Hi's Like, Idiot But Psiko

Keadaan Adrian



Keadaan Adrian

0Setelah selesai, Maximus membawa Aleandra menyusul anak buahnya yang sudah pergi terlebih dahulu membawa Adrian. Semua senjata api yang Aleandra bawa sudah dilucuti dan dikembalikan pada Maximus. Sekarang dia terlihat begitu cemas karena yang dia pikirkan adalah keadaan kakaknya yang sudah dibawa ke rumah sakit.     

Dia tahu keadaan Adrian tidak baik-baik saja, dia menebak demikian karena Maximus tidak menjawab saat dia bertanya akan keadaan kakaknya. Maximus melakukan hal itu karena dia tidak mau Aleandra shock bahkan dia yakin Alendra akan pingsan setelah melihat keadaan kakaknya yang mengenaskan. Dia lebih suka Aleandra melihat secara langsung, dia juga tidak tega mengatakan keadaan Adrian secara langsung kepada Aleandra.     

"Kenapa kau tidak mau mengatakan padaku apa yang telah terjadi pada kakakku, Max?" tanya Aleandra, dia sungguh sangat ingin tahu.     

"Aku tidak bisa mengatakannya, Aleandra."     

"Kenapa? Aku sangat ingin tahu Max, jadi tolong katakan padaku," pinta Aleandra memohon. Dia sangat berharap Max mau memberitahu keadaan sang kakak.     

"Aku ingin kau melihat keadaannya secara langsung, jadi bersabarlah karena kau akan melihatnya nanti setelah kita tiba di rumah sakit.."     

"Apakah keadaannya begitu memprihatinkan, Max?"     

Max menarik Aleandra mendekat sehingga Aleandra bersandar di bahunya. Dia tahu pasti berat bagi Aleandra. Setelah sekian lama terpisah dengan sang kakak namun mereka harus dipertemukan dengan keadaan yang menyedihkan. Seperti yang sudah dia duga, Aleandra akan menghabiskan banyak air mata untuk kakaknya dan tentunya untuk Fedrick yang belum mereka ketahui bagaimana nasibnya saat itu.     

"Seperti yang kau tahu tapi semua akan baik-baik saja, Aleandra. Yang penting saat ini kakakmu sudah kita temukan dan dia masih hidup. Apa pun yang sudah dia alami setidaknya dia sudah kita temukan karena itu lebih baik dari pada dia berada di tangan musuh!"     

"Kau memang benar Max, aku sangat senang kita bisa menyelamatkan dirinya dari tangan musuh tapi sekarang katakan padaku apa yang terjadi dengan kakakku? Tolong jangan membuat aku penasaran seperti ini," Aleandra masih tetap ingin tahu.     

"Apa kau ingat mimpi yang kau lihat, Aleandra?"     

"Mi-Mimpi yang mana?" Aleandra mencoba mengingat.     

"Mimpi buruk yang kau alami waktu itu," Max meliriknya sedangkan Aleandra masih mencoba mengingat sampai akhirnya dia sadar yang dimaksud oleh Maximus.     

"Ti-Tidak mungkin!" ucapnya sambil menggeleng.     

"Yes, anggaplah mimpi yang kau alami saat itu telah menjadi nyata!"     

"Tidak mungkin, apa itu artinya?" Aleandra tidak sanggup melanjutkan ucapannya.     

"Yeah," Max mengusap kepala Aleandra dan kembali berkata, "Persiapkan dirimu untuk menghadapi kemungkinan yang terjadi," ucapnya.     

"Jangan menakuti aku, Max!" ekspresi wajahnya sudah terlihat ketakutan, dia harap Maximus hanya menakuti dirinya saja.     

"Aku tidak menakuti dirimu, aku serius dalam hal ini jadi sebaiknya kau mempersiapkan hatimu untuk menghadapi situasi yang terjadi karena bisa saja hal buruk akan terjadi pada kakakmu."     

Air mata Aleandra tumpah. Mendengar ucapan Maximus, dia tahu keadaan kakaknya tidak sedang baik-baik saja. Walau mereka bisa menyelamatkan kakaknya tapi sepertinya mereka terlambat. Dia jadi takut membayangkan kondisi kakaknya saat ini. Semoga saja apa yang saat ini dia bayangkan tidak terjadi. Seandainya waktu bisa diulang, dia akan mencari kakaknya sampai ketemu saat dia melihatnya agar kakaknya bisa dia selamatkan secepatnya tapi dia justru sakit sehingga dia tidak bisa langsung mengajak Maximus mencari keberadaan kakaknya tapi semua yang terjadi di luar kendali mereka.     

Anak buah Maximus tiba di rumah sakit terlebih dahulu, Max sudah memerintahkan dokter pribadinya untuk menangani Adrian. Kondisi pria itu tidak memungkinkan, dia sedang dalam keadaan kritis.     

Tim medis segera bergegas menangani Adrian, pemuda itu dibawa ke ruang gawat darurat untuk segera ditangani. Tidak saja lidah Adrian yang sudah tidak ada, wajahnya hancur akibat luka sayat yang diberikan oleh anak buah Antonio. Satu matanya sudah tidak ada lagi, bahkan satu daun telinganya pun sudah hilang entah ke mana.     

Di tubuhnya terdapat banyak luka cambukan, luka lama dan luka baru bertumpuk menjadi satu sehingga kulitnya hancur. Tubuh yang kurus kering membuat keadaannya semakin tidak memungkinkan. Dokter yang menanganinya saja sampai geleng kepala. Adrian bisa bertahan begitu lama sudah cukup luar biasa. Sepertinya tekad untuk hidup yang dia miliki membuatnya bertahan sampai sejauh itu.     

"A-Aleandla," Adrian menyebut nama adiknya begitu dia sadar. Akibat pangkal lidah yang sudah tidak ada, dia sedikit mengalami kesulitan untuk berbicara. Walau kurang jelas tapi masih dapat dipahami.     

"Aleandla, aku ingin beltemu dengannya," ucapnya lagi.     

Sang dokter dan perawat saling pandang, Adrian kembali meminta hal yang sama. Sang dokter segera meminta perawat itu untuk keluar mencari orang yang dipanggil oleh pemuda itu apalagi keadaan Adrian sudah sangat tidak memungkinkan.     

Max dan Aleandra sudah tiba, mereka melangkah dengan terburu-buru menuju ruangan di mana Adrian sedang menjalani perawatan. Aleandra semakin gelisah dan takut, firasat buruk pun semakin memenuhi hati. Dia jadi takut untuk bertemu dengan kakaknya, dia merasa lebih baik dia tidak melihatnya.     

Langkah Aleandra terhenti, Maximus berpaling dan menatap ke arahnya dengan tatapan heran. Max mendekati Aleandra yang tiba-tiba saja melangkah mundur.     

"Kenapa kau berhenti? Apa kau tidak mau melihat keadaan kakakmu?" tanyanya.     

"Aku takut melihat keadaannya, Max," Aleandra kembali memundurkan langkahnya.     

"Kau tidak perlu takut, Aleandra. Apa pun keadaannya, kau tidak bisa menghindarinya. Lebih baik kau menemuinya sekarang dari pada menyesal nantinya."     

Aleandra tidak menjawab, perkataan Maximus semakin membuatnya merasa takut. Max mendekatinya dan memegangi tangannya, dia rasa Aleandra harus segera menemui kakaknya karena dia juga memiliki firasat buruk jika Adrian sudah tidak bisa bertahan lama.     

"Percayalah padaku, kau akan menyesal jika kau tidak menemuinya sekarang!"     

"Ucapanmu semakin membuat aku takut, Max."     

"Aku tidak menakutimu, Aleandra. Aku hanya tidak ingin kau menyesal karena keputusanmu saat ini. Ayolah, kau harus bisa menghadapi kenyataan yang terjadi. Lagi pula kau tidak bisa menghindarinya."     

Aleandra mengangguk dan menghapus air matanya. Sesungguhnya dia tidak sanggup tapi apa yang Maximus katakan sangat benar. Jika dia tidak menemui kakaknya sekarang, apa dia punya kesempatan lain waktu? Dia tahu keadaan kakaknya tidak memungkinkan dari perkataan Maximus.     

"Ayo," Max meraih tangannya, dan mengajaknya kembali melangkah menuju ruangan di mana Adrian di rawat.     

"Aku tahu kau pasti takut melihat keadaan kakakmu tapi lakukan apa yang bisa kau lakukan sebelum terlambat."     

Aleandra hanya bisa mengangguk sambil menyeka air matanya yang mengalir.     

"Bukankah kau harus bersyukur kau masih diberi kesempatan untuk bertemu dengannya? Setelah kau melarikan diri sekian lama, kau juga menganggap jika dia sudah mati tapi hari ini kau masih bisa bertemu dengannya dan melihat rupanya walau pun rupanya sudah terlihat menyedihkan."     

Lagi-Lagi dan untuk kesekian kali, Aleandra mengangguk. Air mata masih terus mengalir, mereka melangkah semakin mendekati ruangan di mana Adrian berada bahkan mereka sudah berada di depan ruangan itu.     

"Rileks, jangan tunjukkan wajah seperti itu yang bisa membuat kakakmu sedih ketika dia melihat keadaanmu," ucap Max seraya mengangkat dagunya.     

Aleandra tersenyum, walau dengan air mata yang mengalir. Dia bahkan berusaha menyeka air matanya dan menyiapkan hati. Maximus menggenggam tangannya, pintu pun sudah akan dibuka. Aleandra menarik napas, langkah berat pun diambil.     

Seorang pria terbaring tidak berdaya, seluruh tubuh hampir dipenuhi perban. Aleandra sudah tidak bisa menahan air matanya lagi melihat keadaan kakaknya. Kaki terlihat kurus, seperti kulit dibalut tulang. Tidak saja kaki, kedua tangannya juga seperti itu.     

Aleandra semakin tidak sanggup melihat keadaan kakaknya di mana wajahnya hampir semuanya di perban. Jari-Jari tangan sudah tidak ada, jari-jari itu sudah dipotong saat malam mengenaskan yang mereka alami.     

Lutut Aleandra lemas, dia hampir tidak kuat melangkah lagi bahkan dia sudah menangis tersedu melihat keadaan kakaknya yang begitu menyedihkan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakaknya selama ini?     

"Adrian," Aleandra sudah berdiri di sisi kakaknya yang terlihat sedang tertidur. Keadaannya sangat lemah, hatinya semakin sakit melihat mata kanan kakaknya di tutupi oleh perban. Apa mata kakaknya buta sebelah?     

"Apa yang telah terjadi denganmu, Adrian?" Aleandra jatuh terduduk di kursi yang ada.     

"Seharusnya aku tidak melarikan diri ke kota ini, seharusnya aku mencari keberadaanmu saat itu agar kau tidak mengalami hal seperti ini!" ucapnya.     

"Aleandla,"Adrian memanggil namanya dan pada saat itu juga Aleandra menyadari jika lidah kakaknya sudah tidak ada.     

"Oh my God, apa yang telah mereka lakukan padamu?" Air matanya mengalir bagaikan keran bocor yang sulit dihentikan.     

"Apa itu kau, Aleandra," Adrian mencoba mengangkat tangannya untuk mencari sosok adiknya.     

"Yes... it's me," Aleandra meraih tangan kakaknya dan meletakkannya di pipi. Walau sudah tidak ada jari jemari lagi, tapi dia tidak mempermasalahkannya.     

Aleandra menangis tersedu-sedu, Maximus hanya berdiri diam si belakangnya. Dia tidak bisa melakukan apa pun kali ini, dia hanya bisa menjadi penonton saja bahkan dia merasa jika tidak seharusnya dia berada di sana mengganggu momen kebersamaan kakak adik itu yang mungkin akan menjadi terakhir kalinya bagi mereka.     

Maximus menunduk dan berbisik di telinga Aleandra, "Aku akan menunggu di luar," ucapnya.     

"Maaf, Max," Aleandra menghapus air matanya.     

"Tidak perlu minta maaf dan jangan pikirkan aku. Nikmati waktu kalian berdua sebisa mungkin. Cari aku di luar jika kau sudah selesai," ucap Maximus lagi. Dia bahkan menyeka air mata Aleandra yang masih mengalir.     

Mata Adrian tidak lepas dari Maximus dan bertanya dalam hati, siapa pria asing yang begitu dekat dengan adiknya itu? Dia rasa mereka memiliki hubungan spesial, semua bisa dilihat dari kedekatan mereka berdua.     

Maximus melangkah menuju pintu dan keluar dari ruangan itu, semoga saja Aleandra tidak terlalu tenggelam dalam kesedihan karena keadaan kakaknya tapi sayangnya tangisan Aleandra kembali pecah setelah Max pergi. Siapa yang sanggup melihat keadaan kakak kandungnya dalam keadaan mengenaskan seperti itu? Dia sungguh tidak menyangka, ternyata apa yang dialami oleh kakaknya lebih tragis dari apa yang dia alami selama ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.