Hi's Like, Idiot But Psiko

Kita Akhiri Saja



Kita Akhiri Saja

0Setelah mendapati Maximus sudah pergi, Aleandra kembali ke dalam kamar untuk menangis. Semua yang terjadi karena kebodohannya, tidak seharusnya dia berteriak dan membuat Max semakin emosi.     

Entah kenapa dia jadi lelah, rasanya permasalahan mereka tidak pernah selesai. Tidak saja permasalahan dengan Fedrick, sekarang mereka justru bertengkar. Apa dia yang terlalu egois? Apa dia seperti itu karena tidak tahu di untung dan berterima kasih? Ataukah dia jadi keras kepala, sungguh dia merasa lelah dengan semua itu.     

Aleandra bahkan merasa lelah karena dia sudah menangis begitu lama. Dia juga sudah tidak berada di dalam kamar lagi, Aleandra duduk di sisi kolam renang seorang diri. Dia termenung cukup lama namun air matanya tidak berhenti mengalir.     

Sepertinya dia tidak berguna, dia hanya bisa menyusahkan Maximus saja padahal pria itu begitu mencintainya dengan tulus. Max sudah begitu memanjakan dirinya dan begitu menyayanginya tapi dia masih tetap saja mengecewakan pria itu. Dia bisa menebak jika saat ini Maximus pasti kecewa dengannya, sebab itulah Max tidak mau kembali.     

Aleandra tersenyum sinis, sepertinya dia pantas mendapatkan piala Oscar atas kebodohan yang dia lakukan. Matanya menerawang jauh, menatap langit malam yang gelap pekat seperti perasaannya saat ini.     

Dia hanya benalu yang merepotkan Maximus saja, seharusnya malam itu dia membiarkan Maximus membunuhnya agar mereka tidak terlibat perasaan seperti ini. Tangan Aleandra mengusap bahu, di mana bekas tembakan yang dia dapat dari anak buah Maximus berada. Kedatangannya ke kota itu adalah sebuah kesalahan, seharusnya dia tidak melarikan diri ke kota itu. Dia jadi menyulitkan orang lain, terutama Maximus tapi belum terlambat jika dia ingin mengubahnya. Aleandra kembali menghela napas, sebuah keputusan sudah dia ambil. Dia rasa itu adalah keputusan yang tepat untuk semua orang.     

Udara malam yang dingin tidak membuat Aleandra beranjak, isakan tangis terdengar dan perkataan maaf yang dia lontarkan sedari tadi tidak juga berhenti dia ucapkan. Sungguh dia sangat menyesali perkataannya namun keputusan yang sudah dia ambil akan memperbaiki semuanya walau dia tahu keputusan itu tidak baik untuknya.     

Di luar sana, Maximus sudah kembali. Max melangkah cepat menuju kamar, rumah terlihat sepi dan dia menebak Aleandra sudah tertidur. Makanan yang diberikan oleh ibunya diletakkan di atas meja, dia akan membangunkan Aleandra dan mengajaknya makan walau waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat dia kembali.     

Setelah meletakkan makanan itu, Maximus mengambil segelas air hangat dan melangkah masuk ke dalam kamar. Dia harap Aleandra sudah makan sesuatu sehingga lambungnya tidak sakit. Pintu kamar terbuka, Maximus terkejut melihat tidak ada siapa pun di atas ranjang.     

"Aleandra!" Max memanggil dan melangkah lebar menuju kamar mandi setelah meletakkan gelas. Ranjang terlihat rapi seperti tidak ditiduri, apa Aleandra berada di kamar lain?     

Kamar mandi diperiksa tapi Aleandra tidak ada di dalam sana, kini Max berlari keluar, dia yakin Aleandra ada di dalam kamar lain. Max masuk ke dalam kamar yang dulu ditempati oleh Aleandra tapi gadis itu juga tidak ada. Max mulai panik, jangan katakan jika Aleandra pergi karena perbuatannya.     

"Aleandra!" Maximus berteriak, sial. Tidak seharusnya dia pergi setelah melakukan hal itu tapi jika dia tidak pergi maka dia akan semakin menyakiti Aleandra. Dia mencari Aleandra di semua ruangan, dia juga mencari Aleandra di dalam lemari miliknya karena dia berharap Aleandra ada di sana.     

Maximus semakin panik, dia berlari keluar. Dia semakin takut Aleandra pergi tapi mustahil dia bisa pergi tanpa diketahui oleh penjaga rumahnya. Dia yakin Aleandra masih berada di rumah, mungkin dia sedang berada di kolam renang.     

Kakinya segera melangkah menuju kolam renang, begitu melihat seseorang sedang duduk di sisi kolam renang dia langsung tampak lega karena dia tahu itu adalah Aleandra.     

"Apa yang kau lakukan di sini?" Maximus melangkah mendekat, sedangkan Aleandra melirik ke arahnya dan tersenyum tipis. Dia bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa pun di antara mereka.     

"Aku hanya mencari angin segar," jawab Aleandra. Senyum masih menghiasi wajah saat Maximus duduk di sisinya.     

"Kenapa tidak duduk di balkon saja? Di sini dingin," Maximus menariknya mendekat dan merangkul pinggangnya, sedangkan Aleandra bersandar di bahu Maximus dengan nyaman.     

"Aku lebih suka di sini," mata Aleandra terpejam saat Maximus mencium dahinya dan mengusap kepalanya dengan lembut.     

"Wajahmu dingin, tanganmu juga," tangan Aleandra diraih dan di genggam dengan erat, "Sudah berapa lama kau berada di sini, Aleandra?" tanya Maximus seraya mencium punggung tangan Aleandra.     

"Entahlah, aku tidak tahu tapi di sini terasa menenangkan."     

"Apa kau sudah makan, Aleandra? Kau tidak lupa memakan sereal yang aku buatkan, bukan?"     

"Tentu saja, Max. Terima kasih," Aleandra memberikan sebuah ciuman di pipinya, Mereka benar-benar bertingkah seolah-oleh tidak terjadi apa pun di antara mereka berdua. Maximus tidak marah lagi, Aleandra juga tidak takut lagi dengannya.     

"Ibuku menitipkan makanan untukmu, ayo kita masuk ke dalam untuk menikmatinya sebelum dingin."     

"Aku sudah makan, Max. Terima kasih dan sampaikan ucapan terima kasihku pada ibumu. Dia begitu baik padaku, aku sungguh beruntung dapat mengenalmu sehingga aku bisa mengenalnya," setelah berkata demikian, Aleandra diam. Maximus juga diam, hanya tangannya saja yang bergerak memberikan belaian dan juga usapan lembut di kepala Aleandra.     

Mereka diam seperti itu cukup lama sampai akhirnya Aleandra memutuskan untuk memulai terlebih dahulu apalagi dia merasa jika dialah yang salah.     

"Aku minta maaf, Max," ucap Aleandra.     

"Tidak, aku yang minta maaf," ucap Maximus.     

"Kau tidak perlu minta maaf, Max. Kau tidak salah sama sekali. Aku yang terlalu egois karena aku tidak memikirkan perasaanmu."     

"Tidak perlu dibahas lagi, Aleandra."     

"Tidak, dengarkan aku. Tidak seharusnya aku membuatmu marah padahal aku tahu jika kau sudah menahan emosimu sejak Fedrick memfitnah dirimu. Aku tidak mengerti akan dirimu, aku sudah melakukan sebuah kesalahan besar. Wajar kau marah padaku, Max. Aku benar-benar tidak pernah mempedulikan perasaanmu padahal kau sudah berusaha untuk menahan emosi demi diriku!" Aleandra menunduk, matanya terasa panas tapi dia berusaha menahannya agar tidak tumpah sebelum dia mengatakan keputusan yang sudah dia ambil untuk hubungan mereka berdua. Dia harap Maximus menerima keputusannya itu karena dia merasa, keputusan yang dia ambil adalah yang terbaik untuk mereka semua.     

Maximus menghela napas, sesungguhnya dia enggan membahas hal itu tapi mereka harus menyelesaikannya agar pertengkaran mereka tidak berlanjut.     

"Aku juga minta maaf, Aleandra. Kau benar, kau bukanlah robot dan kau memiliki perasaan. Kau akan menangis saat kau membutuhkannya agar perasaanmu lebih baik tapi aku tidak mengerti dengan keadaanmu. Aku terlalu emosional saat mendapati kau menangisi cinta yang tidak pernah kau dapatkan dari Fedrick. Kau seperti itu seolah-olah kau sangat mengharapkan mendapatkan cinta darinya, kau menangisinya seolah-olah kau ingin kembali dengannya seandainya dia memberikan cinta yang kau inginkan sejak lama. Sebagai pria yang mencintaimu saat ini, aku cemburu, Aleandra. Kau sudah jadi milikku, kau juga sudah memberikan hatimu padaku tapi kenapa kau masih menangisi cinta yang tidak kau dapatkan dari pria lain?"     

Aleandra masih menunduk, air matanya tumpah. Dia tidak bermaksud membuat Maximus cemburu karena dia memang ingin menangis sebentar agar perasaannya tenang.     

"Aku sudah menyadarinya, Aleandra. Aku yang terlalu keras padamu, tidak seharusnya aku melarangmu untuk menangis. Tidak seharusnya aku marah dan menyakiti dirimu. Maafkan aku telah melakukan hal itu, jujur saja aku menyesal karena aku sudah seperti bajingan."     

"Tidak, Max. Aku pantas mendapatkannya. Aku sudah berkata jika kau bisa melampiaskan amarahmu padaku saat Fedrick memfitnah dirimu jadi aku memang pantas mendapatkannya apalagi aku semakin membuatmu marah. Aku juga minta maaf, aku sudah memikirkan hal ini selama aku duduk di sini. Aku hanya bisa mempersulit dirimu, aku si pembuat masalah yang hanya bisa memberikan masalah dalam hidupmu. Aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu, Max. Aku juga sangat beruntung bisa dicintai olehmu."     

"Apa maksud ucapanmu, Aleandra?" Maximus mendorong bahunya. Mereka berdua saling pandang, Aleandra bahkan mengusap wajah Maximus sambil tersenyum.     

"Aku sudah memutuskannya, Max. Tidak seharusnya aku datang ke kota ini, tidak seharusnya kita bertemu. Seharusnya aku membiarkan anak buahmu membunuhku saja pada malam itu agar kita tidak jadi seperti ini. Aku hanya bisa menjadi bebanmu saja, tidak ada yang bisa aku lakukan selain mempersulit hidupmu. Kau juga harus terlibat banyak masalah karena aku, jujur saja aku tidak suka dan aku juga sudah lelah."     

"Bicara yang jelas, Aleandra!" Max meraih tangan Aleandra yang berada di pipinya. Dia merasa jika Aleandra hendak pergi darinya.     

"Aku?" Aleandra menunduk dan kembali menangis. Tiba-Tiba saja lidahnya menjadi kelu padahal dia sudah mengambil keputusan itu setelah lama berpikir.     

"Aleandra!" Max mencengkeram kedua bahu Aleandra dengan erat. Aleandra mengangkat wajahnya dan menatap Maximus dengan tatapan sendu.     

"Aku pikir sebaiknya kita akhiri saja, Max," ucap Aleandra pelan.     

"Tidak!" Maximus berteriak, apa Aleandra ingin mengakhiri hubungan mereka?     

Tidak akan, tidak akan pernah! Sampai kapanpun dia tidak akan membiarkan Aleandra pergi darinya sekalipun Aleandra memaksa untuk pergi. Maximus beranjak, berdiri di sisi kolam renang.     

"Max," Aleandra juga beranjak, dia takut Maximus marah seperti tadi lagi.     

"Aku tidak akan pernah membiarkan dirimu pergi dariku jadi jangan harap kau bisa pergi," Max menghampiri dan memeluknya. Aleandra tidak mengerti apalagi saat Max menggendongnya, dia kira Max akan berbuat kasar lagi seperti tadi, dia sudah sangat ketakutan karena dia tidak akan lupa bagaimana Max memaksa memasukkan miliknya kebagian intimnya. Rasa sakitnya bahkan masih dia ingat sebab itu dia berteriak ketakutan.     

"Max, apa yang mau kau lakukan?" teriak Aleandra.     

"Dinginkan kepalamu terlebih dahulu!" ucap Maximus dan setelah itu teriakan Aleandra terdengar karena Max melemparnya ke dalam kolam renang. Suara air terdengar saat tubuh Aleandra tercebur ke dalam, sedangkan Maximus memandanginya di sisi kolam renang. Beraninya gadis itu ingin mengakhiri hubungan mereka? Sampai kapanpun hal itu tidak akan pernah terjadi, jadi jangan harap Aleandra bisa pergi darinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.