Hi's Like, Idiot But Psiko

Maaf Jika Aku Mengecewakan



Maaf Jika Aku Mengecewakan

0Emosi juga amarah memenuhi hati Fedrick dan tidak hanya itu saja, rasa sesal juga menyesakkan dada. Kenapa dia tidak berkilah saja saat Aleandra menanyakan perasaannya? Kenapa dia tidak menjawab jika dia memang mencintai Aleandra sejak lama?     

Fedrick mengusap wajah, dia benar-benar menyesali kebodohannya. kenapa dia tidak bisa menjawab semua pertanyaan Aleandra? Sial, dia bahkan tidak menghubungi ibunya. Ibunya pasti akan marah dan benar saja, ponsel Fedrick berbunyi karena ibunya sudah bosan menunggu putranya menghubungi dirinya. Ibunya sudah sangat ingin berbicara dengan Aleandra karena dia merindukan kekasih putranya itu.     

Fedrick terlihat enggan, hancur... dia benar-benar hancur. Semua memang akibat kebodohannya. Dia bahkan menghancurkan niatnya sendiri dengan kebodohan yang dia lakukan tapi jujur dia tidak tahu harus menjawab apa saat Aleandra melontarkan pertanyaan seperti itu.     

Dia sendiri sedang mencari jawaban dari pertanyaan Aleandra dan sialnya sampai saat ini dia masih memikirkan pertanyaan itu. Apakah selama ini benar-benar tidak ada cinta untuk Aleandra? Apa benar perasaan itu mulai ada saat Aleandra tidak ada?     

Sial, dia benar-benar pria bodoh yang telah melewatkan banyak hal penting dalam hidupnya karena pekerjaan. Pekerjaan yang sangat dia cintai tetap seperti itu namun hal penting dalam hidupnya justru pergi. Apa sebenarnya yang selama ini dia cari? Ternyata dia sudah kehilangan hal berarti dalam hidup hanya untuk mengejar materi yang semakin dikejar semakin terasa tidak cukup. Sifat manusia memang serakah, sekarang rasa tidak rela Aleandra pergi darinya semakin memenuhi hati.     

Ponsel masih terus berbunyi, Fedrick menjawabnya walau sesungguhnya dia sangat enggan. Dia yakin ibunya pasti akan memarahinya karena lagi-lagi dia sudah mengacaukan semuanya.     

"Ada apa, Mom?"     

"Seharusnya kau tahu, bagaimana? Apa kau sudah berhasil membujuknya?" tanya ibunya ingin tahu.     

"Tidak, aku semakin menghancurkannya!" ucap Fedrick frustasi.     

"Apa maksudmu?" tanya ibunya tidak mengerti.     

Fedrick tidak menjawab, firasat ibunya pun buruk. Kali ini dia rasa putranya sudah tidak bisa mendapatkan Aleandra lagi. Satu kesalahan sudah pasti berakibat fatal dan sekarang putranya melakukan kesalahan itu lagi.     

"Aku benar-benar tidak percaya kau gagal lagi, Fedrick! Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Apa kau benar-benar tidak berniat membawanya kembali?" tanya ibunya. Terdengar nada kecewa dari nada bicaranya. Padahal dia menaruh harapan tinggi dengan pertemuan yang dilakukan oleh Fedrick hari ini.     

"Bukan begitu, Mom. Aku juga tidak tahu kenapa aku begitu bodoh! Seharusnya aku tidak melakukannya, aku sangat menyesalinya!" Fedrick tampak hancur, dia sangat bodoh.     

"Aku kecewa denganmu! Sekarang aku tidak akan berkata apa-apa lagi. Kau sangat mengecewakan aku. Seharusnya kau berusaha tapi kau justru menghancurkannya. Aku sudah kehabisan kata-kata, aku hanya bisa berharap kau segera sadar. Pantas saja Aleandra memilih yang lain, itu karena kau bukan kekasih ideal baginya!"     

"Aku benar-benar menyesal, Mom!"     

"Menyesal pun sudah tiada guna, Fedrick! Penyesalan memang selalu datang belakangan sebab itu berpikirlah sebelum bertindak. Kau yang menghancurkan semuanya jadi jangan menyesalinya!" Setelah berkata demikian sang ibu mengakhiri pembicaraan mereka. Rasa marah dan kecewa terhadap putranya memuncak di hati. Dia kira Fedrick akan berusaha memperbaiki semua sehingga Aleandra mau kembali. Entah apa yang dia lakukan tapi yang pasti dia sudah gagal.     

Padahal dia sangat ingin berbicara dengan Aleandra walau sebentar. Sekarang jangankan berbicara dengannya, dia merasa dia juga tidak akan bertemu dengan Aleandra lagi.     

Fedrick beranjak dan memaki, sial. Dia adalah orang paling bodoh karena dia sendiri yang telah menghancurkan hubungannya dengan kekasih yang dia cintai. Tapi berbicara tentang cinta, kenapa dia baru menyadarinya sekarang? Dia sudah seperti pecundang karena dialah yang sudah menghancurkan segalanya.     

Pemuda itu melangkah keluar, di luar sana sudah sepi. Tidak ada lagi yang berjaga, semua sudah pergi. Aleandra juga sudah tidak terlihat lagi, mereka bahkan tidak makan siang bersama dan semua itu karena ulahnya. Padahal dia bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Aleandra, dia bisa membicarakan banyak hal untuk melepas rindu yang sudah sekian lama ditahan. Padahal dia sangat ingin tahu kenapa Aleandra bisa melarikan diri ke kota itu, apa saja yang dia alami setelah itu tapi dia sudah menyia-nyiakan kesempatan yang dia miliki. Dia sungguh menyedihkan dan memalukan. Jika ada yang tahu, dia pasti akan ditertawakan.     

Sambil menelan pil pahit akibat kebodohan, Fedrick pergi. Setelah ini, apa yang harus dia lakukan? Dia sungguh tidak tahu tapi dia akan berada di kota itu lebih lama sambil mencari keputusan yang tepat apa dia harus kembali atau tidak namun sayang keputusan itu bisa membuat dirinya dimanfaatkan oleh musuh dengan mudah.     

Sementara itu, Aleandra berada di restoran lain bersama dengan Maximus. Dia terlihat tidak bersemangat, bahkan makan saja enggan. Aleandra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia seperti itu setelah Maximus membawanya pergi.     

Dia merasa sangat terpukul, dia tidak menduga jika selama ini dia benar-benar menyedihkan. Ternyata dia menjalin hubungan dengan pria yang tidak mencintainya sama sekali. Sungguh memalukan, walau mereka jarang bersama namun dia selalu menganggap Fedrick sebagai kekasihnya. Semua sudah terjawab, pantas saja Fedrick tidak pernah menganggapnya ada.     

Rasanya sangat ingin menumpahkan kesedihannya, tapi dia memerlukan tempat tenang dan dia butuh waktu sendirian.     

Dia tidak mau Maximus melihat keadaannya yang menyedihkan karena itu sangat memalukan.     

Maximus melirik ke arahnya. Dia tampak tidak senang tapi dia menahan diri. Dia tahu Aleandra sedang bersedih setelah mengetahui kenyataan jika dia tidak dicintai. Pasti sangat menyakitkan, dia tahu tidak akan mudah menerima semuanya.     

"Kenapa kau tidak mau makan?" sungguh dia sedang berusaha bersikap tenang dan menahan emosi.     

Aleandra menggeleng, dia sedang malas melakukan apa pun. Dia juga malas berbicara, Aleandra melirik ke arah Maximus sekilas. Wajahnya saja terlihat lesu, dia seperti orang yang sedang mengantuk berat.     

"Aku tidak suka melihat keadaanmu yang seperti ini, Aleandra!" ucap Maximus kesal.     

"Aku ingin pulang, Max. Aku tidak ingin makan apa pun," ucap Aleandra.     

"Tapi kau harus makan walau sedikit. Bagaimana jika lambungmu sakit?"     

"Aku tidak berselera," Aleandra membuang wajah, dia hanya ingin pulang.     

Maximus memejamkan mata, dia tahu Aleandra sedang terpukul dan kecewa tapi bukan berarti dia harus menghukum diri seperti itu.     

"Ayo pulang jika kau tidak mau makan!" Maximus beranjak, dia melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.     

Aleandra melihat ke arahnya, dia pun segera beranjak dan mengikuti langkah Maximus. Aleandra bahkan berlari mengikuti langkahnya yang lebar. Lagi-Lagi Maximus harus menahan emosi, seharusnya dia tidak mengijinkan Aleandra menemui Fedrick tapi cepat atau lambat Aleandra pasti akan tahu kenyataannya. Lagi pula semakin cepat semakin baik. Pria itu sudah berani menyakiti perasaan Aleandra seperti itu dan memfitnah dirinya maka lain kali dia tidak akan melepaskan pria itu lagi.     

"Max, tunggu!" Aleandra berlari untuk mengejarnya. Maximus tidak mempedulikan dirinya, sedangkan Aleandra terus berlari sampai tidak menyadari tinggi lantai yang mulai berbeda. Teriakannya terdengar saat kakinya tersandung dan setelah itu Aleandra jatuh ke atas lantai dengan keras.     

Maximus berpaling, melihatnya dengan tatapan tidak peduli. Aleandra meringis sambil memegangi lututnya yang berdarah. Sial, tidak tahu tinggi lantai berbeda sehingga tersandung.     

"Kau ingin duduk di sana sampai kapan?" Maximus bertanya dengan dingin, dia bahkan tidak menghampiri Aleandra dan membantunya. Hari ini dia sudah cukup bersabar tapi Aleandra masih saja menguji kesabarannya.     

Aleandra memandanginya dengan tatapan sendu, seperti ingin menangis. Perasaannya tidak menentu, pikirannya pun kacau sehingga dia tidak memikirkan yang lainnya padahal Maximus sudah sebisa mungkin menahan emosinya.     

Max menghela napas, sial. Dia benar-benar sudah gila. Dia jadi seperti itu karena seorang wanita dan lebih sialnya lagi, dia tidak tega melihat Aleandra seperti itu.     

"Ck, aku benar-benar sudah dibuat gila olehnya!" Maximus menghampiri Aleandra dan mengulurkan tangan. Dia sangat ingin marah pada gadis itu anehnya tidak bisa. Dia bisa mengusir Caitlyn dengan mudah, dia bahkan bisa membunuh Caitlyn dengan mudah jika wanita itu datang mengganggu tapi hal itu tidak bisa dia lakukan pada Aleandra padahal gadis itu sudah begitu banyak menguji kesabarannya.     

"Maafkan aku, Max. Aku tidak bermaksud membuatmu marah tapi perasaanku sedang tidak menentu saat ini," ucap Aleandra.     

"Sudahlah, aku memang harus banyak bersama terhadapmu. Anggap ini risiko karena aku sudah memilih dirimu!" Max berjongkok dan menggendong Aleandra.     

"Aku?"     

"Sttss, tidak perlu dibahas!" sela Maximus. Dia tidak ingin membicarakan hal itu lagi yang bisa membuatnya semakin kesal.     

"Maaf jika aku mengecewakan!" ucap Aleandra.     

Maximus diam saja dan membawanya keluar dari restoran. Setelah ini dia tidak akan membiarkan Aleandra bertemu dengan Fedrick lagi. Dia harap pemuda itu pergi sehingga tidak memperkeruh keadaan dan mengganggu Aleandra lagi tapi jika dia tidak pergi maka dia tidak akan segan.     

Max membawa Aleandra pulang, gadis itu masih berada di pangkuannya. Tangan Maximus membelai rambutnya sampai membuat Aleandra tertidur. Dia lelah, dia merasa lelah dengan apa yang telah terjadi. Mungkin dengan tidur sebentar bisa membuat perasaannya sedikit tenang.     

Mata Maximus tidak lepas dari wajah tidur Aleandra, raut wajah tidurnya terlihat sedih. Jari Maximus mengusap wajah gadis itu perlahan, ciumannya juga mendarat di pipinya. Ternyata mencintai seseorang dengan serius tidaklah mudah. Selama ini dia hanya bermain-main tanpa melibatkan perasaan dan tidak mempedulikan yang lainnya.     

Dia tahu masalah Fedrick tidak akan selesai sampai di situ saja dan dia tahu dia harus bayak bersabar untuk menghadapinya tapi dia sudah memutuskan akan mencintai Aleandra sampai mati maka dia akan tetap berjuang untuk mendapatkan gadis itu apa pun rintangannya. Jangan meremehkan pria Smith karena sekali mereka sudah menetapkan pilihan maka mereka akan berjuang mendapatkan wanita yang mereka inginkan dan menghadapi apa pun yang menghalangi mereka.     

Jangan salahkan dirinya kejam pada Fedrick nanti jika pria itu mengganggu hubungan mereka padahal sudah sangat jelas dia tidak mencintai Aleandra selama ini dan hanya melukai perasaannya saja. Apakah dia harus memerintahkan anak buahnya memukul pria itu sampai babak belur? Tidak, itu hanya kelakuan seorang pengecut. Jika sampai Fedrick masih berani mengganggu bahkan sampai bersekutu dengan musuh maka pada saat itu dia tidak akan segan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.