Hi's Like, Idiot But Psiko

Kenapa Aku Tidak Seperti Dirimu?



Kenapa Aku Tidak Seperti Dirimu?

0Marline dan Michael terkejut karena tiba-tiba saja putra mereka pulang ke rumah dan terlihat begitu emosi. Suara pintu rumah yang dibanting dengan kasar, membuat mereka curiga jika telah terjadi sesuatu pada putra mereka.     

Mereka bahkan saling pandang ketika Maximus melewati mereka dan langsung masuk ke dalam kamar. Putra mereka tidak menyapa bahkan satu patah kata pun tidak dia ucapkan. Melihat mereka pun tidak dan tentunya Marline memiliki firasat buruk akan hal itu.     

Suara pintu kamar yang dibanting dengan keras pun terdengar, Michael dan istrinya kembali saling pandang. Mereka berdua sedang menikmati waktu mereka berdua saat itu di depan televisi, mereka masih belum mengerti dengan apa yang terjadi karena Maximus tidak pernah seperti itu sebelumnya.     

"Ada apa dengannya, Mich?" tanya Marline.     

"Entahlah, aku tidak tahu," jawab Michael seraya mengangkat bahu.     

"Jika begitu aku akan melihatnya," Marline hendak beranjak namun Michael menahannya.     

"Biarkan saja dia seperti itu untuk sesaat dan setelah itu kau bisa mencari tahu apa yang terjadi. Aku khawatir dia sedang bertengkar dengan kekasihnya, jangan-jangan gadis itu sudah berakhir di tangannya saat ini!"     

"Apa? Jangan membuat aku takut!" ucap Marline seraya duduk kembali di sisi suaminya.     

"Aku tidak menakutimu, Marline. Kau kenal baik dengan putramu seharusnya kau tahu apa yang akan terjadi saat dia sedang marah."     

"Oh my God, semoga gadis itu masih hidup," Marline beranjak, semoga saja apa yang dia takutkan tidak terjadi. Dia segera berlari menuju kamar putranya, tidak terdengar suara apa pun dari dalam sana. Dia tahu putranya pasti berada di dalam lemari untuk menenangkan diri. Sebaiknya dia tidak mengganggu, keadaan Maximus akan membaik setelah dia bersembunyi di dalam sana jadi dia akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi setelah Maximus lebih tenang.     

Di dalam lemari yang gelap, Max mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Entah dia marah pada Aleandra atau dia marah pada dirinya sendiri. Dia tidak menyangka akan menyakiti Aleandra seperti itu, jujur dia jadi kecewa pada diri sendiri. Dia memang kasar dan pemarah tapi tidak seharusnya dia melakukan perbuatan itu tapi tidak seharusnya pula Aleandra menyulut emosinya.     

Aleandra benar, dia bukan robot. Dia manusia yang memiliki perasaan. Apakah dia terlalu keras dan terlalu mengekang Aleandra? Max mengusap wajah, dia akan kembali nanti setelah keadaannya tenang, setelah emosi tidak lagi menguasai hatinya karena dia tahu tidak akan berakhir baik jika dia dan Aleandra berbicara saat mereka berdua dalam keadaan dikuasai oleh emosi.     

Maximus berada di dalam lemari cukup lama, dia memang seperti itu. Dia bahkan bisa menghabiskan waktu selama satu hari di dalam sana. Tidak ada yang dia lakukan, dia hanya berdiam diri, menikmati kesendiriannya. Baginya tempat itu seperti oasis di saat keadaannya sedang seperti itu.     

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat terdengar suara ketukan di pintu lemari. Itu adalah ibunya, sudah malam tapi Maximus belum juga keluar dari lemari dan hal itu membuat Marline semakin khawatir. Dia takut terjadi sesuatu dengan Aleandra karena Max meninggalkannya terlalu lama.     

"Max, kau ingin bersembunyi di dalam sana sampai kapan" tanya ibunya sambil mengetuk.     

Max diam, tidak menjawab. Rasanya malas keluar tapi ibunya kembali memanggilnya.     

"Keluarlah, Max. Sudah jam sepuluh malam, apa kau ingin berada di dalam sampai pagi? Bagaimana keadaan Aleandra? Jika memang ada masalah di antara kalian segera selesaikan, jangan biarkan masalah berlarut-larut karena itu tidak baik!"     

Max menghela napas, dia tahu. Dia sangat tahu, dia juga bukan orang yang suka membiarkan masalah berlarut-larut sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang semakin memperumit masalah.     

"Keluarlah, Mommy tunggu di meja makan," ucap ibunya. Marline melangkah keluar, dia yakin putranya akan segera keluar dan memang, tidak lama kemudian Maximus keluar dari oasis-nya. Max melihat jam tangannya, ternyata benar waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ternyata dia berada di dalam lemari begitu lama dan dia tidak menyadari hal itu. Sekarang dia jadi bertanya, apakah Aleandra sudah makan? Tiba-Tiba dia jadi mengkhawatirkan keadaan gadis itu karena Aleandra belum makan sedari siang. Dia juga curiga jika sereal yang dia buatkan tidak disentuh oleh Aleandra.     

Maximus keluar dari kamar dan melangkah menuju meja makan di mana ayah dan ibunya sedang menunggu dirinya. Mata mereka tidak lepas dari putra mereka yang terlihat lebih baik dari pada sebelum dia datang tadi. Setidaknya dia sudah tidak terlihat sedang emosi. Max mengambil segelas air sebelum duduk bersama dengan kedua orangtuanya, dia bahkan tidak mengatakan apa pun saat duduk bersama dan mengambil makanan yang ada di atas meja.     

"Ada apa denganmu, Max? Kenapa kau kembali dalam keadaan marah?" tanya ibunya.     

"Bertengkar dengan Aleandra," jawab Maximus singkat seraya menikmati makanannya.     

"Dia... masih hidup, bukan?" tanya ibunya ragu.     

Maximus melihat ibunya sejenak dan setelah itu dia berkata, "Tentu saja, aku tidak mungkin membunuhnya!" dia tidak mungkin melakukan hal itu walau hampir saja dia menjadi bajingan karena hendak memperkosa Aleandra. Sebaiknya kedua orangtuanya tidak tahu akan hal ini karena dia tidak mau membuat mereka kecewa.     

Marline tampak lega, syukurlah. Setidaknya putranya tidak membunuh gadis itu akibat emosi. Sepertinya hanya Aleandra saja yang tidak mungkin dia bunuh tapi semua itu pasti karena perasaan yang ada di hati Max untuk gadis itu. Jika Maximus tidak mencintainya, tidak perlu ditanya Aleandra akan jadi apa saat ini karena mereka semua tahu apa yang akan dialami oleh gadis itu.     

"Sekarang katakan pada kami, kenapa kalian bertengkar?" tanya ibunya lagi.     

"Yeah," jawab Maximus enggan.     

"Hei, apa maksudmu dengan jawab itu?"     

"Entahlah... Dad, kenapa aku tidak seperti dirimu?" tanya Maximus seraya memandangi ayahnya.     

"Apa maksud pertanyaanmu, Boy?" tanya Michael tidak mengerti.     

"Kalian lihat aku? Aku sangat jauh berbeda denganmu, Dad. Aku kasar, aku pemarah sedangkan kau tidak. Apa yang sebenarnya terjadi denganku?"     

Hati Marline bagaikan dipukul dengan keras mendengar pertanyaan putranya. Pasti putranya benci dengan sifat buruknya itu. Dia bisa melihatnya dari ekspresi wajah putranya, jujur saja dia juga tidak suka melihat sifat buruk putranya namun mereka tidak bisa melakukan apa pun.     

"Kenapa kau berkata demikian? Aku ya aku dan kau tetaplah kau. Sekalipun aku ayahmu tapi sifat kita tidak harus sama sebab itu jadilah dirimu sendiri," ucap ayahnya.     

"Tapi kenapa aku tidak sama seperti yang lainnya? Kalian bisa lihat Jonathan, Albern dan yang lainnya. Mereka tidak seperti aku!"     

"Max, kau memang berbeda dari yang lain tapi bukan berarti kau harus berkecil hati. Kau istimewa bagi kami, sifatmu memang berbeda tapi kau tetaplah dirimu. Kau mungkin kecewa karena kau sudah menyakiti Aleandra tapi kau harus tahu, di dalam sebuah hubungan pasti ada yang namanya pertengkaran dan juga kesalahpahaman," ucap ibunya.     

"Yang dikatakan oleh ibumu sangat benar, Boy. Sudah aku katakan jadilah dirimu sendiri. Tidak perlu berkecil hati dan membandingkan dirimu dengan yang lain. Kau cukup belajar mengontrol emosimu saja, kau pasti bisa melakukannya apalagi dengan orang yang kau cintai. Walau kau marah, cobalah untuk tenang. Jika kau merasa tidak bisa mengontrol emosimu maka pergilah, bahas permasalahan di antara kalian setelah kepala dingin. Permasalahan tidak akan selesai jika diselesaikan dengan emosional, masalah justru akan semakin rumit dan hal yang tidak diinginkan pun akan terjadi."     

"Aku tahu, Dad. Saat ini aku sedang melakukan hal itu, sebab itu aku pulang karena aku tidak mau mencelakainya."     

"Hubungan kalian masih baru, Max. Kalian masih harus banyak belajar untuk saling menghargai dan memahami satu sama lain jika kalian ingin hubungan kalian bertahan lama. Kau juga harus memaklumi sifat wanita yang ingin dimengerti tapi sulit untuk mengerti dan terkadang wanita lebih emosional di saat tertentu. Kau dan Aleandra juga harus belajar saling bersabar, jika dia emosi kau harus mengalah dan jika kau yang sedang emosi maka dia yang harus mengalah tapi sebenarnya kau yang harus lebih banyak mengalah," ucap ibunya.     

"Seperti dulu aku yang selalu mengalah padamu," ucap Michael.     

"Hei, dulu kau selalu menyogok aku dengan Benjamin!"     

"Tapi kau suka, bukan?"     

"Itu kelemahanku, menyebalkan!" ucap Marline, sedangkan Michael terkekeh.     

Maximus menikmati makanannya dalam diam, dia sedang memikirkan nasehat yang diberikan oleh ayah dan ibunya. Yang diucapkan oleh ibunya sangat benar. Dia dan Aleandra memang harus banyak belajar untuk mengenal satu sama lain dan saling memahami agar hubungan mereka bisa bertahan lama.     

Max menghela napas, ternyata mencintai seseorang tidaklah mudah. Dia tidak tahu jika akan serumit ini tapi dia tidak akan mundur dan menyerah dengan hubungannya bersama Aleandra.     

"Terima kasih atas nasehat yang Mommy dan Daddy berikan, aku mau pulang," Maximus beranjak setelah meneguk segelas air.     

"Tunggu, bawakan makanan untuk Aleandra dan besok ajak dia pulang," ibunya juga beranjak untuk mengambil makanan yang sudah dia siapkan untuk Aleandra. Semoga putranya bisa memperbaiki hubungannya dengan gadis itu walau dia tidak tahu apa yang telah terjadi di antara mereka.     

Maximus menunggu sebentar dan setelah itu dia pamit pulang. Keadaannya juga sudah membaik, emosi sudah tidak menguasai hatinya. Dia akan kembali dan berbicara baik-baik dengan Aleandra. Dia juga harus minta maaf karena perbuatan kasarnya. Tidak saja dirinya yang harus minta maaf, Aleandra juga harus melakukan hal itu.     

Michael dan Marline saling pandang setelah putra mereka pergi, mereka harap putra mereka bisa belajar mengontrol emosi setelah ini. Menjalin sebuah hubungan memang tidak mudah apalagi jika sama-sama emosional. Marline tersenyum tipis saat Michael mengusap lengannya, putra mereka memang berbeda namun mereka tidak hanya berharap putra mereka bisa mengontrol emosinya tapi mereka juga berharap Aleandra bisa memaklumi sikap Maximus dan tidak menyulut api yang bisa membuat mereka lepas kendali karena emosi. Kunci kesuksesan dalam sebuah hubungan tidak saja kesetiaan namun dibutuhkan juga sebuah kesabaran agar hubungan berjalan dengan lancar dan mereka berharap, hubungan Maximus dan Aleandra tidak kandas di tengah jalan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.