Hi's Like, Idiot But Psiko

Menyelamatkan Ibu Fedrick



Menyelamatkan Ibu Fedrick

0Sebelum Austin mengaktifkan bom dan sebelum ledakan terjadi, Marline dan Michael sudah masuk ke dalam markas untuk mencari sandera. Siapa pun yang ada di dalam harus mereka selamatkan. Bangunan yang cukup luas tidak menyurutkan niat mereka untuk menyelamatkan sandera.     

Michael memerintahkan anak buahnya untuk berpencar, malam ini mereka sudah seperti para petugas yang sibuk menyelamatkan sandera. Mereka menyisir setiap ruangan yang ada di bangunan itu namun mereka belum juga menemukan sandera yang mereka cari. Mereka terus bergerak dan pada saat itu, bom yang ada di bawah kursi yang diduduki oleh ibu Fedrick diaktifkan oleh Austin.     

Angka di bom mulai bergerak mundur, sedangkan Michael dan Marline terus mencari. Tidak ada siapa pun di dalam ruangan itu, anak buah Austin bahkan tidak terlihat karena mereka semua memang menyambut kedatangan musuh di luar.     

"Clear!" terdengar teriakan anak buahnya saat memeriksa keadaan satu ruangan dan tidak mendapati apa pun.     

"Terus maju!" perintah Michael.     

Mereka bergerak maju, menghampiri ruangan yang ada. Saat itu angka di bom sudah menunjukkan angka tujuh, mereka hanya punya waktu tujuh menit untuk menemukan sandera dan menjinakkan bom. Para anak buah kembali memeriksa ruangan demi ruangan sampai akhirnya mereka menemukan keberadaan sandera berada di ruangan yang paling akhir. Tentu saja itu sengaja Austin lakukan agar mereka sibuk mencari sandera dan itulah yang terjadi.     

"Sir, sandera ada di sini!" teriak anak buahnya.     

Marline dan Michael saling pandang, mereka segera menuju ruangan di mana anak buahnya sudah berkumpul. Seorang wanita tua sudah terlihat lemah dan tidak berdaya, kedua anak buahnya hendak mengangkat tubuh ibu Fedrick tapi Michael mencegah dengan terburu-buru.     

"Jangan sentuh dia!"     

Kedua anak buahnya menghentikan niat mereka, Michael menghampiri sandera dengan cepat sambil menyimpan pistolnya. Marline mengikutinya dari belakang, dia sangat heran Michael mencegah anak buahnya yang hendak menyelamatkan sandera.     

"Kenapa, Mich? Bukankah kita harus segera menyelamatkan dirinya?" tanya Marline.     

"Jangan gegabah, Marline. Kita tidak tahu apa yang ada di kursi yang dia duduki!" Michael sudah berjongkok di dekat ibu Fedrick. Matanya fokus seperti mencari sesuatu, kedua tangannya juga meraba kursi untuk mencari sesuatu dan benar saja, sebuah benda padat berada di bawah kursi bahkan dia mengintip untuk melihat benda itu.     

"Shit!" umpatannya terdengar saat melihat sebuah bom dan angka di bom sudah menunjukkan angka empat.     

"Ada apa?" tanya Marline.     

"Ada bom!"     

"What?" Marline terkejut.     

Michael beranjak dan melangkah di sisi sandera, dia yakin semua tidak semudah yang terlihat. Musuh pasti menyiapkan perangkap sehingga saat sandera mereka lepaskan atau angkat dari tempat duduk itu, bom pasti akan langsung meledak. Dugaannya pasti tidak salah, jika tidak mana mungkin bom itu bisa berada dibawah kursi.     

"Jika begitu kita harus segera menyelamatkannya, Mich," ucap Marline karena dia tidak mengerti dengan benda berbahaya itu.     

"Jangan buru-buru, ini jebakan. Aku menebak saat sandera diangkat dari tempat duduk ini, bom akan langsung meledak walau angka di bom belum mencapai waktunya."     

"Oh, sial. Bagaimana ini?" Marline terlihat khawatir. Sungguh dia tidak berkutik kali ini karena dia tidak paham.     

Michael masih terus mencari, waktu empat menit tidaklah banyak bahkan waktu yang dia miliki sudah tidak banyak lagi. Musuh putranya benar-benar cerdik, musuh tahu apa saja keahlian yang mereka miliki namun dia harus bisa menemukan benda yang menghubungi bom yang ada di bawah kursi itu.     

"Buka bajunya, Marline!" perintah Michael karena dia curiga apa yang dia cari berada di balik baju sandera.     

Tanpa membuang waktu, Marline melepaskan baju yang digunakan oleh ibu Fedrick. Benar saja apa yang diduga oleh Michael, sebuah alat yang terhubung dengan bom itu menempel di tubuh bagian belakang sandera. Michael mengambil sebuah pisau kecil yang selalu dia bawa, benda berbentuk persegi itu dibuka. Rangkaian kabel warna warni yang ada di dalam benda itu terlihat. Beberapa kabel dari benda itu tersambung dengan bom aktif yang ada di bawah sana. Kabel-Kabel itu tidak terlihat karena tertutup oleh baju dan jika tidak teliti, maka mereka akan masuk jebakan yang dibuat oleh musuh. Jika dia ingin menyelamatkan sandera maka dia harus bisa memotong salah satu kabel itu tapi jika dia salah memotong maka mereka semua akan mati.     

Angka di bom sudah tinggal satu setengah menit lagi, detakan jarumnya yang terus berputar semakin terdengar nyaring. Marline bahkan menelan ludah, jantung berdebar dengan cepat. Michael masih mencari sesuatu dari balik kabel-kabel itu, dua kabel tipis berwarna emas dia dapatkan. Dia harus memotong salah satu kabel itu agar sandera bisa diangkat dan setelah itu menjinakkan bom yang sudah mau meledak.     

Setelah yakin, Michael memotong salah satu kabel tipis yang dia temukan. Mata Marline tidak berkedip, semua menahan napas karena bom itu bisa meledak kapan saja namun tidak ada reaksi setelah kabel terpotong.     

"Segera bawa!" perintah Michael karena dia merasa sudah aman.     

Anak buahnya bergerak cepat mengangkat tubuh ibu Fedrick dan membawanya pergi, sedangkan Michael membalikkan kursi di mana bom akan meledak dalam waktu tiga puluh detik lagi saja.     

Michael beranjak dan meraih tangan istrinya, "Lari!" teriaknya.     

Para anak buahnya berlari keluar, sudah tidak punya waktu lagi untuk menjinakkan bom. Bukannya tidak mau dan tidak bisa, dia memang ingin meledakkan tempat itu jadi lebih baik mereka segera lari.     

Mereka tidak lari menuju pintu di mana mereka masuk karena waktu yang sudah tidak banyak. Salah satu anak buahnya menembakkan bazoka ke dinding sehingga dinding bangunan itu hancur karena itu adalah jalan pintas untuk mereka keluar. Ledakan itu tidak didengar oleh Austin karena lokasinya dan markas lumayan jauh apalagi dia sedang sibuk melawan Jared.     

Michael dan yang lain segera keluar dari markas musuh dan tidak lama kemudian, ledakan dahsyat terjadi menghancurkan bangunan itu. Gelombang ledakan yang dahsyat menghempaskan tubuh mereka sehingga mereka jatuh ke atas tanah. Michael tidak melepaskan tangan istrinya bahkan sampai mereka terhempas di atas tanah bersama.     

Beruntungnya tanah disekitar markas tidak keras dan berbatu, walau begitu tetap saja terasa sakit. Marline terengah-engah, matanya menatap langit malam yang gelap tertutup asap karena asap hitam dari ledakan itu membumbung tinggi.     

"Setelah ini aku mau minta cucu!" ucapnya sambil mengatur napasnya.     

"Apa kau baik-baik saja, Marline?" tanya Michael.     

"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Mich?"     

"Aku butuh istirahat sebentar," Michael melirik ke arah istrinya sejenak.     

"Jika begitu kita berbaring sebentar, anggap kita sedang melihat kembang api."     

"Kau benar, setelah ini kita memang harus minta cucu yang banyak!"     

Marline tersenyum, benar. Mereka hanya punya Max saja maka mereka harus punya cucu yang banyak. Mereka masih berbaring untuk beristirahat sampai anak buah menghampiri mereka untuk melihat keadaan mereka.     

Di dalam hutan, Austin masih tertawa terbahak karena dia sangat yakin jika musuhnya sudah mati ikut meledak. Walau mereka tidak terkecoh dengan trik yang telah dia siapkan tapi mereka pasti tidak punya waktu untuk menjinakkan bom yang hanya memiliki waktu sedikit saja. Walau dia tertangkap tapi dia merasa puas. Dia harap Oliver bisa menang dari pertempuran yang dia hadapi namun sayang, dia tidak tahu Oliver sudah tertangkap.     

Jared masih berlari mendekati markas yang masih terbakar dan hancur berantakan. Para anak buah yang terkena ledakan mulai meninggalkan tempat. Walau mereka mendapat luka akibat ledakan, tapi luka yang mereka dapat tidak terlalu parah. Tubuh mereka membentur pohon, ada juga yang membentur benda lain yang ada di sekitar markas namun luka yang mereka dapat tidak mencelakai mereka.     

Mata Jared melihat sana sini dan ketika melihat kedua orangtua bosnya dalam keadaan baik-baik saja, Jared terlihat sangat lega. Marline dan Michael meninggalkan tempat musuh sambil berpegangan tangan, Jared menghampiri mereka karena dia hendak memberi laporan.     

"Aku sudah mendapatkan pemimpinnya, Sir," ucap Jared.     

"Bagus, perintahkan pada yang lain untuk membawanya ke markas dan sandera itu bawa ke rumah sakit. Kau pergilah ke tempat Max, dan bantu dia!" perintah Michael.     

"Yes, Sir!" Jared berlalu pergi, sedangkan Michael mengambil ponsel karena dia ingin menghubungi putranya. Earphone yang dia gunakan sudah terpental entah ke mana saat mereka terpental akibat ledakan.     

"Max, kami sudah selesai dan mendapatkan sandera," ucap ayahnya.     

"Roger!" jawab Maximus singkat.     

"Berhati-hatilah, musuh memiliki perangkap," ucap ayahnya.     

"Aku tahu! Siapa yang Daddy temukan?" tanya Max. Dia harus memastikan siapa yang sudah ayahnya selamatkan.     

"Seorang wanita tua. Seperti yang yang Uncle-mu temukan, di sini tidak jauh berbeda. Sebuah bom berada di tubuh sandera jadi kemungkinan mereka menggunakan trik yang sama jadi berhati-hatilah."     

"Terima kasih atas nasehat Daddy," ucap Maximus. Saat itu mereka memang belum bergerak karena mereka baru tiba di lokasi di mana Antonio berada. Mereka berhenti agak jauh, mereka sedang memantau situasi.     

Earphone dilepaskan setelah berbicara dengan ayahnya, Maximus mendekati Aleandra yang sedang mengecek peluru pistolnya. Keadaannya sudah lebih baik walau rasa sakit akibat tusukan besi di perutnya masih terasa.     

"Kedua orangtua Fedrick sudah diamankan," ucap Maximus.     

"Aku senang mendengarnya, jadi kita hanya perlu menyelamatkan Fedrick saja."     

"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" sesungguhnya dia mengkhawatirkan keadaan Aleandra. Walau dia terlihat baik-baik saja, tapi dia bisa melihat Aleandra sedang menahan rasa sakit di perutnya.     

"Aku baik-baik saja!" Aleandra menyimpan senjata api di pinggang dan juga sebilah pisau yang mungkin saja dia butuhkan. Dia juga menyimpan peluru yang bisa dia gunakan kapan saja saat pelurunya habis.     

"Baiklah, jika begitu ayo kita bergerak. Kita selamatkan Fedrick dan selesaikan semua ini!"     

Aleandra mengangguk, dua pistol yang dia simpan di kap mobil diambil. Dia sudah tidak sabar membalas kematian keluarganya dan menyelamatkan Fedrick. Kali ini mereka memang harus menyelesaikannya, dia tidak akan lari dan bersembunyi lagi. Dia akan melawan orang yang sudah menghabisi keluarganya.     

Setelah senjata api diambil, mereka sudah siap menyergap. Para anak buah yang mengikuti Maximus masih mengintai lokasi musuh, musuh yang sudah menunggu sudah terlihat tidak sabar dan tentunya mereka akan disambut oleh perangkap yang dipasang oleh Antonio dan mereka juga akan dihadapi oleh dua sandera yang tidak terduga sehingga membuat Aleandra harus memilih nantinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.