Hi's Like, Idiot But Psiko

Pertengkaran Pertama



Pertengkaran Pertama

0Aleandra terbangun, wajahnya masih terlihat lesu. Entah sejak kapan dia tidur di dalam kamar, dia sendiri tidak tahu. Luka di kakinya juga sudah diobati, dia tahu Maximus yang telah melakukannya dan dia tahu Maximus yang menggendongnya ke dalam kamar.     

Mata Aleandra menatap ke arah jendela, dia masih enggan melakukan apa pun. Dia ingin berbaring seperti itu. Tidak tahu sampai kapan yang jelas dia malas melakukan apa pun.     

Dia juga tidak merasa lapar sama sekali, air matanya mengalir tanpa dia inginkan. Dia yang ingin mengakhiri hubungannya dengan Fedrick justru dia yang harus menelan pil pahit karena kenyataan bahwa ternyata dia tidak dicintai selama ini. Dia bagaikan orang bodoh yang menunggu seorang pria yang tidak pernah mencintainya sama sekali.     

Aleandra tahu dia tidak boleh seperti itu, dia tahu Maximus akan marah dan kecewa tapi pria itu sedang tidak ada jadi tidak masalah jika dia menangis seperti itu untuk sesaat, bukan? Aleandra bahkan menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya dan setelah itu dia menangis di bawah sana. Dia akan melakukannya sebentar sebelum Maximus datang tapi sayangnya dia tidak tahu saat Maximus masuk ke dalam.     

Maximus tersenyum tipis karena dia mengira Aleandra tidur di bawah selimut. Maximus menghampirinya, semangkok sereal diletakkan di atas meja. Dia membuatkannya karena Aleandra belum makan sedari siang.     

Setelah meletakkan mangkuk, Maximus naik ke atas ranjang untuk menghampiri Aleandra tapi niatnya terhenti saat mendengar isak tangis Aleandra. Senyum yang tadinya terukir di bibir hilang seketika, rahangnya tampak mengeras karena emosi. Maximus menarik selimut, Aleandra terkejut dan segera mengusap air matanya dengan cepat.     

"Apa kau masih menangisinya, Aleandra?" tanya Maximus sedikit berteriak.     

"Ti-Tidak!" Aleandra duduk di atas ranjang dengan terburu-buru.     

"Tidak? Apa kau pikir aku buta?!" teriak Maximus marah. Emosinya kembali meledak di hati, sungguh dia sudah tidak bisa menahannya lagi.     

"Ja-Jangan marah, aku tidak menangisi siapa pun. Aku hanya menangisi diriku sendiri!" ucap Aleandra.     

"Menangisi diri sendiri? Jangan membual, Aleandra!" Maximus semakin emosi, sedangkan Aleandra ketakutan.     

"Tolong jangan marah, Max. Aku tidak menangisi Fedrick, aku menangisi diriku sendiri karena selama ini ternyata aku mencintai dan menunggu pria yang tidak mencintai aku sama sekali!" Aleandra sangat ingin mendekati Maximus tapi dia takut.     

"Cih, kau sungguh membuat sebuah lelucon yang sangat tidak lucu. Apa kau belum cukup menangisi hal itu? Kau sudah menangis saat kau tahu kenyataan ini dan sekarang kau masih menangisinya. Sekarang aku tanya padamu, apa kau menangisinya karena kau sangat berharap dia begitu mencintaimu sehingga hubungan kalian bisa kembali? Apa yang dikatakan oleh Fedrick jika kau mau menjalin hubungan denganku karena terpaksa?"     

"Tidak, bukan begitu!" ucap Aleandra.     

"Jika begitu jelaskan padaku, kenapa kau menangis seperti itu? Apa kau sangat berharap dia mencintaimu lalu dia akan terus berjuang untuk mendapatkan dirimu?" Max beranjak dan turun dari atas ranjang.     

"Jangan pergi, Max. Tolong dengarkan penjelasanku!" Aleandra juga beranjak, dia harus menjelaskan hal ini baik-baik pada Maximus tapi dia terkejut ketika Maximus mendorongnya sehingga Aleandra terbaring di atas ranjang dan pria itu sudah berada di atasnya.     

"Max!" Aleandra berteriak. Matanya tidak lepas dari wajah Maximus yang terlihat menakutkan.     

"Aku sudah katakan padamu berkali-kali jika aku tidak punya banyak kesabaran. Aku sudah cukup bersabar hari ini, aku juga membuang egoku dan jika bukan karena dirimu mungkin aku sudah membunuh pria itu tapi aku menahannya atas permintaanmu. Aku pikir kau tidak akan mengecewakan aku setelah kau meminta aku membawamu pulang, aku pikir keadaanmu akan membaik setelah kau terbangun dari tidurmu tapi apa yang aku dapatkan? Kau masih saja di dalam dramamu dan menangis seperti ini. Jujur saja aku muak!" Max berteriak saat mengatakan perkataan muaknya.     

"Sudah aku katakan aku menangisi kebodohanku, Max. Kau tidak tahu bagaimana perasaanku saat tahu ternyata orang yang kau cintai dan kau tunggu selama ini ternyata tidak mencintaimu!" Aleandra juga berteriak.     

"Sekarang kau sudah tahu, lalu kau mau apa? Jika kau benar-benar menyukai aku dan cintamu sudah untukku tidak seharusnya kau berlarut dalam kesedihan akan hal ini! Bukankah semua itu sudah berlalu? Seharusnya sejak awal kau sudah tahu jika dia tidak mencintaimu oleh sebab itu dia tidak pernah mempedulikan dirimu!"     

"Aku hanya menangis saja, apa tidak boleh? Aku bukan robot, aku memiliki perasaan!" teriak Aleandra. Dia jadi tersulut emosi, apakah untuk menangis saja tidak boleh dia lakukan?     

Maximus sangat marah, tangannya sudah mengepal. Aleandra terkejut saat Maximus melayangkan tinjunya ke arah wajah. Teriakannya terdengar, matanya pun terpejam namun tinju Maximus menghantam tempat tidur yang ada di sisi wajahnya.     

Mata Aleandra melotot melihat kepalan tangan Maximus. Dada pria itu turun naik, Maximus benar-benar menahan emosinya. Lebih baik dia pergi, dia tahu jika diteruskan dia hanya akan melukai Aleandra saja. Di saat seperti ini, dia benar-benar butuh lemarinya yang gelap.     

Max beranjak dari atas tubuh Aleandra, tidak baik dia berada di sana. Dia pria yang emosional, dia harus pergi selama dia masih bisa mengontrol emosinya. Maximus melangkah menuju pintu, Aleandra melihat ke arahnya dan tampak tidak terima dengan perlakukan kasar Maximus.     

"Kau pria pemarah dan menyebalkan!" teriak Aleandra.     

Max menghentikan langkah, ternyata Aleandra tidak menyadari situasi apalagi dia kembali berteriak.     

"Kau pria kasar dan aku bukan peliharaanmu!"     

"Ya, aku memang pria kasar!" Maximus melangkah mendekati Aleandra, gadis itu menelan ludah melihat ekspresi wajah Maximus yang menakutkan.     

"Sejak awal kau sudah tahu jika aku pria seperti ini. Aku memang kasar, emosional jadi sekarang kau harus merasakan seperti apa amarahku padamu!" ucapnya seraya meraih kaki Aleandra.     

"Jangan, Max. Apa yang mau kau lakukan!" Aleandra berteriak saat kedua kakinya ditarik oleh Maximus hingga dia berada di sisi ranjang. Aleandra hendak berteriak namun Maxiumus sudah membungkam bibirnya dan menciumnya dengan kasar. Aleandra semakin ketakutan, seharusnya dia membiarkan Maximus pergi saja tapi dia kembali mengobarkan api yang hampir padam.     

Aleandra memukul bahunya, dia juga berusaha mendorong tubuh Maximus. Rasa takut semakin menyelimuti hati apalagi celana yang dia gunakan sudah terlepas. Tidak saja celananya, celana dalam yang dia gunakan bahkan sudah terlepas.     

"Max, apa yang mau kau lakukan?!" teriak Aleandra saat Maximus sudah melepaskan bibirnya karena saat ini dia sedang fokus dengan hal lain.     

"Kau bilang aku pria yang kasar? Aku memang kasar dan sekarang kau harus merasakan bagaimana aku berbuat kasar padamu!"     

"Tidak, Max. Jangan, jangan lakukan hal itu!" teriak Aleandra.     

Kedua kaki Aleandra dibuka, gadis itu semakin ketakutan. Sungguh dia belum pernah melihat Maximus marah sampai seperti itu bahkan waktu dia masih menjadi buronannya saja, Max tidak pernah memperlihatkan amarahnya yang begitu menakutkan.     

Aleandra berteriak memohon, tapi Maximus tidak peduli. Sungguh dia sangat menyesali ucapannya. Jika bisa dia akan menarik ucapannya lagi. Tanpa melakukan pemanasan sama sekali, Max mendorong miliknya ke bagian intim Aleandra dan tentunya itu tidaklah mudah.     

"Sakit, Max!" Aleandra berteriak, air matanya tumpah. Max masih juga tidak peduli, dia benar-benar dikuasai oleh emosi. Tangisan dan permohonan Aleandra kembali terdengar, sakit dan terasa perih apalagi Max terus memaksa agar miliknya bisa masuk ke dalam.     

"Sakit Max, sakit! Aku salah, aku minta maaf," teriak Aleandra sambil menangis memohon.     

Maximus tersadar, dia bagaikan di tampar dengan keras. Sialan, apa yang sedang dia lakukan? Kenapa tiba-tiba dia jadi seorang bajingan yang hendak memperkosa kekasihnya sendiri?     

"Aku yang salah, aku salah jadi maafkan aku," pinta Aleandra sambil menangis terisak. Bagian bawahnya sakit, dia merasa bagian intimnya bagaikan baru saja di ampelas Karena Max terus memaksa miliknya agar masuk ke dalam.     

Max melangkah mundur, napasnya memburu. Kenapa jadi seperti ini? Hanya karena masalah sepele kenapa mereka jadi bertengkar seperti ini?     

Maximus menaikkan celananya, dia jadi tidak tega melihat Aleandra yang masih menangis sambil mengucapkan permohonannya. Dia sangat ingin mendekati Aleandra dan memeluknya tapi dia tahu jika dia masih tetap berada di sana maka semua tidak akan berakhir baik.     

"Shit!" Maximus mengumpat marah, selimut diraih untuk menutupi tubuh Aleandra yang setengah telanjang. Setelah melakukannya, Max melangkah menuju pintu. Kali ini dia benar-benar harus pergi.     

"Max," Aleandra memanggil dan berusaha untuk bangkit dari atas ranjang.     

"Maafkan aku, Aleandra. Kau benar, aku pria yang emosional dan pemarah. Aku memang pria yang kasar dan aku seorang bajingan. Beristirahatlah, jangan lupa makan serealnya!" ucap Maimus.     

"Max, jangan pergi!" pinta Aleandra namun Maximus sudah keluar dari kamar. Dia bahkan pergi dari rumah, dia melakukan itu agar dia tidak memperlakukan Aleandra seperti seorang bajingan lagi. Hampir saja, dia bahkan tidak menyangka dia bisa melakukan perbuatan keji seperti itu pada seorang wanita.     

Aleandra meringkuk di atas ranjang dan menangis, semua karena perasaan bodohnya. Apa yang Max katakan sangat benar, jika saat ini perasaannya sudah milik Maximus lalu buat apa dia menangisi cinta yang tidak dia dapatkan dari Fedrick sebelumnya? Bukankah seharusnya dia bersyukur karena dia bisa tahu hal ini?     

Aleandra menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. Bodoh, dia benar-benar bodoh. Dia sudah melakukan kesalahan, padahal dia tahu Maximus sudah menahan emosi sejak tadi tapi dia justru menuangkan minyak di atas api dengan mengucapkan perkataan yang tidak seharusnya dia ucapkan.     

Celana yang ada di atas lantai diambil dan dipakai dengan terburu-buru, semoga saja Maximus tidak pergi karena dia ingin minta maaf pada pria itu. Padahal dia sudah berjanji untuk tidak menangisi pria lain dan hari ini, secara tidak langsung dia menangis karena Fedrick tidak pernah mencintainya.     

Aleandra berlari keluar dengan terburu-buru, dia mencari Maximus di dalam ruangannya dan di dalam lemari yang ada di sana namun Max tidak ada. Seorang pelayan memberitahunya jika Maximus sudah pergi. Aleandra jatuh terduduk di depan pintu, dia bahkan menangis dengan keras di sana. Kenapa dia begitu bodoh? Dia harap Maximus segera kembali karena dia ingin meminta maaf pada pria itu. Dia tahu setiap hubungan tidak akan berjalan mulus, dia tahu pasti akan terjadi pertengkaran. Ini adalah pertengkaran pertama mereka dan dia harap mereka bisa menyelesaikan permasalahan di antara mereka dengan kepala dingin dan dia harap Maximus mau memaafkan dirinya dan tidak menendangnya pergi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.