Hi's Like, Idiot But Psiko

Kedatangan Antonio



Kedatangan Antonio

0Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Max baru kembali dari kantor akibat banyaknya pekerjaan yang harus dia selesaikan. Rumah sepi, tidak seperti biasanya. Biasanya Aleandra akan menyambut kepulangannya, membukakan dasi dan memberikan ciuman di bibirnya tapi hari ini tidak, dia tahu Aleandra belum kembali dari bersenang-senang dengan kedua sepupunya.     

Napas berat dihembuskan, Max melangkah menuju kamar sambil melonggarkan dasinya. Entah kenapa tiba-tiba terasa sepi padahal dulu dia juga sendirian jika kembali tapi kali ini berbeda. Seperti ada yang kurang dan dia tahu itu apa.     

Dari pada banyak berpikir lebih baik dia mandi dan menunggu Aleandra kembali, dia tidak mau menghubungi Aleandra karena dia tidak mau mengganggu kesenangannya. Mungkin saja ada musuh yang mengintai, tapi dia tidak perlu khawatir karena Scarlet dan Alseya bukan wanita lemah yang bisa diremehkan begitu saja.     

Max bergegas mandi, semoga saja Aleandra segera kembali karena dia tidak suka sendirian seperti itu. Untuk mengusir rasa bosan, sebuah laptop sudah menyala dan dia mulai sibuk dengan pekerjaannya.     

Aleandra dan kedua sepupu Max keluar dari bioskop saat waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Mereka terlihat puas, Aleandra benar-benar menikmati harinya tanpa memikirkan orang yang dia takuti selama ini. Tidak ada yang mencurigakan sehingga dia tidak perlu merasa waspada. Baginya ini hari menyenangkan selama dia berada di kota itu.     

"Sudah malam, sebaiknya kita pulang," ucap Alesya.     

"Tapi kita harus pergi untuk mengambil gaun yang sudah kita pesan," ucap Scarlet.     

"Kita ambil nanti, Scarlet. Dua hari lagi maukah kau menghabiskan waktu dengan kami lagi, Aleandra?"     

"Tentu saja aku mau, tapi aku harus minta ijin pada Maximus terlebih dahulu."     

"Dia pasti mengijinkan, kita bertemu lagi di restoran yang sama di jam yang sama," ucap Alesya.     

Aleandra mengangguk, semoga Max mengijinkan nanti. Sudah lama tidak menghabiskan waktu seperti ini, dia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali dia bersenang-senang dengan para sahabatnya. Mereka segera berpisah, pulang ke rumah masing-masing.     

Selama kembali, Aleandra melihat jam tanpa henti. Dia sungguh tidak sadar jika saat itu sudah jam sembilan malam. Sepertinya dia begitu menikmati waktunya sampai lupa waktu. Maximus pasti sudah kembali, semoga saja tidak marah.     

Dia tiba saat waktu menunjukkan pukul sepuluh, Aleandra semakin was-was. Dia bahkan masuk ke dalam rumah sambil mengendap. Matanya melihat sana sini, Max pasti ada di dalam kamar. Aleandra pergi ke dapur terlebih dahulu karena dia haus, setelah melakukan apa yang dia mau dia segera menuju kamar.     

Pintu kamar dibuka dengan perlahan, Aleandra mengintip ke dalam untuk melihat apa yang Maximus lakukan. Napas lega dihembuskan saat melihat Maximus sudah tidur. Sebaiknya dia segera mandi dan bergabung dengan Maximus, sejujurnya dia juga lelah.     

Suara air di kamar mandi membangunkan Maximus dari tidurnya. Max melihat sisi ranjang, dia mengira Aleandra sudah kembali tapi dia tidak mendapatkan siapa pun. Pandangannya jatuh pada jam yang ada di atas meja, Max segara duduk di sisi ranjang dan beranjak menuju kamar mandi di mana suara air masih terdengar.     

Suara air terhenti, Aleandra masuk ke dalam bathtub karena dia ingin berendam sebentar untuk merenggangkan otot tubuhnya.     

"Aleandra," Maximus memanggil sambil membuka pintu.     

"Max," Aleandra segera berpaling, padahal dia ingin bergabung dengan Maximus secara diam-diam.     

"Kau baru kembali?" Max melangkah mendekatinya.     

"Uhm, padahal aku ingin tidur denganmu secara diam-diam setelah mandi," jawab Aleandra.     

"Bagaimana harimu?" Max duduk di sisi bathtub dan mengambil sikat punggung yang ada di antara botol sabun, "Apakah harimu menyenangkan, Aleandra?" tanyanya lagi.     

"Seperti yang kau tahu, Max. Aku benar-benar senang hari ini."     

"Baiklah, sebaiknya selesaikan mandinya. Sudah malam, lebih baik segera tidur."     

Aleandra mengangguk, Max mengambil handuk dan setelah itu Aleandra sudah berada di dalam gendongannya. Dia menunggu Aleandra pulang sampai dia tertidur, padahal dia tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya.     

Seperti yang biasa dia lakukan, tubuh Aleandra dikeringkan, baju pun dipakaikan. Aleandra tersenyum saat Maximus menyisirkan rambutnya sampai rapi dan setelah itu Max menggendongnya dan mendudukkannya ke atas ranjang.     

"Katakan apa yang kalian lakukan sampai kau pulang semalam ini?" Maximus sedang memijat kaki Aleandra saat itu.     

"Kami makan bersama," ucap Aleandra.     

"Hm, lalu?" Max masih memijat kakinya, Aleandra terlihat senang.     

"Kami menemani Alesya memilih gaun. Kami bahkan menghabiskan waktu di toko pakaian itu begitu lama dan setelah kami makan malam, kami pergi menonton. Dua hari lagi kami akan pergi bersama, kau akan mengijinkan aku pergi lagi, bukan?" tanya Aleandra. Dia harap Max mengijinkannya.     

"Tentu saja tapi jangan pulang selarut ini lagi," Maximus mencium dahinya, dia tidak akan melarang apalagi Aleandra pergi dengan kedua sepupunya.     

"Thanks, Max," Aleandra terlihat senang, tatapan matanya tidak lepas dari wajah kekasih tampannya.     

"Bagaimana, kakimu sudah tidak pegal lagi, bukan?"     

"Dari mana kau tahu jika kakiku sedang pegal?" tanya Aleandra heran.     

"Kakimu terantuk dinding lemari beberapa kali tadi."     

"Menyebalkan!" Aleandra memukul bahunya, sedangkan Maximus terkekeh.     

"Jadi, apa kau tidak membeli apa pun?" tanya Maximus, dia sudah selesai memijat dan sekarang dia sudah duduk di sisi Aleandra.     

"Sesungguhnya aku tidak mau tapi mereka memaksa aku membeli sebuah gaun jadi aku menggunakan kartu yang kau berikan untuk membayarnya. kau tidak akan marah, bukan?"     

"Bodoh!" Maximus memberikan sentilan di dahi Aleandra. Gadis itu berteriak dan memegangi dahinya, "Aku sudah katakan kau bisa membeli apa pun yang kau mau dengan kartu itu jadi kau tidak perlu ragu dan sungkan."     

"Aku hanya tidak enak hati, Max. Kau sudah membelikan aku begitu banyak barang bahkan masih banyak yang belum sempat aku kenakan tapi aku sudah membeli lagi. Aku takut kau akan menganggap aku serakah dan hanya bisa menghabiskan uangmu sedangkan aku tidak punya penghasilan sama sekali."     

"Pikiran bodoh macam apa itu? Kau kekasihku jadi kau adalah tanggung jawabku. Memanjakan dirimu adalah tugasku, aku tidak akan marah bahkan aku tidak keberatan sama sekali jika kau membeli satu lemari lagi dan mengisinya sampai penuh," ucap Maximus.     

"Apa itu artinya aku bisa menyingkirkan lemari spesialmu itu?" tanya Alendra bercanda.     

"Aku memang berencana menyingkirkannya," ucap Maximus.     

"Benarkah?" Aleandra melirik ke arahnya dan memandanginya dengan tatapan tidak percaya.     

"Yeah, aku akan menggantinya dengan yang lebih besar agar kita sering-sering bercinta di dalam sana," ucap Maximus tanpa ragu.     

"What? Hei, kenapa kau jadi kecanduan?" protes Aleandra seraya memukul bahunya.     

Maximus terkekeh, dia akan melakukannya nanti. Wajah Aleandra memerah, percintaan gila mereka di dalam lemari jadi teringat. Aleandra segera berbaring dan pura-pura merajuk.     

"Aku tidak mau melakukannya lagi di dalam lemari, bagaimana jika lemarinya roboh?" ucapnya.     

Max berbaring di sisinya dan memeluknya, "Aku hanya bercanda," ucapnya.     

Aleandra memutar tubuhnya sehingga mereka saling berhadapan, senyum menghiasi wajah, dia bahagia bersama dengan Maximus tapi tiba-tiba saja wajahnya terlihat murung karena dia jadi teringat dengan Fedrick yang berada di tangan musuh.     

"Kenapa kau jadi sedih?" tanya Maximus seraya mengusap wajahnya.     

"Aku mengkhawatirkan Fedrick dan kedua orangtuanya, Max," Aleandra menunduk, entah apa yang terjadi dengan mereka, dia harap mereka baik-baik saja.     

"Sudah aku katakan, tidak perlu khawatir. Kita pasti akan menyelamatkan mereka nanti. Fedrick pasti akan bekerja sama dengan musuh untuk menyelamatkan kedua orangtuanya. Yang aku khawatirkan justru dirimu, aku takut kau jatuh ke dalam jebakan yang dibuat oleh musuh untuk menangkapmu jadi sebaiknya kau semakin waspada. Mereka pasti akan melemparkan umpan yang mereka punya, bisa jadi itu Fedrick dan bisa jadi itu kedua orangtuanya atau bisa jadi yang lainnya jadi berjanjilah padaku jangan bertindak gegabah."     

"Aku berjanji, Max," Aleandra memeluknya erat.     

"Jika begitu tidurlah, kau pasti lelah, bukan?" dagu Aleandra diangkat, Maximus memberikan kecupan lembut di bibirnya. Mereka berdua saling pandang dengan senyum di wajah dan setelah itu mereka kembali berciuman.     

Semoga saja apa yang Max katakan benar, apa pun keputusan Fedrick dan apa pun yang Fedrick lakukan nanti, dia tahu Fedrick melakukannya karena terdesak. Dia harap kedua orangtua Fedrick selalu sehat, semua itu gara-gara dirinya. Seandainya dia tidak mengenal mereka, maka mereka tidak akan mengalami hal seperti itu.     

"Semuanya akan baik-baik saja, oke?" Max mengusap kepalanya dan mencium dahinya untuk menghibur dirinya     

Aleandra mengangguk, yeah... semoga semua baik-baik saja. Matanya sudah terpejam, rasa kantuk sudah menyerang apalagi Max mengusap kepalanya tanpa henti. Aleandra tertidur dalam pelukan Max, sedangkan Maximus masih terjaga. Sesungguhnya dia juga khawatir keadaan Fedrick yang berada di tangan musuh. Dia berkata demikian untuk menghibur Aleandra saja.     

Dia harap musuh segera datang karena dia sudah sangat ingin mengakhiri semua itu. Dia juga berharap rencana yang dia buat untuk menyatukan dua kubu musuh berjalan lancar agar sekali tepuk, dua lalat mati dan memang, malam itu pesawat yang membawa Antonio sudah tiba di bandara.     

Pria itu datang untuk menemui Oliver, mencari tahu apa yang dia inginkan dan setelah itu dia akan memantau situasi dan membuat rencana. Umpan pun dia bawa serta, kedatangannya tidak boleh sia-sia karena dia harus datang ke negara lain hanya untuk menangkap buronannya.     

Anak buahnya menyambut kedatangannya, Antonio melangkah menuju mobil yang sudah disediakan sedangkan anak buahnya membawa umpan ke mobil yang satunya lagi. Ponsel sudah berada di tangan saat dia sudah berada di dalam mobil, dia harus mengabari kakaknya jika dia sudah tiba di kota itu.     

"Aku sudah tiba," ucap Antonio saat sang kakak sudah menjawab panggilan darinya.     

"Bagus, jangan gegabah. Jangan pula terlalu percaya dengan wanita bernama Oliver itu. Bagaimanapun kau harus menganggap orang yang mencurigakan sebagai musuh sehingga kau tidak terjerumus!"     

"Aku tahu, Roberto. Musuh dari musuhku adalah temanku, aku akan selalu mengingat nasehat yang selalu ayah kita berikan."     

"Aku senang mendengarnya, setelah kau mendapatkan informasi akan pria itu maka katakan padaku karena aku akan segera ke sana bersama yang lain. Kau harus ingat, kau harus menyiapkan sebuah markas agar kita memiliki tempat untuk menjalankan rencana.     

"Aku tahu apa yang harus aku lakukan!"     

Antonio memandangi kota yang asing baginya, sepertinya bekerja sama dengan Oliver memang harus dia lakukan selain dia bisa mengenal musuh, dia juga bisa tahu tempat itu. Besok dia akan pergi menemui Oliver dan dia harap wanita itu tidak mengecewakan dirinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.