Hi's Like, Idiot But Psiko

Permintaan Aleandra pada Fedrick



Permintaan Aleandra pada Fedrick

0Max tidak bisa tidur lagi, dia lebih memilih berada di dalam ruangannya untuk melihat kasus yang sedang dialami oleh Aleandra. Tidak sulit baginya menemukan berita itu apalagi dia baru tahu jika kejadian itu sempat heboh di Rusia.     

Ternyata ayah Aleandra seorang pengacara terkenal yang sudah bayak menangani kasus kejahatan. Tidak heran jika ayah Aleandra memiliki banyak musuh karena ayah Aleandra sudah banyak menjebloskan banyak penjahat kelas kakap ke dalam penjara. Hukuman yang didapat juga tidak tanggung-tanggung, bahkan ada yang mendapat hukuman mati.     

Dia bahkan melihat rupa kedua orangtua Aleandra yang menjadi korban atas kasus yang terjadi. Aleandra dinyatakan hilang, sang kakak yang bernama Adrian juga dinyatakan hilang.     

Maximus memainkan jari di dagu, ternyata Aleandra lebih mirip dengan ayahnya. Dia kembali menyelusuri berita itu, untuk mencari tahu lebih lanjut dari kasus yang menimpa keluarga Aleandra. Para petugas yang menangani kasus itu tidak bisa menemukan apa pun, tentu saja karena dia yakin jika pria bernama Antonio itu bukanlah orang sembarangan. Dia juga yakin jika pria bernama Antonio memiliki dendam pada ayah Aleandra karena profesinya.     

Sepertinya dia penjahat yang cukup berpengaruh di dunia hitam, itu bisa terlihat dari hasil kerjanya yang tidak meninggalkan bukti. Max bahkan melihat foto-foto rumah Aleandra yang sudah diberi garis polisi. Rumah itu hancur ditembaki oleh senjata api, pantas saja polisi tidak mendapat bukti. Cerdik, Antonio memang mengerjakan semuanya dengan rapi dan bersih bahkan jejak kakak Aleandra saja tidak bisa ditemukan.     

Komputer dimatikan karena dia merasa cukup. Tidak begitu banyak yang dia temukan karena kasus masih sedang dalam penyelidikan. Tapi itu sudah cukup untuk mengisi waktunya. Semua itu gara-gara mimpi Aleandra. Gadis itu tidur dengan nyenyak, sedangkan dirinya justru terjaga.     

Dia ingin tidur lagi namun sayangnya sudah tidak bisa. Setelah merasa cukup melihat kasus itu, Max beranjak dan keluar dari ruangan. Sebelum masuk ke dalam kamar, Max pergi ke dapur untuk membuatkan sarapan. Dia ingin saat Aleandra bangun, sarapan sudah bisa dia nikmati.     

Walau memasak bukanlah hobinya, setidaknya dia melihat apa yang dilakukan oleh ibunya setiap hari. Segala sesuatu yang dia lihat akan terekam di kepalanya, sebab itu tidak sulit baginya untuk melakukan apa yang telah dia lihat.     

Max sibuk sendiri, pelayannya bahkan tidak berani mendekat karena mereka takut pria itu marah karena terganggu. Mereka hanya berdiri di ujung ruangan, mereka harus siap jika dibutuhkan.     

Beberapa roti bakar daging dengan keju sudah jadi, telur mata sapi juga sudah berada di atas piring. Tidak lupa segelas susu rendah lemak sudah di tuang ke dalam gelas.     

Sarapan sudah jadi, Maximus membawanya menuju kamar. Aleandra masih tidur dengan nyaman di bawah selimut yang hangat, Maximus tersenyum dan meletakkan sarapan yang dia buat ke atas meja, setelah itu dia naik ke atas ranjang dan mendekati Aleandra. Usapan lembut dan ciumannya mendarat di dahi Aleandra, dia juga berbisik di telinga Aleandra.     

"Aleandra, bangun!" Max membangunkannya dengan penuh kasih sayang namun Aleandra masih saja tidur.     

"Bangun, Aleandra. Bukankah kau harus menghubungi Fedrick? Aku ingin kau melakukannya sebelum aku pergi ke kantor!" Max mencium lehernya agar Aleandra merasa geli tapi Aleandra hanya bergerak sedikit.     

Karena tidak juga bangun, Maximus masuk ke dalam selimut dan melakukan apa yang dia mau di dalam sana. Gumaman Aleandra terdengar karena rasa geli dibagian perutnya, dia masih enggan bangun tapi teriakannya terdengar karena Maximus menggigit perutnya.     

"Sakit, Max!" Aleandra menyingkap selimut, gigi Maximus masih berada di perutnya. Pria itu bagaikan kepiting jantan yang sedang mencapit si betina.     

"Masih mau tidur lagi?" Max belum juga melepaskan giginya.     

"Aku sudah bangun, lihat," ucap Aleandra seraya mendorong wajahnya.     

Gigitannya terlepas, Max beringsut naik dan mencium wajahnya.     

"Morning, my Angel," ucapnya seraya mencium pipi Aleandra.     

Aleandra mengernyitkan dahi, apa yang baru saja Maximus katakan?     

"Kau memanggil aku apa, Max?"     

"Kau tidak mendengarnya?"     

"Coba ulangi!" pinta Aleandra. Antara percaya dan tidak, ini kali pertama Maximus memanggilnya seperti itu.     

"Tidak ada pengulangan, Aleandra. Sekarang bangun dan sarapan. Aku sudah membuatkannya untukmu."     

"Ayolah, ulangi sekali lagi," Aleandra masih memohon.     

"No, aku hanya akan mengucapkan perkataan itu satu kali saja jadi tidak ada pengulangan!"     

"Apa? Dasar pelit!" protes Aleandra.     

Maximus terkekeh dan membantu Aleandra untuk bangun dari tidurnya. Tiba-Tiba Aleandra jadi murung karena teringat dengan mimpi mengerikan yang dia alami semalam.     

"Hei, segera bersihkan diri dan sarapan. Setelah itu hubungi Fedrick!" ucap Maximus seraya memegangi pipinya.     

Aleandra tersenyum dan mengangguk, Max menggendongnya menuju kamar mandi. Mereka membersihkan diri dan setelah selesai, mereka berdua keluar bersama. Aleandra tersenyum karena Max membantunya mengeringkan rambut seperti biasa. Alat pengering rambut bahkan sudah berada di tangan Maximus. Semenjak memiliki kekasih, dia mulai mahir dalam beberapa hal. Walau tidak pernah melakukannya namun dia jadi terbiasa.     

Setelah rapi, mereka berdua duduk di balkon sambil menikmati sarapan, Aleandra bahkan melihat jam yang melingkar di tangan. Jika dihitung seharusnya pesawat yang ditumpangi oleh Fedrick sudah mendarat. Dia akan menghubungi Fedrick sebentar lagi, semoga apa yang dia mimpikan tidak terjadi pada Fedrick.     

Setelah sarapan, ponsel sudah berada di tangan. Sambil menikmati cahaya matahari, Aleandra menghubungi Fedrick. Dia juga bersandar di dada Maximus, rasanya sangat menyenangkan bisa menghabiskan waktu kebersamaan yang seperti itu.     

Fedrick sudah berada di mobil saat Aleandra menghubunginya. Dia meminta sang supir untuk menjemputnya. Lagi-Lagi nomor yang menghubunginya tidak tertera di layar ponsel tapi dia sangat yakin itu adalah Aleandra.     

"Apa itu kau, Aleandra?" tanya Fedrick tanpa basa basi.     

"Yeah, ini aku. Apa kau sudah tiba, Fedrick?" tanya Aleandra.     

"Tentu saja, aku sedang di dalam perjalanan kembali. Aku sangat senang kau menghubungi aku, Aleandra. Katakan ada apa? Aku akan sangat senang jika kau berkata jika kau merindukan aku."     

"Jangan berlebihan, Fedrick. Aku menghubungimu karena aku mengkhawatirkan dirimu."     

"Kau mengkhawatirkan aku? Bukankah itu berarti kau masih memiliki perasaan padaku?"     

"Fedrick!" Aleandra berteriak. Dia mulai kesal karena Fedrick sulit diajak bicara.     

"Tidak perlu ragu, Aleandra. Aku tahu kau masih memiliki perasaan padaku sebab itu kau menghubungi aku. Kau pasti berubah pikiran setelah aku tinggalkan, bukan? Katakan saja, aku bersedia kembali demi dirimu."     

"Oh my God, Fedrick. Aku sedang bersama dengan Maximus saat ini jadi jangan memancing emosi. Aku tidak berubah pikiran, aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu saja tapi jika kau baik-baik saja maka aku akhiri pembicaraan yang menyebalkan ini!" Aleandra mulai tersulut emosi. Dia tidak mau Maximus marah tapi justru dia yang jadi marah.     

"Baiklah, jangan akhiri. Aku yang salah, aku terlalu senang karena kau masih mau menghubungi aku. Sekarang katakan ada apa, aku akan serius mendengarkannya."     

"Terima kasih, aku hanya ingin kau semakin waspada dan hati-hati. Jika bisa bawalah kedua orangtuamu pergi dari sana. Kau pasti akan berangkat berbisnis seperti yang biasa kau lakukan, bukan?"     

"Kenapa terdengar begitu serius?" tanya Fedrick.     

"Aku memang sedang serius, Fedrick! Dengarkan aku, aku khawatir terjadi sesuatu dengan kalian, terutama kedua orangtuamu. Sebaiknya tidak menunda, segera ajak mereka pergi setelah kau tiba."     

"Tidak bisa, Aleandra. Bagaimana dengan bisnisku di sini? Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja."     

"Please, Fedrick. Untuk sementara waktu saja," pinta Aleandra memohon.     

"Baiklah, akan aku pikirkan!" ucap Fedrick. Dia rasa Aleandra terlalu berlebihan. Dia memang takut tapi seharusnya dia tidak takut sampai seperti itu. Lagi pula dia lelaki, dia tidak akan takut dengan apa pun. Dia berpikir demikian karena dia tidak tahu siapa yang menginginkan Aleandra dan yang telah menghancurkan keluarganya.     

"Berjanjilah padaku, Fedrick. Aku meminta hal ini demi kebaikanmu dan aku juga memiliki firasat tidak baik. Ini permintaan pertama dan terakhirku jadi aku harap kau mau mengabulkannya."     

"Aku berjanji padamu, tidak perlu khawatir," ucap Fedrick.     

"Terima kasih, jaga diri kalian baik-baik."     

"Pasti, kau juga harus menjaga dirimu baik-baik!" ucap Fedrick lagi. Entah kenapa perkataan wanita yang dia temui di bandara tentang Maximus kembali teringat. Dia akan menghubungi wanita itu setelah tiba di rumah.     

Pembicaraan mereka sudah berakhir, Aleandra sedikit lega karena Fedrick mau mendengarkan permintaannya. Dia harap Fedrick tidak saja mendengarkan tapi juga melakukan apa yang dia minta. Semoga Fedrick segera membawa kedua orangtuanya pergi sebelum terjadi sesuatu. Sungguh dia takut mimpi buruknya menjadi nyata.     

"Sudah selesai, bukan?" tanya Maximus seraya mencium pipinya.     

"Ya, aku harap dia mendengarkan aku dan segera membawa kedua orangtuanya pergi."     

"Kau sudah berusaha, Aleandra. Sekarang tergantung dirinya mau percaya atau tidak dan dia mau mendengarkan permintaanmu atau tidak."     

"Kau benar, Max. Aku harap Fedrick cerdik dan mengerti situasi."     

"Semoga saja, aku sudah harus pergi ke kantor. Tidak apa-apa aku tinggal, bukan?"     

"Tentu saja," ucap Aleandra. Maximus mengangkat dagu Aleandra dan mencium bibirnya. Semoga saja Fedrick tidak mengecewakan sehingga tidak semakin memperkeruh suasana.     

Mereka berdua keluar dari kamar, Aleandra mengantar Maximus pergi sampai di depan pintu. Setelah Maximus pergi dia mau berenang untuk mengisi waktu.     

Sementara itu, Fedrick diam saja setelah berbicara dengan Aleandra. Dia sedang memikirkan permintaan Aleandra yang menurutnya terlalu berlebihan. Dari pada mengkhawatirkan dirinya bukankah lebih baik Aleandra mengkhawatirkan dirinya sendiri? Apa Aleandra tidak menyadari jika dia bisa dicampakkan oleh Maximus kapan saja? Apa dia tidak menyadari hal itu sama sekali? Dia harap Aleandra segera sadar dari pada dia mengkhawatirkan orang lain.     

Fedrick sudah tiba, tanpa rasa curiga Fedrick mengambil barang-barangnya dan melangkah menuju rumahnya. Tas berada di tangan, dia berencana pergi ke kantor setelah ini. Dia sudah meninggalkan perusahaan selama beberapa hari, dia harus melihat bagaimana dengan bisnisnya. Dia benar-benar tidak mau memikirkan permintaan Aleandra.     

Pintu rumah dibuka, Fedrick melangkah masuk ke dalam dan dia belum juga curiga sama sekali.     

"Mom, aku pulang!" teriaknya. Fedrick melangkah masuk, tiba-tiba dia terkejut dan tasnya jatuh di tangan.     

"Sial!" hanya itu yang bisa dia ucapkan setelah melihat situasi di rumahnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.