Hi's Like, Idiot But Psiko

Ada Hantu



Ada Hantu

0Aleandra seperti tidak bersemangat setelah mereka pergi dari cafe. Walau dia berusaha tersenyum namun dia tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya. Semua bisa terlihat dari ekspresi wajahnya. Sejauh ini dia sudah berhasil menahan air mata tapi ekspresi wajah yang dia tunjukkan tidak bisa menutupi apa yang sedang dia rasakan saat ini.     

Maximus berusaha tidak marah, ini adalah ujian baginya untuk mengontrol emosi. Dia sudah berjanji untuk tidak cepat marah, sebab itu dia berusaha menghibur Aleandra yang terlihat murung.     

"Jika ingin menangis, menangis saja!" Maximus menarik Aleandra mendekat dan mendekapnya. Saat itu mereka sedang di perjalanan menuju rumah Vivian. Mereka baru saja dari mall mencari sendal yang nyaman untuk dikenakan oleh Aleandra.     

"Aku tidak apa-apa, Max."     

"Tidak apa-apa? Tidak perlu menipu, aku bisa melihat jika kau sedang sedih!"     

"Maaf jika aku membuatmu khawatir, aku sedih bukan karena perpisahanku dengan Fedrick tapi aku merasa sedih karena aku tidak bisa bertemu lagi dengan ibu Fedrick. Walau aku tidak dekat dengan Fedrick namun aku dekat dengan kedua orangtuanya. Aku selalu mengunjungi mereka jika ada waktu luang, mereka benar-benar sangat baik padaku. Ibunya bahkan mencari aku di lokasi syuting jika aku tidak datang menemui mereka."     

"Sepertinya kau begitu dekat dengan kedua orangtuanya," ucap Maximus seraya mengusap kepala Aleandra dengan perlahan.     

"Yeah, begitulah. Mereka sudah seperti orangtua angkat, sebab itu ada merasa sedih saat mengucapkan kata perpisahan pada ibunya apalagi kedua orangtuaku sudah tidak ada."     

"Tidak perlu khawatir," Maximus mencium dahinya dan kembali berkata, "Mulai sekarang kau bisa menganggap kedua orangtuaku sebagai orangtuamu. Lagi pula mereka akan menjadi kedua orangtuamu saat kita sudah menikah dan keluargaku akan menjadi keluargamu juga!" setelah berkata demikian Maximus kembali mendaratkan ciumannya di dahi Aleandra.     

"Thanks, sekarang kita mau pergi ke mana?" Aleandra tersenyum dan bersandar dengan nyaman di bahunya.     

"Tidak mau menangis? Kau bisa menangis dengan puas dan aku tidak marah."     

"Tidak, terima kasih atas pengertiannya. Aku memang sedih karena perpisahan ini tapi aku tidak mau menangis. Aku sudah berjanji padamu dan aku harus memikirkan perasaanmu yang tidak suka melihat keadaanku. Aku tidak ingin kita kembali bertengkar, aku juga tidak mau membuatmu semakin kecewa!"     

Maximus tersenyum, baiklah. Pertengkaran yang terjadi merubah mereka. Sekarang mereka sudah saling mengerti satu sama lain. Dia sudah memberikan kesempatan pada Aleandra untuk menangis karena dia tahu Aleadra membutuhkannya, sedangkan Aleandra juga mulai memahami dirinya dan tidak mau membuatnya marah.     

"Baiklah, aku memang lebih senang kau tidak menangis. Sedih dengan keadaan memang diperlukan tapi tidak baik selalu menangisi keadaan. Sedih tidak selalu ditunjukkan dengan tangisan saja, bukan?"     

"Yeah, aku harap Fedrick menemukan kebahagiaan setelah dia kembali dan aku harap orang yang memberikannya informasi akan keberadaanku tidak mencarinya lagi. Semoga saja dia tidak terlibat dengan permasalahan yang sedang aku alami."     

Maximus diam, hanya tangannya saja yang bermain di rambut Aleandra. Bagaimana jika Fedrick dimanfaatkan oleh musuh setelah dia kembali? Dia harap hal itu tidak terjadi, semoga saja Fedrick pintar menghadapi situasi tapi memang, Fedrick akan mendapatkan kejutan saat dia sudah kembali ke Rusia.     

"Kenapa kau diam, Max?" Aleandra mendongak untuk menatap wajah Maximus.     

Max tersenyum, usapan lembut dia berikan di wajah Aleandra. Ciumannya juga mendarat di pipi Aleandra.     

"Tidak apa-apa, aku harap Fedrick lebih cerdik dari pada yang aku bayangkan!" setelah berkata demikian, Maximus mencium bibir Aleandra dengan mesra.     

Mata Aleandra sudah terpejam, tangannya juga sedang memeluk Maximus dengan erat. Mereka berciuman dengan penuh perasaan, rasanya mereka tidak pernah berciuman seperti itu. Mereka saling pandang setelah ciuman mereka selesai, mereka juga terlihat tersenyum. Tangan Maximus tidak henti mengusap wajahnya, ciumannya juga mendarat di pipi Aleandra. Aleandra kembali bersandar di bahunya dengan nyaman, senyuman juga menghiasi wajah.     

"Sekarang kita mau pergi ke mana, Max? Apa kita tidak pulang?" tanya Aleandra. Entah ke mana mereka akan pergi, yang pasti dia merasa asing dengan jalan yang mereka lewati.     

"Ke rumah Aunty Vivian. Bukankah ibuku ingin mengajakmu pergi ke sana tadi pagi?"     

"Yang menghajarku waktu itu, bukan?"     

"Yes!" jawab Max sambil terkekeh. Aleandra belum bertemu dengan semua keponakannya yang kembar enam. Dia jadi ingin tahu, bagaimana reaksi Aleandra ketika melihat mereka nanti?     

Tangan Maximus terus membelai rambut Aleandra, mata Aleandra terpejam menikmati sentuhan yang dia berikan. Dia bahkan hampir tertidur karena sentuhan yang Maximus berikan.     

"Kita sudah mau sampai, Aleandra," Max mencium dahinya untuk membangunkannya.     

Aleandra menegakkan duduknya sambil menyeka bibirnya. Matanya melihat keluar dan setelah itu Aleandra melihat Maximus dengan tatapan tidak mengerti setelah melihat hamparan laut. Bukankah Max berkata akan ke rumah bibinya? Tapi kenapa tiba-tiba mereka ke laut?     

"Kenapa kita ke laut, Max? Apa kau ingin mengajak aku berenang di pantai?" tanya Aleandra dengan ekspresi heran.     

Maximus terkekeh, sepertinya Aleandra hanya melihat lautnya saja dan tidak melihat rumah mewah yang sudah tidak jauh dari mereka.     

"Tentu tidak, Aleandra. Tapi jika kau mau berenang juga tidak masalah, ini pantai pribadi jadi tidak ada yang melarang."     

"Oh," jawab Aleandra singkat tapi setelah itu dia terkejut.     

"Apa? Pantai pribadi?" Matanya menatap Max dengan tatapan tidak percaya.     

"Yeah, sejak dulu pantai ini milik keluargaku dan sekarang yang menempati adalah pamanku."     

"Oh my God, sebenarnya seberapa kaya keluargamu?" tanya Aleandra.     

"Sepertinya kita sudah membahas hal ini, Aleandra."     

"Aku serius, Max! Pantai pribadi saja keluargamu punya, apa kalian juga memiliki pulau pribadi?"     

"Yes, beberapa dari kami membeli pulau pribadi dan tinggal di pulau itu. Tidak saja pulau dan pantai, kami juga memiliki bandara pribadi."     

"Oh my God.... Oh my God, aku mau pingsan!" ucap Aleandra sambil memegangi kepalanya. Apa Max tidak sedang menggodanya saat ini? Bandara pribadi? Hanya orang yang kelewat kaya yang memiliki tempat seperti itu. Max hanya terkekeh melihat reaksi Aleandra. Sepertinya akan lebih menyenangkan lagi melihat reaksi Aleandra ketika melihat bandara pribadi milik keluarganya.     

"Aku akan membawamu melihatnya nanti," ucap Maximus.     

"Aku jadi sangat ingin melihatnya!" ucap Aleandra. Kini dia jadi penasaran dan ingin tahu.     

Mobil yang dibawa oleh Jared masuk ke dalam pekarangan rumah Matthew Smith. Banyak mobil yang terlihat sepertinya para sepupunya pulang ke rumah. Teriakan anak-anak juga terdengar dari dalam, sepertinya begitu ramai.     

Aleandra agak canggung tapi Maximus meraih tangannya dan mengajaknya ke dalam. Dia semakin terlihat canggung saat melihat ramainya orang di dalam sana.     

"Hai, Aunty," Max menyapa Vivian yang sedang menggendong cucunya.     

"Kenapa kau baru datang, Max?" tanya Vivian.     

"Aku ada urusan sebentar dengan Aleandra."     

"Baiklah, ajak Aleandra masuk ke dalam. Ibumu sedang bersama dengan yang lain," ucap Vivian.     

Maximus mengangguk, dia segera mengajak Aleandra masuk ke dalam. Marline sangat senang melihat kedatangan mereka. Marline bahkan mengajak Aleandra untuk bergabung dengan yang lain. Aleandra tersenyum, dia mulai berkenalan dengan yang lainnya tapi rasa canggungnya berkurang saat Alesya dan Scarlet bergabung dengan mereka. Aleandra bahkan begitu cepat akrab dengan mereka. Tawa mereka terdengar, walau kaya ternyata mereka sangat menyenangkan. Tidak ada satu pun dari mereka yang memamerkan apa yang mereka miliki, mereka bahkan tidak membicarakan barang-barang branded yang sedang diburu oleh kaum sosialita. Pembicaraan mereka jauh dari pada barang-barang seperti itu, mereka justru membicarakan kekonyolan yang mereka lakukan tanpa sengaja.     

Mereka berbincang cukup lama, Aleandra pun mulai terlihat gelisah karena tiba-tiba dia ingin ke kamar mandi. Dia melihat sana sini tapi Max sedang berbicara dengan ayah juga pamannya. Mau tidak mau Aleandra bertanya pada Marline karena dia sudah tidak tahan.     

Aleandra segera beranjak menuju kamar mandi dan setelah selesai Aleandra keluar tapi dia dikejutkan oleh seorang pria tampan yang kebetulan berjalan lewat. Pria itu melihat ke arahnya dan melemparkan pertanyaan padanya.     

"Apa kau pacar Maximus?"     

"Hm, ya," jawab Aleandra.     

Pria itu hanya mengangguk dan melangkah pergi. Aleandra sangat heran tapi dia pikir itu pasti salah satu sepupu Maximus. Karena haus, Aleandra mencari dapur sambil melihat-lihat namun dia kembali bertemu dengan pria yang berwajah sama seperti yang dia temui tadi.     

"Apa kau kekasih Maximus?" pria itu menanyakan hal yang sama.     

"Ya," jawab Aleandra seraya mengernyitkan dahi. Kenapa pria itu menanyakan hal yang sama?     

Aneh tapi dia tidak mau memikirkan hal itu. Dia kembali menuju dapur dan lagi-lagi dia kembali bertemu dengan pria yang sama. Aleandra mengernyitkan dahi, kenapa pria itu ada di mana-mana? Dan bagaimana pria itu bisa bertukar pakaian dengan begitu cepat.     

Entah kenapa dia jadi merinding, jangan-jangan mereka adalah hantu. Aleandra mengambil air dan meneguknya dengan cepat. Dia harus mencari Maximus tapi dia hampir tersedak air saat pria yang baru saja dia temui melangkah masuk ke dalam dengan pakaian yang berbeda.     

"Ti-Tidak!" Aleandra berteriak dan berlari keluar. Saat itu yang ada di dalam dapur adalah Xavier, putra kedua Vivian dan Matthew. Xavier sangat heran, apa yang terjadi?     

Tidak dia saja, semua juga heran. Max segera beranjak mendengar teriakan Aleandra, begitu juga dengan yang lainnya. Aleandra berlari ke arahnya seperti orang gila. Sial, dia tidak menyangka rumah itu berhantu.     

"Ada apa, Aleandra? Kenapa kau ketakutan seperti itu?" tanya Maximus.     

"Ha... Hantu, ada hantu, Max!" ucap Aleandra ketakutan.     

"Hantu?" tanya mereka semua secara serempak.     

"A-Aku melihatnya, mereka ada di mana-mana. Aku mau pulang, Max. Antar aku pulang!" pinta Aleandra ketakutan.     

"Hei, bicara yang jelas!" ucap Maximus.     

"Apa yang terjadi?" empat pemuda menghampiri mereka secara bersama-sama.     

Aleandra berteriak karena dia mengira keempat pemuda yang memiliki wajah sama itu adalah hantu. Teriakannya masih terdengar dan tidak lama kemudian dia tidak sadarkan diri.     

"Aleandra, hei!" Maximus menepuk pipinya. Semua bingung, tidak mengerti tapi mereka semua melihat ke arah empat pemuda yang memiliki wajah sama itu.     

"Boy!" Vivian curiga jika Aleandra mengira keempat putra mereka adalah hantu.     

"What?" tanya mereka tidak mengerti.     

Max menggeleng, ternyata reaksi Aleandra di luar dugaan. Dia jadi ingin tahu, bagaimana reaksi Aleandra saat sudah sadar nanti? Semoga saja dia tidak pingsan lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.