha menahan tangan Maximus yang memegangi pistol. Dia harap Maximus tidak membunuh Fedrick tapi Fedrick semakin memperkeruh suasana.     

"Jangan menahanku, Aleandra!" teriak Maximus.     

"Please," Aleandra memandangi Maximus dengan tatapan memohon. Jangan sampai terjadi pertumpahan darah di tempat itu. Max masih menatap Fedrick dengan tajam, jika tidak ada Aleandra sudah dia pastikan kepala pria itu pasti meledak oleh peluru senjata apinya.     

Fedrick tidak bergeming, sesungguhnya dia takut tapi dia berusaha tenang. Dia yakin senjata api yang ada di tangan pria itu adalah senjata api sungguhan. Aleandra masih berusaha menenangkan Maximus, dia sangat berharap Max bisa menahan emosinya.     

"Please, kau bisa melampiaskan amarahmu padaku nanti tapi jangan bunuh dia," pinta Aleandra memohon. Dia juga berusaha menurunkan tangan Maximus yang memegang pistol.     

"Kau tahu akibatnya membela dirinya, Aleandra!" ucap Maximus sinis.     

"Aku tahu, tapi aku tidak sedang membela dirinya," Aleandra mendekat dan memeluk Maximus, "Please, dia hanya salah paham. Aku tidak akan membiarkan dirinya salah paham dan memfitnah dirimu seperti ini. Aku akan menjelaskan padanya jika bukan kau pelakunya. Aku juga tidak suka dia memfitnah dirimu tanpa tahu apa pun jadi aku akan meluruskan hal ini."     

"kau tahu kesabaranku tidak banyak, Aleandra."     

"Aku tahu, aku juga tahu kau sedang menahan amarahmu saat ini tapi aku mohon maafkan dirinya, please," Aleandra memandangi Maximus dengan tatapan memohon.     

"Please," pintanya lagi sambil mengecup bibir Maximus. Dia harap dengan demikian emosi Max bisa mereda.     

Kedua tangan Fedrick mengepal erat, sial. Dia benar-benar tidak suka melihat kemesraan mereka berdua tapi dia tidak tahu jika Aleandra sedang membujuk Maximus agar tidak membunuh dirinya karena Aleandra tahu Maximus tidak sedang bermain-main saat ini.     

"Please, Max. Kau bisa melampiaskan kekesalan hatimu padaku nanti," Aleandra mengulangi ucapannya, dia juga masih memandangi Maximus dengan tatapan memohon.     

Maximus menghembuskan napas beratnya, pistol pun diturunkan. Matanya sudah berpaling, sungguh dia sangat ingin meledakkan kepala Fedrick saat ini juga namun dia menahan diri sesuai dengan permintaan Aleandra.     

"Baiklah, aku akan menahan diri kali ini. Ini hanya untukmu saja tapi lain kali, aku tidak akan menahan diri lagi. Sekali lagi aku mendengar dia memfitnah aku tanpa tahu apa pun maka aku akan memerintahkan seseorang untuk menangkapnya dan pada saat itu, aku tidak akan membiarkannya mati dengan mudah!"     

"Thanks, jika dia masih melakukan hal itu maka aku juga tidak mau membelanya lagi," ucap Aleandra.     

Maximus melihat ke arah Fedrick, ekspresi wajahnya masih terlihat menakutkan saat memandangi pria itu namun ekspresinya berubah setelah melihat ke arah Aleandra.     

"Baiklah, segera selesaikan. Aku tunggu di sebelah. Cari aku di sana jika kau sudah selesai," Maximus mengusap wajah Aleandra perlahan. Dia benar-benar harus membuang egonya demi gadis itu.     

"Terima kasih," Aleandra memeluknya erat. Dia tidak keberatan menjadi pelampiasan amarah Maximus nanti asalkan Max tidak membunuh Fedrick.     

Maximus memeluknya, tangan yang memegang pistol berada di kepala Aleandra. Matanya menatap Fedrick dengan tajam saat Maximus mencium dahi Aleandra.     

Fedrick hanya bisa diam, memandangi mereka. Sungguh dia sangat kesal dan marah apalagi Maximus sengaja mencium bibir Aleandra di depan matanya. Aleandra juga tidak menolak, seperti sengaja melakukan hal itu untuk menunjukkan hubungan mereka.     

Aleandra tersenyum saat Max hendak melangkah keluar, mata Maximus masih menatap Fedrick dengan tajam dan setelah itu dia melangkah pergi. Pintu di tutup, ruangan jadi sunyi. Aleandra masih berdiri di tempatnya, dia enggan melihat ke arah Fedrick.     

"Aleandra," Fedrick memanggil dan hendak melangkah mendekatinya.     

"Apa kau puas, Fedrick? Sebaiknya jangan asal bicara! Kali ini kau bisa lolos tapi lain kali, aku tidak tahu kau bisa lolos atau tidak karena aku tidak yakin bisa membujuknya lagi atau tidak!" ucap Aleandra.     

"Seharusnya kau tahu, Aleandra. Kau seperti ini karena dirinya," ucap Fedrick.     

"Stop, Fedrick. Sudah aku katakan jangan asal bicara! Jika kau sulit diajak bicara maka aku akan keluar. Lupakan pertemuan ini, aku rasa sia-sia berbicara denganmu! Memang seharusnya aku tidak datang menemui dirimu, tapi rasa peduli padamu yang membuat aku memutuskan untuk bertemu denganmu dan berbicara secara pribadi. Aku tidak mau kau mengambil jalan yang salah, aku tidak mau kau terlibat dengan masalah yang sedang aku hadapi. Aku ingin kau kembali ke Rusia dan melupakan aku. Anggap aku sudah mati bersama dengan keluargaku jadi pergilah, Fedrick. Lupakan aku dan carilah wanita lain!" pinta Aleandra.     

"Tidak, Aleandra. Sampai kapan pun aku tidak akan melakukan hal itu. Aku tahu aku salah, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku dan mengabaikan dirimu!"     

"Kita sudah membahas hal ini, Fedrick," sela Aleandra.     

"Aku tahu tapi aku ingin mengatakannya lagi padamu. Dengarkan aku, Aleandra, aku sangat berharap kau berubah pikiran," ucap Fedrick.     

"Keputusanku sudah bulat, aku akan tetap bersama dengan Maximus jadi aku harap kau bisa menerima keputusan ini."     

"Tidak, dengarkan aku. Aku tahu kau kecewa denganku karena aku tidak pernah punya waktu untukmu . Kau juga pasti kecewa aku tidak ada saat kau mengalami kejadian buruk itu. Tidak seharusnya aku mengabaikan dirimu, aku sangat tahu kesalahanku. Sekarang jujur'lah padaku, Aleandra. Kau mau bersama dengan pria itu karena terpaksa dan diancam olehnya, bukan?" tanya Fedrick.     

Aleandra menghela napas, kenapa Fedrick menganggap dia mau bersama dengan Maximus karena terpaksa dan diancam?     

"Dengar aku baik-baik, Fedrick. Aku ingin bersama dengan Maximus bukan karena paksaan atau ancaman seperti yang kau duga. Aku ingin bersama dengannya karena dia memberikan rasa aman, dia juga memberikan apa yang aku inginkan selama ini," ucap Aleandra.     

"Jika begitu mulai sekarang aku akan memberikan apa yang kau mau, Aleandra. Aku akan meluangkan waktu untukmu dan aku akan mengajakmu melakukan hal menyenangkan setelah ini."     

"Tidak, Fedrick," Aleandra berpaling, menatapnya dengan tatapan sendu, "Semua sudah terlambat. Selama ini aku sangat mengharapkan cinta darimu, aku sangat berharap perlakukan manis darimu tapi tidak pernah kau berikan padaku. Kau hanya datang, mencari aku sebentar lalu pergi lagi untuk berbisnis. Aku tidak pernah kau anggap sebagai kekasih, kau hanya datang menyapa seperti seorang teman lalu pergi. Sekarang aku mendapatkan apa yang sangat aku inginkan dari pria lain, apakah aku tidak boleh memilih bersama dengannya? Apa harus mengalami kejadian seperti ini untuk membuatmu sadar jika aku berarti bagimu?"     

"Bukan seperti itu, Aleandra. Aku benar-benar menyesal," ucap Fedrick.     

"Hanya itu saja yang bisa kau ucapkan, Fedrick. Kita seperti mengulang pembicaraan yang sudah pernah kita bahas sebelumnya tapi aku ingin kau tahu, jika aku mau bersama dengan Max bukan karena adanya paksaan atau ancaman. Dia berbeda denganmu, Fedrick. Aku bisa merasakannya jika Max begitu mencintai aku, setiap perbuatan yang dia lakukan membuat aku merasa begitu dicintai olehnya. Tidak saja cinta yang dia tunjukkan, dia juga selalu memanjakan aku. Hubungan kami sangat nyata, inilah yang aku inginkan. Aku menginginkan seorang kekasih yang mencintai aku dengan tulus, yang selalu ada disaat aku membutuhkan bukan seorang kekasih yang selalu sibuk dengan dunianya. Datang disaat tertentu lalu pergi tanpa tahu bagaimana perasaanku. Apa kau tidak tahu, Fedrick? Setiap kali kau kembali dari berbisnis lalu pergi setelahnya, aku sangat kecewa. Aku sangat ingin menghabiskan waktu bersama dengan dirimu tapi apa yang aku dapatkan?" Aleandra berpaling sambil memeluk lengan, dia merasa hubungan mereka berdua bagaikan sebuah lelucon semata.     

"Aku sangat ingin seperti pasangan kekasih yang lain, Fedrick. Aku selalu iri melihat para sahabatku yang begitu mesra, aku juga ingin mendapatkan perlakuan seperti itu tapi kau tidak bisa memberikannya. Sekarang aku bertanya padamu dan jawab aku baik-baik, Fedrick. Jika posisi kita dibalik, saat kau mengalami kejadian yang aku alami lalu tiba-tiba kau bertemu dengan seseorang yang memberikan cinta yang selalu kau impikan. Apakah kau akan melakukan seperti apa yang aku lakukan ataukah kau akan menolak cinta yang ada di depan mata? Apa kau mau menolak orang yang bisa memberikan kebahagiaan untukmu dan masih memilih setia pada cinta yang tidak tahu nyata atau tidak?" tanya Aleandra.     

Fedrick diam, tidak menjawab. Aleandra berpaling dan menatapnya kembali.     

"Jawab aku, Fedrick. Apa yang akan kau lakukan? Apa aku harus tetap setia menunggu kau sadar dan menyia-nyiakan cinta tulus yang ada di depan mata?" Aleandra kembali bertanya demikian karena dia sangat ingin tahu jawaban apa yang akan diberikan oleh Fedrick namun pria hanya diam seribu bahasa. Entah dia tidak bisa menjawab atau dia sedang mencari jawaban yang tepat yang pasti Aleandra sangat menantikan jawaban darinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.