Hi's Like, Idiot But Psiko

Dua Pria Yang Tidak Memiliki Wajah



Dua Pria Yang Tidak Memiliki Wajah

0Setelah melewati kencan indah mereka berdua, mereka kembali saat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Agar malam mereka semakin indah, mereka bercinta seperti yang biasa mereka lakukan.     

Mereka selesai saat waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Aleandra sangat lelah, dia tertidur dengan pulas di dalam pelukan Maximus. Hari ini dia benar-benar bahagia namun rasa bahagia yang dia rasakan tidak menghalanginya untuk bermimpi buruk.     

Aleandra berada di tempat kosong saat itu. Dia tiba-tiba tersadar bagaikan baru terbangun dari tidur. Ruangan itu bahkan terlihat asing baginya. Tidak ada siapa pun di tempat itu, hanya dia sendirian. Maximus juga tidak terlihat, dia benar-benar sendirian.     

Mata Aleandra melihat sekeliling dengan ekspresi heran. Dia beranjak dan melangkah keluar dari ruangan tersebut. Rasa herannya semakin menjadi melihat bangunan yang tidak dia kenal sama sekali.     

"Max!" Aleandra berteriak, dia seperti ragu ingin keluar dari ruangan itu. Aleandra berpaling melihat di mana dia terbangun tadi. Apakah ini adalah mimpinya?     

Dia ingat betul jika dia sedang tidur dengan Maximus, dia bahkan sedang memakai bajunya saat ini padahal dia tidak memakai apa-apa saat tidur. Aleandra kembali melihat sana sini, sungguh mimpi yang sangat aneh. Dia sangat ingin terbangun dari mimpi aneh itu namun tidak bisa.     

Dari pada hanya berada di ruangan asing itu, dia lebih memilih keluar dan menyelusuri lorong yang lumayan panjang dan gelap. Aleandra mulai merasa takut karena tempat itu sangat sepi.     

"Hallo, anybody here?" Aleandra berteriak sehingga suaranya menggema di dalam lorong.     

"Hallo!" dia kembali berteriak. Telinga dipasang dengan tajam untuk mendengar apakah ada yang menjawab panggilannya atau tidak.     

"Hallo, apakah ada orang? Jika ada tolong jawab aku!" teriaknya lagi. Aleandra terus melangkah, samar-samar dia mendengar suara seseorang walau suaranya lemah.     

"Siapa di sana?" Aleandra mulai berlari ke arah datangnya suara. Dia bahkan kembali memanggil agar dia bisa mendengar suara yang seperti sedang meminta tolong.     

"Siapa itu? Tolong jawab!" teriak Aleandra lagi. Beberapa ruangan berada di depan sana. Aleandra masuk ke dalam ruangan pertama yang dia lewati. Ruangan itu cukup gelap, dia memanggil dan mencari tapi sepertinya suara itu bukan berasal dari sana.     

Aleandra keluar dari ruangan, dia juga kembali memanggil. Suara seorang pria yang meminta pertolongan kembali terdengar.     

"Max, apa itu kau?" teriaknya.     

"A-Aku di sini!" walau lemah dan samar tapi teriakan itu semakin jelas dia dengar.     

"Max!" Aleandra berlari karena dia mengira jika pria yang memanggilnya adalah Maximus. Sebuah ruangan yang berada di depan sana menjadi tujuan. Dia bahkan membuka pintu ruangan itu dengan terburu-buru.     

"Max, apa itu kau?" ruangan emang agak gelap tapi ia memberanikan diri melangkah masuk untuk mencari orang yang meminta tolong sedari tadi.     

"To ... long!" suara itu semakin jelas dan berasal dari balik sebuah meja yang ada di dalam ruangan itu.     

"Si-Siapa di sana?" Aleandra meraih sebuah tongkat yang ada di sisi ruangan dan kembali mendekati sumber suara. Tangannya gemetar begitu juga dengan kakinya tapi dia memberanikan diri melangkah mendekati suara.     

Aleandra menelan ludah ketika dia melihat dua orang pria yang sedang berlutut di atas lantai dan membelakanginya. Rasa takut menyelimuti hati, entah siapa kedua orang itu tapi entah kenapa dia merasa tidaklah asing.     

"Ma-Max," Aleandra memberanikan diri memanggil, kedua pria itu berhenti meminta tolong.     

"Apa itu kau, Max?" dengan tangan gemetar Aleandra hendak menyentuh bahu salah satu dari pria itu.     

"Tolong kami, Aleandra," salah satu pria itu berkata demikian.     

"Si-Siapa kalian?" Aleandra sungguh takut, apalagi pria itu memanggil namannya.     

"Tolong kami, Aleandra!" mereka mengatakan hal yang sama dan memalingkan wajah. Aleandra terkejut dan berteriak saat melihat kedua pria yang tidak memiliki wajah karena seseorang sudah menguliti wajah mereka.     

"Siapa kalian?" Teriaknya seraya melangkah mundur.     

"kau sudah lupa dengan kami, Aleandra? Lihat wajah kami baik-baik dan lihat bola mataku! Semua ini gara-gara kau!" salah satu pria itu menunjukkan dua bola matanya yang berada di telapak tangan.     

Kedua pria itu beranjak dan melangkah mendekatinya, sedangkan Aleandra melangkah mundur dan semakin ketakutan.     

"Semua gara-gara kau, Aleandra. Seharusnya kami tidak mengenal dirimu, seharusnya kami tidak terlibat dengan permasalahan yang kau alami!" ucap mereka.     

"Tidak, semua bukan salahku!" teriak Aleandra.     

"Yang terjadi pada kami adalah kesalahanmu!" teriak mereka.     

"Tidak!" Aleandra berteriak dengan keras karena takut dan karena teriakannya itu, dia terbangun dari tidurnya.     

Maximus juga terbangun karena teriakannya, Aleandra terengah-engah dengan keringat mengalir di dahi.     

"Ada apa denganmu, Aleandra?" Maximus menyentuh bahunya tapi Aleandra segera menepis tangannya.     

"Lepas, jangan sentuh!" teriaknya ketakutan.     

"Hei, ini aku. Ada apa denganmu?" Maximus semakin heran. Dia ingin menyentuh Aleandra lagi namun gadis itu kembali menepis tangannya.     

"Jangan sentuh aku, jangan sentuh. Semua yang terjadi bukan salahku jadi jangan menyalahkan aku!" teriaknya sambil berderai air mata.     

"Aleandra, tenangkan dirimu!" Maximus memeluknya dari samping.     

"Semua bukan salahku, Max. Bukan salahku!" teriaknya. Tubuhnya gemetar itu karena rasa takut luar biasa yang dia rasakan. Maximus bahkan memegangi telapak tangannya yang gemetar. Apa yang sebenarnya di mimpikan oleh Aleandra?     

"Kau hanya bermimpi, Aleandra, Lihat di mana kita berada? Kita sedang tidur jadi kau hanya bermimpi buruk saja."     

"Tapi semua yang terjadi bukan salahku, Max," Aleandra kembali mengulangi ucapannya. Dia sungguh tidak bisa melupakan kedua pria yang tidak memiliki wajah dalam mimpinya dan dia tidak akan lupa jika mereka berkata semua karena kesalahannya.     

"Memang bukan salahmu, lagi pula tidak ada yang menyalahkan dirimu. Itu hanya mimpimu saja. Sekarang pakai bajumu, aku akan mengambilkan air hangat."     

Aleandra mengangguk dan mengusap air matanya. Perasaan takut masih menyelimuti hati, dia bahkan bertanya dalam hatinya, siapa kedua pria yang tidak memiliki wajah itu?     

Maximus mengambilkan pakaian untuknya, dia bahkan membantu Aleandra mengenakan pakaiannya karena gadis itu terlihat lesu tidak bersemangat. Tatapan mata Aleandra bahkan kosong, pikirannya kacau.     

"Hei, sudah aku katakan itu hanya mimpi saja," Maximus memegangi pipinya dan menatap matanya dengan lekat.     

"Aku takut, Max," ucap Aleandra. Air matanya kembali mengalir. Sungguh dia benar-benar takut terlepas siapa pun kedua pria yang dia lihat. Dia takut jika salah satu pria yang dia lihat adalah Maximus dan dia juga takut salah satunya lagi adalah Fedrick. Bisa saja mereka menjadi seperti itu karena terlibat dengan permasalahan yang sedang dia hadapi. Sebab itu salah satu dari mereka berkata jika dialah yang telah menyebabkan semua itu terjadi.     

"Baiklah," Maximus duduk di sisinya dan memegangi kedua tangannya yang gemetar. Sepertinya mimpi yang dialami oleh Aleandra benar-benar buruk.     

"Sekarang katakan padaku, apa yang baru saja kau mimpikan?" tanya Max. Dia harap setelah bercerita keadaan Aleandra sudah lebih baik.     

"Saat aku terbangun aku tidak tahu berada di mana," ucap Aleandra sambil menunduk.     

"Lalu?" Maximus merangkul bahunya, dia harus membuat Aleandra nyaman dan tidak merasa takut lagi.     

"Aku berada di dalam ruangan yang sangat asing, Max. Aku seorang diri jadi aku memutuskan keluar untuk mencari seseorang. Aku sangat takut sebab itu aku berteriak untuk mencari seseorang sampai akhirnya aku mendengar ada yang meminta tolong. Aku terus mencari sampai akhirnya aku melihat dua orang pria berada di sisi meja dalam sebuah ruangan," Aleandra menghentikan ucapannya. Tubuhnya kembali gemetar, kulit wajah mereka yang tidak ada, bola mata yang ada di atas telapak tangan, dia benar-benar takut melihat hal mengerikan itu.     

"Lalu?" Maximus semakin ingin tahu apa yang di mimpikan oleh Aleandra.     

"Kedua pria itu tidak memiliki kulit wajah, Max. Salah satu dari pria itu bahkan menunjukkan kedua bola matanya yang ada di atas telapak tangannya dan dia berkata semua yang terjadi gara-gara aku. Aku takut, Max. Sangat takut!" Aleandra menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya.     

"Itu hanya mimpi yang kau alami, Aleandra. Jadi buat apa kau takut?"     

"Kau tidak mengerti, Max! Bagaimana jika yang ada di dalam mimpiku adalah kau dan Fedrick?" Aleandra menatapnya dengan perasaan takut.     

"Aku tidak mungkin berada di posisi itu, Aleandra. Aku bukan orang bodoh yang akan masuk ke dalam perangkap musuh dengan mudah!"     

"Bagaimana jika hal itu terjadi, Max? Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dan aku takut mimpiku menjadi nyata. Aku takut kau dan Fedrick harus mengalami hal itu karena aku."     

"Ssstt, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku," Maximus mengusap lengannya untuk menghiburnya, "Sesungguhnya yang harus kau khawatirkan adalah Fedrcik karena bisa saja dia berada di posisi itu."     

"Bagaimana ini, Max? Bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya?"     

"Jika begitu besok hubungilah dia, dia pasti sudah tiba di Rusia. Ingatkan dia untuk berhati-hati. Memang tidak seharusnya dia datang mencarimu, seharusnya dia tidak membuatmu khawatir seperti ini."     

"Apa aku boleh menghubunginya?"     

"Tentu, aku tidak suka kau khawatir seperti ini jadi hubungilah dia."     

"Terima kasih, Max. Aku harap dia baik-baik saja."     

"Jika begitu tidur lagi, tidak perlu dipikirkan mimpi yang baru saja kau alami."     

Aleandra mengangguk, dia harap itu hanya mimpi saja dan tidak ada maksud apa pun dibalik mimpi itu. Semoga semua baik-baik saja nantinya. Maximus beranjak pergi, untuk mengambil air hangat untuk Aleandra.     

Gadis itu hanya duduk diam sampai Max kembali dengan segelas air. Max kembali duduk di sisinya dan memberikan air yang dia ambil. Aleandra tersenyum tipis, semoga saja apa yang dia lihat di mimpi tidak menjadi nyata.     

"Semua akan baik-baik saja, oke?" hibur Maximus.     

Aleandra kembali mengangguk, Max mengajaknya untuk kembali tidur namun Aleandra sulit memejamkan matanya. Dia bahkan terlihat gelisah sampai akhirnya Maximus mengajaknya berbincang. Cukup lama mereka berbincang sampai akhirnya Aleandra tertidur dengan pulas karena mengantuk.     

Maximus mencium dahinya, dia yang jadi tidak bisa tidur. Entah kenapa dia jadi memiliki firasat buruk atas mimpi Aleandra. Dia tidak mengkhawatirkan apa pun tapi yang dia khawatirkan adalah mental Aleandra. Semoga saja musuh tidak keterlaluan, jika sampai terjadi sesuatu dengan Aleandra maka dia akan membuat mereka mati dengan cara yang mengenaskan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.