Hi's Like, Idiot But Psiko

Aku Merindukanmu



Aku Merindukanmu

0Marline dan Michael sudah datang ke rumah sakit untuk membawakan apa yang putranya inginkan. Mereka membawakan baju bersih dan sarapan untuk putranya. Maximus pasti akan berada di rumah sakit sampai Aleandra pulih. Mereka juga akan sering-sering datang agar putra mereka bisa beristirahat. Tidak saja datang ke rumah sakit, mereka juga berniat mendatangi markas karena ada yang hendak mereka lakukan.     

Saat mereka datang, Aleandra belum sadar. Mereka mendapati Maximus duduk di sisi Aleandra dan terlihat termenung. Entah apa yang Max pikirkan yang pasti mereka belum pernah melihatnya seperti itu. Marline sungguh tidak suka melihat keadaan putranya seperti itu, sebab itulah dia mengajak suaminya pergi ke markas karena dia ingin melampiaskan amarahnya.     

Marline menghampiri putranya dan mengusap bahunya, Maximus melihat ibunya sekilas dan tersenyum. Marline juga tersenyum tipis, dia bisa melihat wajah kelelahan putranya. Bisa dia tebak jika Max tidak tidur dengan benar karena mengkhawatirkan keadaan Aleandra.     

"Pergilah berganti pakaian dan makan sarapannya selagi hangat," ucap Marline.     

"Thanks, Mom. Tolong jaga dia baik-baik," pinta Maximus seraya beranjak.     

"Tentu saja, kami akan memanggilmu jika dia sudah sadar."     

Maximus beranjak dan berlalu pergi sambil membawa baju bersih yang ibunya bawakan. Marline melangkah menuju sofa, di mana suaminya berada. Makanan yang dia bawa diletakkan di atas meja dan setelah itu Marline duduk di sisi suaminya.     

Tidak lama kemudian Maximus keluar dari kamar mandi setelah berganti pakaian, matanya melihat ke arah Aleandra sejenak sebelum dia menghampiri kedua orangtuanya dan duduk bersama dengan mereka.     

"Setelah ini kami akan pergi ke markas, Max," ucap ayahnya.     

"Dad, sudah aku katakan aku bisa menangani mereka."     

"Daddy tahu, Daddy pergi ke sana untuk mencari tahu karena kak Matthew berkata, wanita yang dia tangkap memiliki dendam padaku dan ibumu. Sebab itu aku harus mencari tahu kenapa dia memusuhi kami."     

"Apa wanita itu salah satu putri dari musuh kita, Mich?" tanya Marline.     

"Sudah jelas, bukan? Entah putri siapa sebab itu kita akan pergi mencari tahu," jawab Michael.     

"Ingat, Dad. Pembalasan adalah milikku karena aku ingin mengajak mereka bermain nantinya," ucap Maximus.     

"Daddy tahu, Daddy tidak akan menyentuh mereka," ucap Michael tapi entahlah dengan istrinya.     

"Sebaiknya makan dulu, Max. Kau belum makan dari semalam, bukan?" Marline mengambilkan makanan yang ada di atas meja dan memberikannya pada putranya.     

Sambil menikmati sarapan, Maximus berbincang dengan kedua orangtuanya. Dia ingin tahu siapa saja musuh mereka dulu sehingga ada keturunan dari musuh mereka yang ingin membalas dendam. Saat itu, Aleandra mulai sadar. Rasa sakit pertama kali yang dia rasakan sehingga suara ringisannya terdengar.     

Max meletakkan makanan yang belum habis dan segera bergegas menghampiri Aleandra begitu juga dengan ibunya.     

"Sakit," keluh Aleandra sambil meraba bagian sakit yang berada di perutnya.     

"Jangan diraba, Aleandra" Maximus berlari dan menahan tangan Aleandra.     

"Sakit, Max. Sakit," ucapnya.     

"Aku tahu tapi kau bisa membuat lukanya terbuka lagi!"     

"Mommy akan memanggil perawat," ucap ibunya seraya menekan tombol yang ada di sisi ranjang. Setelah obat bius habis pasti rasa sakit dari luka yang didapat akan terasa begitu menyakitkan.     

Aleandra berusaha untuk melihat luka di perutnya namun Maximus menahannya karena apa yang dilakukan oleh Aleandra hanya akan membuatnya merasa semakin kesakitan.     

"Sakit, Max. Aku tidak tahan!"     

"Sstts, aku akan meminta dokter memberikan obat penahan rasa sakit untukmu," Maximus mencium dahinya. Dia tidak sanggup melihat wajah kesakitan Aleandra dan tentunya dia akan membalas rasa sakit yang dirasakan oleh Aleandra.     

Aleandra menangis sambil menahan rasa sakit yang teramat sangat, sewaktu terkena besi tidak sesakit itu dan sekarang rasa sakitnya terasa begitu luar biasa. Dia bahkan bergerak gelisah, rasanya ingin menekan lukanya agar tidak begitu sakit namun Maximus memegangi kedua tangannya.     

"Sakit, Max!" tangisannya semakin menjadi. Maximus berusaha menenangkannya sambil mengusap air matanya.     

Seorang dokter dan perawat masuk ke dalam ruangan dengan terburu-buru, mereka bergegas menghampiri Aleandra untuk memberikannya obat penahan sakit. Setelah diberi obat, Aleandra sudah terlihat tenang karena dia merasa tidak terlalu sakit lagi namun rasa sakit itu akan kembali dia rasakan nanti setelah efek obat habis.     

Maximus mengusap dahinya yang berkeringat, mata Aleandra terpejam karena dia ingin istirahat sebentar. Napasnya bahkan terengah-engah, dia sudah banyak mengalami luka tapi yang kali ini benar-benar sakit.     

"Sudah tidak apa-apa, bukan?"     

"Uhm," jawab Aleandra sambil mengangguk.     

"Ingat akan hal ini, Aleandra. Lain kali kau tidak boleh menggantikan aku karena aku tidak senang dengan pengorbanan yang kau lakukan!" ucap Maximus dengan nada kesal.     

"Yang diucapkan oleh Maximus sangat benar, Aleandra. Kau seorang wanita, bagaimana mungkin kau berkorban seperti ini? Sekalipun Maximus adalah putraku dan aku juga tidak ingin dia terluka tapi pengorbanan yang kau lakukan ini tidak membuat kami senang!" ucap Marline.     

"Maafkan aku, Aunty. Aku tidak mau Maximus terluka karena hanya dia saja yang bisa menyelamatkan Fedrick."     

"Baiklah, tapi lain kali jangan melakukan hal itu lagi. Kau harus menjaga dirimu baik-baik dan jangan berkorban apa pun untuk Maximus!"     

"Kau dengar? Aku seorang pria dan aku tidak akan senang sama sekali kau berkorban untukku!"     

"Maaf," ucap Aleandra. Dia tidak bermaksud menyinggung perasaan Maximus karena waktu itu dia takut Max terluka sehingga tidak bisa menyelamatkan Fedrick.     

"Baiklah, bagaimana keadaanmu sekarang?" Maximus kembali mengusap dahi Aleandra.     

"Seperti yang kau lihat," ucap Aleandra.     

"Beristirahatlah, jika kau benar-benar sudah merasa lebih baik maka aku akan membawa Fedrick karena dia ingin bertemu denganmu."     

"Bagaimana dengan keadaannya, Max? Apa kau sudah bisa membedakan mana Fedrick asli dan mana yang palsu?"     

"Tentu saja, kau tidak perlu memikirkan hal itu."     

Aleandra tersenyum, energinya habis, dia merasa sangat lelah dan butuh istirahat lebih banyak. Marline tersenyum melihatnya, dia merasa semua sudah membaik.     

"Jika begitu kami akan pergi ke markas," ucap ayahnya seraya menghampiri mereka.     

"Benar, kami akan segera kembali setelah selesai. Apa ada yang kau inginkan, Aleandra?" tanya Marline.     

"Tidak ada, Aunty. Aku sedang tidak berselera makan."     

"Baiklah, beristirahatlah agar kau cepat pulih sehingga kalian bisa segera menikah dan memberikan kami cucu."     

Aleandra tersenyum, Marline dan Michael pamit pergi menuju markas. Maximus duduk di sisi Aleandra dan memegangi tangannya. Aleandra memandanginya sambil tersenyum.     

"Bagaimana dengan mereka, Max? Apa kau sudah membunuh mereka?" tanya Aleandra ingin tahu. Dia harap Maximus sudah membunuh Antonio karena dia takut pria itu terlepas dan kembali mengincar mereka.     

"Kau tidak perlu khawatir, mereka semua sudah berada di markas,"     

"Kau belum membunuhnya?"     

"Aku pasti akan membunuhnya Aleandra tapi aku tidak akan membunuhnya begitu saja. Aku bersumpah akan membuatnya mati dengan cara yang mengenaskan."     

"Apa kau yakin dia tidak akan melarikan diri, Max?"     

"Tentu saja tidak, tidak ada satu orang pun yang bisa melarikan diri dari markasku!"     

"Aku lega mendengarnya, aku hanya takut dia bisa melarikan diri sehingga menjadi ancaman baru untuk kita."     

"Tidak akan, saat dia akan menghadapi kematiannya aku akan membawamu ke sana dan melihatnya agar kau tidak takut lagi."     

"Terima kasih, Max. Aku sangat merindukan dirimu."     

"Aku juga, Aleandra," Maximus beranjak dan memberikan kecupan lembut di bibirnya.     

"Jangan tinggalkan aku karena aku tidak bisa tanpamu!" ucap Maximus seraya mencium bibir Aleandra kembali. Rasanya sudah lama tidak melakukan hal itu, mereka bahkan berciuman cukup lama.     

Aleandra tersenyum saat Maximus melepaskan bibirnya dan mendaratkan ciuman di pipinya.     

"Beristirahatlah sebentar, aku akan menemanimu."     

Aleandra mengangguk dan memejamkan mata, sudah selesai. Semoga kedua orangtua dan kakaknya pergi dengan damai walau tidak dipungkiri jika dia sangat merindukan mereka. Tanpa Aleandra sadari, air matanya mengalir. Tentu saja hal itu membuat Maximus terkejut dan segera mengusap air matanya dengan perlahan.     

"Ada apa? Apa kau merasakan sakit lagi?     

"Aku rindu dengan keluargaku, Max. Aku sangat ingin bertemu dengan mereka walau hanya dalam mimpi saja."     

"Aku akan mengajakmu kembali ke Rusia jika kau mau, Aleandra."     

"Apakah sudah tidak apa-apa?"     

"Tentu saja, aku sudah menangkap orang-orang yang menghabisi keluargamu maka tidak ada lagi yang akan mengincarmu. Aku rasa Antonio sudah mengerahkan semua anak buah yang dia miliki dalam pertarungan ini."     

"Kau benar, sesungguhnya aku enggan tapi aku harus pulang untuk memastikan apakah ayah dan ibuku di makamkan atau tidak karena bisa saja saat ini jasad mereka masih berada di kamar mayat."     

"Jika begitu kita akan ke Rusia untuk melihat keadaan kedua orangtuamu."     

Aleandra kembali mengangguk, tidak saja merindukan keluarganya tapi dia sangat merindukan rumahnya dan juga teman-temannya yang ada di sana. Saat dia kembali dia tidak akan mencari mereka, biarkan seperti ini. Mereka tidak perlu tahu keberadaan dirinya.     

Max meminta Aleandra untuk beristirahat, sedangkan dia akan menjaga Aleandra. Dia jadi ingin tahu, siapa sebenarnya musuh yang sangat menginginkan nyawanya selama ini dan yang menyimpan dendam pada kedua orangtuanya. Dia akan tahu saat dia pergi ke markas.     

Saat itu, Oliver terlihat tidak berdaya. Bajunya basah karena lagi-lagi dia di siram dengan air. Entah sudah berapa kali tapi hal itu dilakukan untuk menghilangkan bau yang ada di tubuhnya.     

Mereka berempat sudah tidak melakukan apa pun lagi. Usaha mereka melarikan diri sia-sia. Rantai yang mereka tarik sedari tadi tidak bisa mereka cabut dari dinding. Mereka bahkan berusaha membuka kunci gembok yang terpasang di rantai namun kunci itu harus dibuka menggunakan sebuah kode.     

Rasanya benar-benar melelahkan, apa pun yang mereka lakukan sia-sia. Walau mereka berteriak sekencang apa pun tidak ada yang mempedulikan mereka. Oliver jadi ingin tahu, apakah ayahnya juga berakhir di tempat itu? Apa ayahnya disiksa sampai mati di tempat itu?     

Sungguh dia sangat ingin tahu, jika memiliki kesempatan dia justru ingin bertemu dengan kedua orang yang telah membunuh ayahnya dan memang, dia akan bertemu dengan mereka sebentar lagi.     

"Aku akan membunuhmu Michael Smith dan kau Marline Miller!" teriaknya kencang. Oliver menangis dan kembali berteriak, dia sungguh tidak terima. Satu kali saja, dia butuh kesempatan satu kali untuk bertemu dengan orang yang sudah membunuh ayahnya dan membalas mereka namun hari ini yang akan membalasnya adalah Marline karena mereka sudah berani membuat putranya sedih dan juga membuat Aleandra terluka. Walau putranya berkata pembalasan adalah bagiannya namun tangannya sudah gatal dan rasanya dia sudah tidak sabar ingin memukul seseorang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.