Hi's Like, Idiot But Psiko

[Bonus chapter]Beri kami Cucu



[Bonus chapter]Beri kami Cucu

0Maximus kembali ke rumah sakit, dia harap dia bisa melihat keadaan Aleandra setelah dia kembali. Sesungguhnya dia enggan memberikan kesempatan pada Fedrick untuk menemui Aleandra tapi dia tahu pria itu tidak akan berhenti memohon. Dia menyetujuinya karena dia tidak ingin membuat keributan, lagi pula pria itu berjanji jika itu adalah terakhir kalinya dia bertemu dengan Aleandra maka tidak ada salahnya memberikan kesempatan terakhir pada pria itu.     

Dia juga menyetujuinya bukan tanpa alasan, dia tahu Aleandra pasti akan mencari Fedrick begitu dia sadar karena dia rela menahan sakit untuk menolong pria itu. Entah untuk apa Aleandra melakukan hal itu padahal Fedrick sudah berani menyerahkannya ke tangan musuh. Jika dia yang jadi Aleandra, dia tidak akan sudi menyelamatkan Fedrick lagi namun dia juga bisa mengerti kenapa Aleandra ingin menolong Fedrick.     

Dia juga memberikan kesempatan pada Fedrick untuk meminta maaf dan mengucapkan kata perpisahan untuk terakhir kalinya pada Aleandra. Dia melakukan semua itu untuk Aleandra karena dia tidak mau Aleandra marah atau sedih di saat kondisinya yang terluka. Lagi pula Fedrick berkata kedua orangtuanya ingin bertemu dengan Aleandra, sebab itu dia memang harus memberikan kesempatan.     

Jared membawa Fedrick menemui kedua orangtuanya sesuai dengan perintah. Walau kedua orangtua Fedrick dan Aleandra dirawat di rumah sakit yang sama namun Maximus kembali sendirian. Dia tidak mau banyak berbasa basi dengan Fedrick karena dia merasa tidaklah penting, sejujurnya dia sangat membenci pria itu. Jika bukan demi Aleandra, sudah dia bunuh pria pembawa masalah itu tanpa ragu.     

Fedrick dibawa menuju sebuah ruangan di mana ayah dan ibunya dirawat. Ayah dan ibunya dirawat dalam ruangan yang sama. Mereka bahkan sudah sadar namun keadaan mereka masih lemah. Mereka tidak tahu di mana mereka berada saat ini, mereka bahkan tidak tahu bagaimana dengan keadaan Fedrick. Saat sadar, mereka terkejut akan keberadaan mereka dan tampak lingung.     

Yang mereka ingat mereka ditangkap oleh sekelompok orang saat putranya kembali dari Amerika, mereka juga ingat mereka disekap dalam sebuah ruangan yang asing. Ibu Fedrick melihat sana sini, begitu juga dengan ayah Fedrick. Mereka tahu jika mereka berada di rumah sakit tapi mereka merasa sangat asing dengan rumah sakit itu.     

Selagi mereka kebingungan, Fedrick masuk ke dalam ruangan itu. Ibunya tampak senang begitu juga dengan ayahnya. Fedrick juga terlihat lega melihat keadaan kedua orangtuanya yang baik-baik saja. Semula dia sangat takut salah satu dari mereka celaka tapi setelah melihat keadaan mereka, dia benar-benar lega.     

"Fedrick," ibunya segera duduk di atas ranjang, sekujur tubuh terasa sakit. Mereka benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Mereka bahkan tidak tahu jika mereka dibawa dari Rusia ke Amerika menggunakan peti kemas agar mereka seperti barang seludupan. Karena Roberto mendaratkan pesawatnya tidak di bandara International jadi semua barang seludupan yang dibawa oleh Roberto lolos dari para petugas.     

"Bagaimana dengan keadaan kalian, Mom?" Fedrick menghampiri ibunya dengan terburu-buru. Demi apa pun, dia tidak bisa kehilangan mereka akibat kecerobohan yang dia lakukan.     

"Tentu saja baik, tapi di mana kita sekarang?" tanya ibunya ingin tahu.     

"Kita di Amerika, Mom."     

"Apa?" kedua orangtuanya terkejut. Mereka pun saling pandang, bagaimana mungkin mereka bisa berada di Amerika? Bukankah mereka berada di Rusia saat mereka di tangkap?     

"Lalu kenapa kami bisa di rumah sakit?" tanya ayahnya. Mereka benar-benar tidak bisa mengingat apa pun, itu semua karena obat bius dosis tinggi yang di suntikan oleh anak buah Roberto ke tubuh mereka.     

"Setelah kita tertangkap, mereka mengancam aku dan membawa kita ke sini," ucap Fedrick.     

"Untuk apa kita di bawa ke Amerika, Fedrick? Apa mereka membawa kita ke sini untuk sebuah alasan?" tanya ibunya. Hal itu sangat membingungkan mereka, mereka bahkan tidak tahu apa yang telah Fedrick lakukan selama mereka tidak sadarkan diri.     

"Yeah, para penjahat yang menghabisi keluarga Aleandra sengaja membawa kita ke sini untuk menjadikan kita sandera agar mereka bisa menangkap Aleandra. Aku sungguh tidak berdaya sehingga aku harus mengikuti perkataan mereka agar kalian tidak celaka. Aku sangat bersyukur kalian berdua baik-baik saja."     

"Lalu bagaimana kita bisa berada di sini?"     

"Pria itu, dia yang menolong kita."     

"Lalu di mana Alendra, Fedrick. Apa dia baik-baik saja?" tanya ibunya. Rasa cemas memenuhi hati.     

"Kenapa kita bisa dijadikan sandera, Fedrick?" tanya ayahnya.     

"Semua salahku, tidak seharusnya aku pergi ke Amerika untuk membawanya kembali. Aku justru dimanfaatkan oleh orang yang menghabisi keluarganya agar aku membawanya kembali dan bersyukurnya dia tidak mau kembali denganku jika tidak?" Fedrick mengusap wajah. Maximus berkata gara-gara dirinya Aleandra berada di ambang kematian. Dia sungguh ingin melihat keadaan Aleandra namun Maximus berkata Jared akan menjemputnya saat Aleandra sudah bisa ditemui.     

"Jadi kau dimanfaatkan?" tanya ibunya.     

"Aku tidak tahu, Mom. Jika aku tahu aku tidak akan mau dimanfaatkan apalagi yang bisa mencelakai Aleandra. Aku Benar-benar ingin mencari keberadaannya tapi aku justru dimanfaatkan."     

"Sekarang katakan padaku, di mana Aleandra? Apa dia tidak mau menemui kita karena marah padamu?"     

Fedrick tidak menjawab, dia duduk di sisi ibunya dan terlihat frustasi. Kedua orangtuanya sangat heran, sesungguhnya apa yang telah terjadi dengan Aleandra?     

"Sudah malam, sebaiknya kita beristirahat. Aku rasa besok kita bisa melihat keadaannya," ucap Fedrick karena saat itu memang sudah malam.     

Saat itu, Maximus sudah berada di ruangan di mana Aleandra akan menjalani perawatan. Kedua orangtuanya sudah berada dia dalam ruangan itu menunggunya kembali. Aleandra berbaring di atas ranjang dan terlihat tidak berdaya.     

"Bagaimana dengan keadaannya, Mom?" Maximus menghampiri Aleandra dan berdiri di sisinya.     

"Keadaannya sudah baik-baik saja, walau sempat kritis namun semua sudah berlalu. Dokter bilang mungkin dia akan sadar besok pagi karena obat bius jadi sebaiknya kau beristirahat, Max."     

"Terima kasih, Mom. Kalian juga butuh istirahat jadi pulanglah."     

"Kami akan datang besok pagi," Marline menghampirinya dan memberikan ciuman di dahi putranya, "Tidak perlu terlalu khawatir, dia sudah baik-baik saja," ucapnya lagi.     

"Thanks, Mom. Tolong bawakan baju bersih untukku dan juga sarapan. Tolong sampaikan terima kasihku pada Uncle karena dia sudah membantu."     

"Daddy yang akan menyampaikannya nanti," ucap ayahnya.     

"Terima kasih kalian sudah bersedia membantu."     

"Hei, kenapa bicara seperti itu? Kau putra kami, tidak seharusnya kau berbicara seperti itu. Memang sudah seharusnya kami membantumu namun setelah ini kau harus mengabulkan permintaan kami."     

"Apa yang kalian inginkan?" tanya Maximus curiga.     

"Kami ingin punya cucu, jadi kau harus memberikan kami cucu yang banyak!" ucap ibunya.     

"Yeah, yang banyak agar keturunanku banyak," ucap Michael.     

"Hanya itu saja yang kalian inginkan?" tanya Maximus memastikan. Tanpa diminta pun dia akan memberikan ayah dan ibunya cucu yang banyak.     

"Segera nikahi dia setelah semua sudah selesai!" ucap ibunya lagi.     

Maximus melihat ke arah Aleandra dan tersenyum, memang itu yang akan mereka lakukan. Mereka memang berencana menikah setelah permasalahan yang dialami oleh Aleandra selesai dan memang semua sudah selesai. Tinggal menunggu keadaan Aleandra pulih dan mengeksekusi para musuh yang sudah dia tangkap. Setelah semua itu, mereka akan melangsungkan acara pernikahan.     

"Kenapa kau diam saja, jangan katakan kau tidak mau menikah dengannya," ucap ibunya.     

"Tentu saja aku mau, Mom. Itu memang rencana kami, kami akan menikah setelah semua permasalahan selesai. Tidak ada alasan untuk menundanya jadi kami akan segera melangsungkan pernikahan setelah keadaan Aleandra pulih."     

"Bagus, Mommy sangat senang mendengarnya," Marline tersenyum, dia sudah tidak sabar menggendong cucu. Semoga dia mendapat cucu kembar, dia sangat menginginkannya.     

"Apa besok kau mau pergi ke markas, Boy?" tanya ayahnya.     

"Entahlah, Dad. Aku harus melihat keadaan Aleandra terlebih dahulu."     

"Baiklah, katakan pada Daddy jika kau perlu bantuan Daddy untuk memberikan mereka pelajaran," ucap ayahnya.     

"Hng, sepertinya para buaya itu akan berpesta!" ucap ibunya pula.     

"Biarkan mereka kenyang, itu bagus untuk kesehatan mereka."     

"Dan bagus untuk kulit mereka agar bisa Mommy gunakan untuk membuat tas!"     

"Marline!" Michael menggeleng, kenapa istrinya mengincar kulit para buaya itu sejak dulu? Jika para buaya itu tahu, mereka pasti akan ketakutan.     

"Aku hanya bercanda saja," ucap Marline sambil terkekeh.     

"Baiklah, sudah malam. Sebaiknya kita pulang, Maximus juga harus istirahat," ucap Michael.     

"Kami akan datang besok," Marline kembali memeluk putranya.     

"Aku sangat berterima kasih," Max juga memeluk ibunya.     

Marline tersenyum, dia sangat senang keadaan putranya sudah baik-baik saja. Semula mereka dia memang terlihat kacau tapi keadaannya sudah membaik dan sudah kembali seperti semula.     

"Jangan lupa, beri kami cucu," bisiknya.     

"Pasti, aku berjanji tidak akan menundanya lagi.     

"Jika begitu kami akan pulang" Marline melepaskan pelukannya.     

Maximus mengantar kedua orangtuanya sampai di depan pintu dan setelah itu dia berjalan mendekati Aleandra. Max berdiri di sisi Aleandra dan memandangi wajahnya. Tangannya sudah berada di pipi Aleandra dan mengusapnya perlahan.     

"Semoga besok kau segera sadar," ucapnya. Maximus menunduk dan mencium dahi Aleandra.     

Wajah pucatnya sudah tidak ada lagi, walau Aleandra belum sadar tapi keadaannya sudah jauh lebih baik. Maximus duduk di sisi Aleandra, tangannya di genggam erat. Tidak saja di genggam, Maximus memberikan ciuman di punggung tangannya.     

"Aku tidak akan melibatkan dirimu dalam bahaya lagi karena aku tidak mau kau melakukan perbuatan bodoh untuk kedua kalinya. Aku tidak mau kau menerima bahaya lagi menggantikan diriku setelah ini," ucapnya sambil mencium punggung tangan Maximus.     

Max memandangi wajah Aleandra kembali, senyum tipis menghiasi bibir. Benar yang ayahnya katakan, Aleandra sangat berarti baginya. Dia tidak akan membuat Aleandra dalam bahaya lagi, dia bersumpah akan hal itu. Max beranjak dan berbaring di atas ranjang yang ada di dekat ranjang Aleandra, malam melelahkan tapi hasil sesuai yang mereka inginkan walau ada kejadian yang tidak mereka inginkan namun luka dalam berperang adalah hal lumrah. Dia harap keadaan Aleandra segera pulih karena dia sudah tidak sabar memberikan pelajaran pada para musuh yang sudah menjadi penghuni markas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.