Hi's Like, Idiot But Psiko

Jangan Mengulanginya Lagi



Jangan Mengulanginya Lagi

Maximus membawa Alendra kembali ke rumah dan memanggil dokter pribadinya untuk melihat keadaan Aleandra. Jarum infus sudah berada di tangan, cairan itu diperlukan karena Aleandra dehidrasi sehingga kekurangan cairan.     

Terdapat banyak luka di kedua telapak kakinya sehingga plester hampir menutupi seluruh telapak kakinya. Keadaannya juga masih lemas, dia bahkan belum juga sadarkan diri.     

Maximus berdiri di sisi ranjang, dia sedang berbicara dengan Jared yang masih mencari keberadaan Adrian. Walau sudah menyelusuri cctv, pemuda itu hilang entah ke mana. Max menduga jika Aleandra hanya salah lihat saja, mungkin dia sedang memikirkan keadaan kakaknya sehingga dia berhalusinasi saat melihat seseorang yang sedikit mirip dengan Adrian. Akan dia tanyakan nanti setelah Aleandra sadar.     

"Bagaimana, Jared. Apa kau masih belum menemukan keberadaannya?"     

"Kami sudah menyelusuri sebuah bangunan tua di mana kemungkinan dia berada namun tidak ada apa pun di tempat ini," jawab Jared.     

"Katakan padaku bagaimana Aleandra bisa melihat kakaknya?"     

"Seseorang menabrak mobil secara tiba-tiba dan setelah itu Nona Aleandra berteriak memanggil kakaknya dan mengejarnya. Itu yang dikatakan oleh supirnya!"     

Max duduk di sisi ranjang dan berpikir. Yang dilihat oleh Aleandra bisa jadi kakaknya, bisa jadi bukan. Dia yakin para musuh itu ingin melihat kekuatan yang dia miliki sebab itu mereka melepaskan umpan dan bisa saja umpan sudah mereka tangkap kembali karena jika pria itu benar-benar Adrian dia pasti akan kebingungan di kota yang asing baginya.     

"Apa kami harus terus mencari, Master?" tanya Jared. Jika mereka diharuskan terus mencari maka mereka akan mencari keberadaan kakak Aleandra     

"Tidak, kembalilah. Besok kalian bisa melanjutkannya!" perintah Maximus.     

"Yes, Master!" Jared memerintahkan para anak buahnya untuk kembali.     

Max melihat ke arah Aleandra yang belum sadar. Napas berat dihembuskan, dia sangat ingin marah karena tindakan Aleandra yang gegabah karena dia langsung pergi mengejar tanpa pikir panjang. Bagaimana jika musuh menangkapnya? Situasi yang sedang dia alami sangat berbahaya, apa Aleandra tidak memikirkan situasi yang sedang dia alami?     

Sebaiknya dia mengecek rekaman cctv untuk melihat ke mana larinya Adrian, jika pria itu sudah ditangkap musuh kembali mungkin dia bisa melihat ke mana musuh membawanya pergi. Max keluar dari ruangan, dia tidak akan marah setelah Aleandra sadar nanti. Dia tahu kemarahannya akan memicu pertengkaran jadi sebisa mungkin dia akan menahan emosi untuk tidak marah.     

Dia mulai melakukan apa yang ingin dia lakukan di dalam ruangannya, sedangkan saat itu, Aleandra mulai tersadar dari pingsannya sambil memanggil nama kakaknya.     

"Adrian," Aleandra terlihat gelisah, "Jangan lari, aku akan menolongmu," ucapnya. Dia terlihat gelisah seperti sedang bermimpi buruk. Napasnya juga memburu, nama Adrian kembali di sebut dan tidak lama kemudian, Aleandra berteriak keras memanggil kakaknya.     

"Adrian!" teriaknya. Aleandra terduduk di atas ranjang dengan keringat mengalir di dahi. Dia bahkan terengah-engah. Mata Alaendra melihat sekelilingnya, kenapa dia ada di dalam kamar?     

"Adrian, aku harus menemukan dirimu!" jarum dicabut dan setelah itu Aleandra turun dari atas ranjang. Ringisan pelan terdengar karena telapak kakinya yang terasa sakit namun Aleandra tidak menghiraukannya.     

Suara pintu yang tertutup dengan keras membuat Maximus beranjak dari tempat duduknya. Max melangkah dengan cepat keluar dari ruangan, dia rasa Aleandra sudah sadar dan benar saja. Aleandra sedang melangkah menuju pintu keluar sambil memanggil kakaknya.     

"Tunggu aku, Adrian. Tunggu aku!" ucapnya.     

"Kau mau ke mana, Aleandra?" Max menghampirinya dengan cepat.     

Aleandra tidak menjawab, dia seperti tidak mendengar ucapan Maximus. Aleandra masih bergumam, Max meraih tangannya sehingga langkah Aleandra terhenti. Wajahnya terlihat lesu, tidak ada semangat dalam sorotan matanya.     

"Aleandra!" Max sedikit berteriak.     

"Adrian, aku harus mencari Adrian!"     

"Besok kita cari bersama, sekarang keadaanmu tidak memungkinkan."     

"Tidak, kau ingin mencari Adrian!" teriak Aleandra.     

"Aku tahu," Max meraih pinggangnya dan menggendongnya di atas bahu, "Tapi kita lakukan besok!" ucapnya seraya melangkah menuju kamar.     

"Lepaskan aku, Max! Aku harus pergi mencari Adrian!" teriak Aleandra sambil meronta. Max tidak mempedulikannya. Aleandra menendangkan kedua kaki, memukul bahu Maximus sambil berteriak agar Max melepaskan dirinya karena dia ingin mencari sang kakak tapi Maximus tetap membawanya menuju kamar. Aleandra sangat marah, bahu Maximus pun menjadi sasaran empuk atas kekesalan hatinya.     

Maximus diam saja, dia bahkan duduk di sisi ranjang dan memeluk Aleandra dengan erat. Rasa sakit di bahu dia abaikan karena Aleandra tidak melepaskan gigitannya. Dia tahu Aleandra membutuhkan hal itu jadi dia akan membiarkan Aleandra menumpahkan segala sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya sampai dia puas.     

Aleandra masih terus menggigit, Maximus mengusap rambutnya dan membelai punggungnya sesekali. Usapan dan belaian yang Maximus berikan membuat Aleandra menangis dengan keras, perasaan yang dia rasakan campur aduk sehingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.     

"Menangislah sampai perasaanmu menjadi lebih baik," ucap Maximus. Di saat seperti ini jika dia memarahi Aleandra maka dia akan memperkeruh suasana.     

"Aku melihatnya, Max. Aku sangat yakin jika dia adalah Adrian!" ucap Aleandra. Air mata masih mengalir, Max bisa merasakan hal itu karena air mata Aleandra membasahi bahunya.     

"Aku tahu, Aleandra. Tapi coba lihat keadaanmu saat ini, apa kau pikir kau bisa mencarinya dalam keadaan seperti ini? Kau mengejarnya tanpa pikir panjang, bagaimana jika dia bukan Adrian dan bagaimana jika kau berada di tangan musuh saat ini?"     

"Sudah aku katakan dia Adrian! Aku tidak mungkin salah, aku mengejarnya karena aku tidak mau kehilangan dirinya. Tidak, apalagi keadaannya sangat menyedihkan jadi biarkan aku pergi untuk mencarinya!" Aleandra mencoba mendorong tubuh Maximus tapi Max tidak melepaskan dirinya.     

"Lepaskan aku, Max!" pinta Aleandra sambil berteriak.     

"Tidak!" Max juga berteriak. Jika dia melepaskan Aleandra saat itu, dia tahu Aleandra akan pergi mencari keberadaan kakaknya tanpa memikirkan apa pun.     

"Dengarkan aku baik-baik, Aleandra. Dia adalah umpan yang dilepaskan musuh seharusnya kau tahu itu! Kau bilang ingin mencarinya? Sekarang aku bertanya padamu, ke mana kau akan mencari keberadaannya? Aku sudah mengutus Jared dan anak buahku untuk mencari keberadaannya tapi mereka tidak menemukan keberadaannya sama sekali. Apa kau pikir kau bisa menemukan dirinya di kota yang luas ini dalam keadaan gelap? Bagaimana jika dia sudah ditangkap oleh musuh lagi? Kita tidak tahu apa yang terjadi saat kau mengejarnya."     

"Lalu bagaimana?" Aleandra menghapus air matanya.     

"Dia sendirian di luar sana, keadaannya sangat memprihatinkan. Kau tahu aku harus menemukan dirinya dan menyelamatkannya."     

"Aku tahu kau mengkhawatirkan keadaan kakakmu, Aleandra. Aku sangat tahu itu. Aku juga tahu kau ingin menyelamatkan dirinya setelah sekian lama kau tidak melihatnya namun kau juga harus mempertimbangkan banyak hal. Keputusan yang kau ambil secara terburu-buru tidaklah baik. Keadaanmu juga sudah tidak memungkinkan. Sekarang yang kau perlukan adalah istirahat, jika keadaanmu sudah membaik kita bisa mencari bersama-sama besok. Kau mengerti?"     

Aleandra diam tapi tidak lama kemudian dia menggangguk. Maximus tersenyum dan mengusap kepalanya. Aleandra mengusap air matanya yang tersisa, dia harap Adrian bisa jaga diri di luar sana sampai mereka menemukan dirinya. Dia juga berharap Adrian tidak tertangkap lagi oleh musuh sehingga dia bisa menyelamatkan kakaknya itu.     

"Sekarang berbaringlah, kau harus istirahat."     

"Aku lapar, kakiku juga sakit."     

"Itu karena kau berjalan tanpa alas kaki selama berjam-jam. Kau terlalu memaksakan dirimu untuk mencari keberadaannya."     

"Yang aku pikirkan hanya ingin menemukan dirinya."     

"Aku tahu! Aku akan membuatkan makanan untukmu jadi berbaringlah!"     

Aleandra mengangguk, Max mencium pipinya dan mengusap wajahnya. Walau wajah Aleandra terlihat lesu, namun dia berusaha tersenyum.     

"Mafkan aku, Max. Lagi-Lagi aku membuat masalah dan membuatmu khawatir."     

"Tidak apa-apa, aku tidak akan marah. Aku tahu apa yang kau rasakan, kau sedang mengkhawatirkan keadaan kakakmu akhir-akhir ini tapi tiba-tiba saja kau melihatnya. Tentu kau tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu dan aku juga akan melakukan hal yang sama jika berada di posisimu tapi aku minta untuk selanjutnya kau tidak gegabah bertindak sendirian karena itu sangat berbahaya untukmu."     

"Aku mengejarnya karena aku?"     

"Aku tahu!" Max menyela ucapan Aleandra dan mencium pipinya, "Tidak perlu dibahas lagi tapi jangan mengulanginya lagi. Sekarang berbaring, aku akan mengambil makanan untukmu!"     

Tanpa menunggu jawaban dari Aleandra, Max beranjak sambil menggendong Aleandra. Dengan perlahan, Max membaringkan Aleandra ke atas ranjang.     

"Aku tinggal sebentar, Max mencium dahinya sebelum beranjak pergi. Aleandra tersenyum namun senyum itu sirna setelah Maximus menutup pintu. Tatapan matanya menerawang, rasa gelisah kembali memenuhi hati. Hanya Adrian saja yang dia miliki, tapi dia justru kehilangan dirinya padahal itu adalah kesempatan yang tidak boleh dia sia-siakan.     

"Maafkan aku, Adrian. Maafkan aku," Alendra menutupi wajahnya, air mata kembali mengalir. Dia bahkan menarik selimut dan bersembunyi di bawahnya untuk menangis. Dia membutuhkannya, apalagi perasaan takut yang dia rasakan beberapa hari belakangan memenuhi hatinya.     

Suara tangisannya terdengar saat Maximus masuk ke dalam membawakan makanan untuknya. Max menggeleng tapi dia sudah berjanji untuk sabar dan tidak marah. Seperti yang pernah Aleandra ucapkan, dia bukanlah robot.     

Makanan yang dia bawa diletakkan di atas meja, Max naik ke atas ranjang dan menyingkap selimut yang menutupi tubuh Aleandra. Air mata Aleandra yang mengalir diusap dengan perlahan, dia sungguh tidak suka tapi dia tahu setelah ini akan lebih banyak air mata yang akan ditumpahkan oleh Aleandra. Entah itu untuk kakaknya atau itu untuk Fedrick.     

"Kenapa masih menangis?" bisiknya sambil mengusap air matanya.     

"Aku takut, Max."     

"Jangan takut, aku akan selalu bersama denganmu. Apa pun yang kau hadapi nanti, aku akan selalu bersama denganmu. Ini baru permulaan yang mereka berikan tapi kau sudah seperti ini. Percayalah, kau akan mendapatkan kejutan lain selain kemunculan kakakmu."     

"Aku tahu karena Fedrick dan kedua orangtuanya berada di tangan mereka dan aku tahu, mereka tidak dalam keadaan baik."     

"Jika kau sudah tahu maka jangan pernah bertindak gegabah seperti yang kau lakukan hari ini karena keberuntungan tidak akan menghampirimu untuk kedua kalinya."     

Lagi-Lagi Aleandra hanya mengangguk, Max kembali mengusap air matanya dan memintanya untuk makan. Aleandra memang sudah sangat lapar, Max menyuapinya dengan sabar sampai makanan habis dan setelah itu mereka berbaring bersama. Kemunculan kakak Aleandra tanpa terduga, semoga besok Jared bisa menemukan dirinya karena dia rasa kakak Alendra masih berada di luar sana setelah dia melihat rekaman cctv di mana Aleandra mengejar kakaknya dan kehilangan jejaknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.