Hi's Like, Idiot But Psiko

Kau Tidak Sendirian



Kau Tidak Sendirian

0Seorang dokter memeriksa keadaan Adrian untuk memastikan dia masih hidup atau tidak dan hasilnya pemuda itu memang sudah pergi. Aleandra berdiri di sisinya, tangannya bergerak ke wajah untuk menghapus air matanya yang masih mengalir.     

Dia tidak ingin beranjak dari sisi kakaknya karena ini akan jadi hari terakhirnya melihat rupa kakaknya. Maximus bahkan berdiri di sisinya dan merangkul bahunya. Kehilangan anggota keluarga memang menyedihkan, dia jadi teringat saat kakek dan nenek buyutnya pergi, saat itu mereka merasa kehilangan dan berduka begitu lama karena mereka harus kehilangan dua sosok yang mereka sayangi sebab itu dia tahu apa yang sedang dirasakan oleh Aleandra.     

"Apa ini benar-benar yang terbaik, Max?" tanya Aleandra. Walau dia ingin menahan air matanya tapi dia tidak kuasa melakukannya.     

"Kau bisa melihat sendiri, Aleandra. Dia pergi dengan damai. Kau juga bisa melihat seluruh luka yang ada di tubuhnya, mereka mengambil anggota tubuhnya satu persatu. Matanya, lidahnya dan kau bisa melihat satu daun telinganya juga sudah tidak ada!"     

"Tidak mungkin!" Aleandra mendekati jenazah kakaknya, dia mulai memeriksa keadaan telinga kakaknya. Benar yang dikatakan oleh Maximus, satu daun telinga kakaknya sudah tidak ada dan dia tidak menyadari hal itu.     

"Ya, Tuhan. Kenapa mereka begitu kejam?" Aleandra melangkah mundur, dan terlihat tidak percaya. Benar yang Maximus katakan, para penjahat itu melucuti anggota tubuh kakaknya satu persatu. Jika mereka tidak segera menolong kakaknya, entah anggota tubuh mana lagi yang akan mereka ambil. Dia tidak berani membayangkan bagaimana rasa sakit yang harus Adrian rasakan saat anggota tubuhnya diambil darinya.     

"Tidak ada penjahat yang tidak kejam di dunia ini, Aleandra. Ini pelajaran untukmu yang belum pernah berkecimpung di dalam dunia gelap. Jika kau berbelas kasihan pada musuh maka kau akan terbunuh dengan mudah. Jangan pernah termakan bujuk rayu dari musuh apalagi bujuk rayu dari sandera. Keadaan kakakmu yang seperti itu, harus kau jadikan pelajaran apalagi kau tahu Fedrick ada di tangan mereka. Aku ingin kau jadi cerdik, tidak gegabah dan berpikir sebelum mengambil tindakan. Kau paham?"     

Aleandra mengangguk, Maximus tersenyum dan mengusap air mata Aleandra yang tersisa. Dia sudah menangis begitu lama, dia rasa air matanya juga sudah kering. Dia juga merasa lelah karena setelah misi penyelamatan mereka belum beristirahat dan dia rasa Max juga sudah lelah. Sebaiknya dia tidak tidak egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri karena dia juga harus memikirkan keadaan Maximus.     

"Di mana aku harus memakamkan kakakku, Max. Aku tidak mungkin membawanya kembali ke Rusia, bukan?"     

"Tidak perlu khawatir," Maximus mengusap dahinya dan mencium wajahnya, "Besok kita akan memakamkan kakakmu di makam pribadi keluargaku. Kau tidak perlu memikirkan hal sepele ini. Aku akan memerintahkan Jared mempersiapkan semuanya jadi kau tidak perlu khawatir," ucapnya dan lagi-lagi sebuah ciuman mendarat di dahi Aleandra.     

"Thanks, Max. Aku beruntung memiliki dirimu. Jika tidak ada kau saat ini, apakah yang bisa aku lakukan?"     

"Hei, jangan berkata seperti itu. Sekarang kita pulang, sudah malam. Kau juga harus istirahat, jangan sampai kau kembali jatuh sakit!"     

"Kau benar," Aleandra mengangguk sambil tersenyum tapi mereka tidak langsung pergi karena Aleandra ingin mengucapkan kata perpisahan pada sang kakak. Dia juga ingin melihat wajah terakhir kakaknya karena besok dia tahu, kakaknya pasti sudah berada di peti mati.     

Alendra kembali berdiri di sisi kakaknya, tangannya berada di wajah Adrian yang sudah dingin dan memberikan usapan pelan. Walau berat, tapi dia berusaha tersenyum.     

"Aku harus pergi, Adrian," ucapnya dengan perasaan berat. Aleandra menarik napas beratnya dan setelah itu senyumannya kembali terukir di bibir.     

"Aku tahu ini akan menjadi terakhir kalinya aku melihat wajahmu, aku juga tahu jika kau sudah bersama dengan Mommy dan Daddy di surga sana. Kalian begitu tega meninggalkan aku sendiri," air mata yang dia tahan tumpah sudah, "Aku menyayangimu, Adrian. Bagiku kau adalah kakak terbaik yang aku miliki. Kau akan selalu berada di hatiku begitu juga dengan Mommy and Daddy. Aku tidak akan menyalahkan siapa pun untuk semua yang telah terjadi, tapi satu hal yang aku tahu, aku harus tetap berjuang untuk hidup," setelah berkata demikian, Aleandra menunduk dan mencium dahi kakaknya.     

"Selamat tinggal," ucapnya, "Aku akan merindukan dirimu," Aleandra kembali memberikan ciuman di dahi dan setelah itu dia melangkah mundur. Aleandra tersenyum tipis saat Maximus meraih tangannya dan menggenggamnya.     

"Apa maksudmu kau hanya sendirian? Apa kau tidak menganggap aku ada?" tanyanya.     

"Bukan begitu, Max. Kau kekasihku dan yang aku maksud adalah keluarga. Sekarang aku tidak memiliki keluarga lagi. Aku hanya memiliki mereka tapi sekarang mereka tidak ada lagi. Aku benar-benar sudah tidak memiliki siapa pun lagi, jika suatu hari hubungan kita kandas di tengah jalan, ke mana aku harus pergi? Ke mana aku harus kembali sedangkan mereka tidak bersamaku lagi?"     

"Bodoh!" Max menariknya mendekat dan mencium dahinya, "Aku tahu kau ceroboh, aku tahu kau selalu gagabah dalam mengambil tindakan tapi hubungan kita tidak mungkin kandas apalagi aku memegang teguh sumpah yang sudah aku ucapkan jadi jangan berpikir jika kau tidak memiliki siapa pun. Kau tidak sendirian, Aleandra. Kau bisa menganggap kedua orangtuaku sebagai kedua orangtuamu, kau juga bisa menganggap seluruh keluargaku sebagai keluargamu. Bukankah kita akan menikah nantinya? Pada saat itu kau akan menjadi bagianku, kau juga akan menyandang namaku jadi jangan berkata kau sendirian karena kau tidak sendirian dan jangan pula berkata kau tidak memiliki siapa pun karena aku akan selalu ada bersama denganmu."     

Aleandra tersenyum, benar. Dia sudah tidak sendirian lagi tapi kenapa dia masih menganggap jika dia sendirian? Bukankah sudah ada Maximus? Bukankah keluarganya begitu baik padanya selama ini?     

"Maafkan aku," Aleandra memeluknya erat, "Aku terlalu tenggelam dalam kesedihanku sehingga aku lupa jika ada dirimu yang selalu bersama denganku selama ini."     

"Tidak apa-apa, ayo pulang," ajak Maximus seraya mencium dahinya.     

Aleandra mengangguk, sebelum mereka keluar dari ruangan itu. Aleandra melihat kakaknya lagi. Berat, sudah pasti. Dia bahkan enggan beranjak. kakinya pun sulit dia gerakkan saat Max mengajaknya keluar dari ruangan itu.     

"Selamat jalan, Adrian. Sampai jumpa lagi," ucapnya dan setelah itu, Aleandra melangkahkan kakinya yang berat.     

Dia bahkan berpaling untuk melihat sang kakak sebelum keluar dari ruangan itu. Sungguh tidak ada yang suka berada dalam situasi seperti itu.     

"Hei, kau pasti bisa," ucap Maximus.     

"Uhm, aku hanya merasa berat untuk meninggalkan tempat ini."     

"Jika begitu," Maximus berjongkok di hadapan Aleandra dengan posisi membelakanginya, "Naik ke atas punggungku, aku yang akan membawamu keluar sehingga kau tidak merasa berat."     

Aleandra tersenyum dan setelah itu dia naik ke atas punggung Maximus tanpa ragu. Max menggendongnya pergi, sekarang Aleandra tidak akan merasa berat lagi pergi dari tempat itu. Senyum masih menghiasi wajah Aleandra, dia tidak peduli walau mereka menjadi pusat perhatian para perawat dan juga pasien rumah sakit.     

"Sudah tidak merasa berat lagi, bukan?" tanya Maximus.     

"Uhm, tapi aku rasa kau yang jadi merasa berat saat ini."     

Max terkekeh, Aleandra begitu kurus, bagaimana mungkin dia bisa merasa berat hanya menggendong tubuh kurusnya?     

"Aku ingin kita jalan-jalan di sisi jalan sebentar, Max. Kau tidak keberatan, bukan?"     

"Tentu saja!" Maximus menurunkan Aleandra dari gendongannya setelah merela berada di luar rumah sakit. Mereka berdua berjalan di sisi jalan menyelusuri jalanan yang ada di sekitar rumah sakit.     

"Aku sudah lama tidak melakukan hal ini," Aleandra memejamkan mata, menghirup udara malam yang dingin.     

"Dulu aku selalu melakukannya, berjalan di trotoar menuju halte bus, mampir ke toserba membelikan ayahku sekaleng meinuman yang dia sukai lalu saat malam, aku akan berbincang dengannya dan bermain catur di depan televisi. Jika musim dingin sudah tiba, kami berempat akan pergi ke sebuah cabin untuk menikmati waktu kebersamaan kami di sana tapi sekarang?" mata Aleandra terbuka, pandangannya jatuh pada langit malam yang indah dan kembali berkata, "Kami sudah tidak bisa melakukannya lagi!"     

Maximus tidak berkata apa-apa, kehilangan sang kakak pasti membuat Aleandra bernostalgia akan apa yang pernah dia lalui bersama dengan keluarganya.     

"Ayahku pengacara biasa, dia suka membela yang lemah karena rasa kemanusiaan tapi kenapa karena kasus terakhir yang dia tangani membuat kami jadi seperti ini? Dia tidak mungkin membela orang yang salah, dia juga tidak mungkin menjebloskan orang yang tidak bersalah ke dalam penjara tapi kenapa?"     

"Pertanyaannya bukan kenapa, Aleandra," Maximus mendekatinya dan memeluknya.     

"Yang ayahmu lakukan tidak salah, yang dia lakukan sangat benar. Membela yang lemah memang harus dilakukan tapi sayangnya ayahmu tidak tahu siapa yang dia hadapi. Ayahmu juga tidak ingin semua yang kalian alami terjadi, dia juga tidak menyangka jika kalian akan mengalami kejadian buruk seperti itu. Kau harus bangga karena kau memiliki seorang ayah yang mau berjuang untuk orang lain."     

"Yeah, aku selalu bangga dengannya. Dari dulu sampai sekarang, aku selalu bangga dengannya. Aku tidak menyalahkan ayahku atas apa yang terjadi, semua pekerjaan memang memiliki risiko, aku hanya tidak menduga kami akan mengalami kejadian ini."     

"Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Aleandra," Maximus menggenggam tangannya, mereka kembali melangkah menyelusuri trotoar jalan.     

Aleandra tidak bersuara, kenangan-kenangan bersama keluarganya teringat dan kenangan itu akan selalu berada di dalam hatinya.     

"Jika aku sudah balas dendam, aku ingin pulang sebentar untuk mengambil barang-barang milikku. Mungkin saja masih ada di rumahku," ucapnya.     

"Kau bisa melakukannya nanti."     

Aleandra tersenyum, udara malam yang cukup dingin membuatnya merapat ke tubuh Maximus. Max memeluk pinggangnya agar Aleandra merasa hangat, Mereka masih berjalan untuk menuju halte bus, Max bahkan menghubungi Jared dan memintanya menunggu di sana. Mereka melangkah dengan perlahan karena mereka ingin menikmati kebersamaan mereka. Lagi pula mereka belum pernah melakukan hal seperti itu dan setelah tiba, Maximus mengajak Aleandra untuk pulang karena mereka butuh istirahat apalagi besok pagi mereka harus berada di makam untuk memakamkan Adrian.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.