Hi's Like, Idiot But Psiko

Tidak Punya Pilihan Lain



Tidak Punya Pilihan Lain

0Aleandra terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Setelah sekian lama, ini pertama kalinya dia memimpikan kakaknya dengan begitu jelas. Dia melihat Adrian dalam keadaan tidak berdaya, kedua matanya tidak ada, dia juga tidak bisa mendengar. Tidak itu saja, Andrian seperti tidak bisa berbicara.     

Sekeras apa pun dia mencoba memanggil kakaknya, Adrian tidak bisa mendengarnya. Walau itu hanya mimpi tapi firasatnya buruk akan hal itu. Semenjak malam naas yang mereka alami, dia tidak tahu lagi bagaimana keadaan kakaknya. Fedrick memang berkata Andrian menghilang seperti dirinya tapi dia yakin kakaknya berada di tangan musuh.     

Aleandra tidak bergeming di atas ranjang, ingatan malam naas yang mereka alami teringat. Sungguh sampai sekarang dia belum bisa percaya jika itu menjadi malam terakhirnya bersama dengan kedua orangtuanya. Aleandra memeluk bantal, rasa rindu pada kedua orangtuanya memenuhi hati. Mereka dimakamkan atau tidak, sungguh dia tidak tahu.     

"Aleandra," Maximus naik ke atas ranjang dan mengusap lengannya, dia baru saja keluar dari kamar mandi dan sangat heran mendapati Aleandra menatap keluar jendela dengan tatapan kosong.     

"Ada apa? Kenapa kau terlihat tidak bersemangat?"     

"Perasaanku tidak nyaman, Max," ucap Aleandra.     

"Ada apa? Apa kau sedang datang bulan?"     

Aleandra menggeleng, bantal kembali dipeluk dengan erat. Rasanya jadi ingin menangis, dia tahu keadaan kakaknya tidak sedang baik-baik saja di luar sana. Dia beruntung bisa bertemu dengan muda mudi yang sedang camping di tengah hutan dan menemukan mobil mereka, jika tidak? Dia yakin dia pasti sudah tertangkap apalagi anjing pelacak yang dilepaskan oleh musuh sudah mendapatkan dirinya.     

"Lalu kenapa? Jika sakit kau harus mengatakannya padaku!" Max memperlakukannya dengan lembut. Aleandra belum pernah seperti ini saat bangun dari tidur kecuali saat mimpi buruk yang dia alami waktu itu.     

"Aku rindu kedua orangtuaku, Max. Aku juga mengkhawatirkan keadaan kakakku. Entah apa yang dia alami setelah malam itu, aku yakin dia pasti mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Seharusnya aku menghubungi polisi saat aku bersembunyi, seharusnya aku melakukan hal itu karena aku punya kesempatan tapi aku justru mengendap di tangga untuk melihat apa yang terjadi pada keluargaku. Seharusnya aku melakukannya dan sekarang, aku hidup nyaman dalam pelarianku tapi bagaimana dengan kakakku?" air mata Aleandra mengalir, dia bisa melakukannya tapi kenapa tidak dia lakukan?     

"Kau tidak menghubungi polisi pasti karena kau sedang panik saat itu, Aleandra. Jangan menyalahkan diri, semua yang kau alami juga tidak terduga, bukan?"     

"Aku sangat mengkhawatirkan keadaan kakakku, Max. Malam itu aku melihat dia sedang diancam, aku juga mendengar teriakannya. Entah apa yang telah terjadi dengannya aku sudah tidak tahu karena aku sibuk melarikan diri. Nasibnya tidak sebaik nasibku yang bisa melarikan diri ke tempat ini karena aku tahu dia berada di tangan musuh saat ini."     

"Kau berkata seperti ini, apa kau baru saja memimpikan kakakmu?"     

Aleandra mengangguk sambil mengusap air matanya, Max berbaring di sisinya untuk memeluknya. Dia tahu Aleandra pasti sangat merindukan keluarganya apalagi dia tahu jika kakaknya masih hidup.     

"Aku melihatnya dalam keadaan tidak berdaya, Max. Matanya tidak ada, dia juga tidak bisa mendengar dan berbicara. Dari pada dia tersiksa seperti itu, bukankah lebih baik dia mati dalam satu kali tembakan saja?"     

"Tapi itu hanya penglihatan yang kau lihat dalam mimpimu saja, bukan?" Max mengusap kepalanya juga memberikan ciuman di dahi.     

"Firasatku buruk, Max. Entah kenapa aku merasa jika itulah yang sedang dialami oleh Adrian saat ini."     

"Jika memang itu yang didapatkan oleh kakakmu, kita sudah tidak bisa melakukan apa pun lagi Aleandra selain membalas orang yang telah membuatnya menjadi seperti itu. Aku berjanji padamu, jika keadaan kakakmu seperti yang kau katakan maka aku akan menggantikan dirimu membalaskan apa yang kakakmu alami bahkan aku akan membalaskannya dua kali lipat dari apa yang telah dia alami. Mau pria atau wanita yang melakukannya, aku akan membalasnya lebih keji dari pada yang kakakmu terima!"     

"Kau terdengar menakutkan," ucap Aleandra seraya mengusap air matanya yang tersisa.     

"Seharusnya kau tahu, itulah aku. Aku memang bukan orang yang suka pandang bulu. Sekalipun musuhku wanita, aku tetap akan mengeksekusinya. Tidak saja aku, seluruh keluargaku juga akan melakukan hal yang sama!"     

"Bagaimana jika suatu hari nanti kita berselisih jalan dan menjadi musuh, Max? Apa kau juga akan mengeksekusi aku seperti kau mengeksekusi musuh-musuhmu?"     

"Tentu saja, aku tidak akan melepaskan dirimu. Aku akan mengikatmu di atas ranjang, memberikan hukuman untukmu sampai kau menyadari kesalahan yang kau lakukan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi!"     

"Terdengar menakutkan namun menyenangkan," ucap Alendra.     

Max terkekeh dan mencium dahinya, dia hanya bercanda soal itu. Dia melakukannya hanya untuk menghibur Aleandra. Semoga saja Aleandra tidak tenggelam dalam kesedihan saat dia pergi ke kantor.     

"Bagaimana perasaanmu sekarang? Jika kau masih seperti ini maka aku tidak akan meninggalkan dirimu."     

"Aku sudah lebih baik Max, terima kasih. Akhir-Akhir ini aku selalu mimpi buruk sehingga perasaan takut memenuhi hati. Jauh di lubuk hatiku, aku sangat berharap Andrian baik-baik saja tapi jika keadaannya seperti yang aku lihat di mimpiku, lebih baik dia terbunuh pada malam itu juga."     

Maximus diam, dia rasa apa yang Aleandra lihat di mimpi kemungkinan terjadi. Tidak ada yang mustahil jika sudah berada di tangan musuh. Dia tahu itu karena dia juga akan melakukan hal yang sama bahkan dia akan melakukan hal yang lebih keji.     

"Aku takut Fedrick juga mengalami seperti apa yang aku lihat," Aleandra menghela napas. Sekarang dia jadi mengkhawatirkan banyak hal. Kakaknya, Fedrick dan juga kedua orangtua Fedrick. Kapan semua itu akan berakhir? Jika mengingat apa yang Fedrick dan kedua orangtuanya alami, tidak hentinya dia menyalahkan diri atas apa yang telah mereka alami.     

"Jangan terlalu memikirkan semuanya, aku tahu kau mengkhawatirkan mereka tapi kau juga harus memikirkan keadaanmu. Memikirkan mereka saja tidak akan mengubah apa pun, sekalipun kau memikirkan mereka selama seharian kau tidak bisa menyelamatkan mereka tapi kau hanya menyiksa diri dan membuatmu sakit!"     

"Aku tahu!"     

"Jika begitu jangan terlalu dipikirkan, kita hanya bisa mengikuti apa yang akan terjadi. Jika memang keadaan kakakmu seperti itu, kita masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan dirinya walaupun nantinya dia akan hidup dalam keadaan cacat."     

"Apa itu lebih baik untuknya?"     

"Baik tidak baik kita tidak bisa mengubah apa pun."     

"Baiklah, kau benar," Aleandra berusaha tersenyum, lagi-lagi dia membuat Maximus khawatir.     

"Jika begitu tidurlah lagi, aku harus berangkat ke kantor," Maximus mencium pipinya dan setelah itu dia beranjak dari atas ranjang. Aleandra masih berbaring, tatapan matanya tidak lepas dari Max yang sedang memakai baju.     

Walau Maximus sudah menghiburnya, tapi perasaannya masih campur aduk tidak menentu. Pikirannya kembali melayang, tidak saja memikirkan keadaan Adrian, namun dia juga memikirkan keadaan Fedrick yang jadi terlibat permasalahan yang sedang dia alami. Apa yang sedang terjadi dengan Fedrick saat ini?     

Saat itu, seperti tawanan lainnya. Fedrick dicambuk oleh anak buah Antonio karena pria itu menolak melakukan apa yang diperintahkan oleh Roberto. Fedrick berteriak memaki, dia ingin melihat keadaan kedua orangtuanya tapi Roberto tidak mempertemukan mereka.     

"Mana kedua orangtuaku?" teriak Fedrick dan setelah itu, teriakannya terdengar saat tali cambuk memecuti tubuhnya.     

"Siapa yang memerintahkan kau untuk berteriak?!" Roberto kembali memerintahkan anak buahnya untuk mencambuk Fedrick.     

"Sial, semuanya tidak ada hubungannya dengan kami jadi lepaskan kami terutama kedua orangtuaku!"     

"Ternyata kau belum mengerti situasi. Lepaskan dan bawa!" perintah Roberto.     

Dua anak buahnya segera bergerak melepaskan rantai yang membelenggu tangan Fedrick. Dia ditarik paksa karena kedua kakinya masih terikat rantai yang diberi dua bola besi sebagai pemberat. Hal itu dilakukan agar Fedrick tidak bisa melarikan diri.     

Dia dibawa menuju sebuah ruangan di mana kedua oangtuanya berada. Fedrick terkejut melihat ayah dan ibunya sudah duduk di atas kursi listrik yang dia duduki saat itu. Mereka terhalang oleh sebuah kaca yang tebal sehingga mereka tidak bisa mendengar teriakan satu sama lain.     

"Mom, Dad!" Fedrick berteriak dengan keras, dia hendak mendekati kaca namun dia ditahan.     

Kedua orangtuanya terlihat lemah dan tidak berdaya, mereka bahkan tidak tahu kehadiran Fedrick karena kedua orangtuanya sedang menunduk.     

"Mom, Dad!" Fedrick kembali berteriak namun sia-sia. Hatinya sakit, dia tidak sanggup melihat keadaan kedua orangtuanya.     

"Apa yang kau lakukan pada mereka?" teriak Fedrick marah.     

"Aku belum melakukan apa pun bahkan kursi listrik itu belum dinyalakan!" Roberto berdiri di hadapan Fedrick dan mencengkeram dagunya dengan erat. Fedrick menatap pria itu dengan tatapan penuh kebencian, rasanya ingin memukul pria itu namun dia tidak berdaya karena kedua tangannya di borgol ke belakang.     

"Lepaskan mereka!" ucapnya.     

"Sudah aku katakan, mereka akan hidup jika kau mau melakukan apa yang aku perintahkan jadi sebaiknya kau bekerja sama denganku!" ucap Roberto.     

"Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah melakukan apa yang kau inginkan dan mencelakai Aleandra!"     

"Hng, spertinya kau akan setuju setelah melihat mereka menikmati aliran listrik yang ada di kursi itu!"     

"Tidak! Jangan pernah melakukan hal itu!" teriak Fedrick.     

"Jadi? Kau tahu apa yang harus kau lakukan jika tidak ingin mereka merasakan sengatan listrik yang akan menyiksa bahkan bisa membunuh mereka, bukan?"     

Fedrick menunduk, sial. Dia sungguh tidak berdaya dan tidak punya pilihan. Antara Aleandra dan kedua orangtuanya, dia hanya bisa memilih kedua orangtuanya.     

"Bagaimana?!" teriak Antonio, "Apa kau sudah mengambil keputusan?" teriaknya lagi.     

"Akan aku lakukan, tapi kau harus berjanji untuk tidak mencelakai kedua orangtuaku!" ucap Fedrick.     

"Bagus, jika kau berhasil maka aku akan melepaskan kalian bertiga!" Roberto menyeringai. Apa dia akan melepaskan mereka bertiga? Jelas saja tidak, mereka tetap akan mati apalagi mereka sudah melihat rupanya dan Antonio.     

Fedrick dibawa kembali ke dalam ruangan, dia akan dibawa pergi setelah ini. Fedrick hanya bisa meminta maaf pada Aleandra karena dia tidak punya pilihan lain. Rasa ingin tahunya justru mencelakai kedua orangtuanya dan sekarang, dia hanya bisa mengikuti permintaan pria itu jika ingin kedua orangtuanya selamat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.