Hi's Like, Idiot But Psiko

Semoga Dia Melihatnya



Semoga Dia Melihatnya

Maximus pergi dari markas saat hari sudah gelap. Dia tidak menyangka jika dia menghabiskan waktu seharian di markas untuk mengeksekusi sandera tapi dia benar-benar puas. Apa yang dia lakukan pada mereka benar-benar setimpal dengan perbuatan mereka. Mereka memang pantas mendapatkannya. Dia juga sudah menepati janjinya pada Aleandra untuk membalas kematian keluarganya pada orang yang sudah membunuh mereka. Dia akan mengatakan hal itu pada Aleandra nanti walau kedua pria itu belum mati.     

Untuk pertunjukan akhir, dia akan mengajak Aleandra pergi menyaksikan kematian Antonio tapi sebelum itu terjadi, biarkan para sandera itu mengalami rasa sakit luar biasa akibat siksaan yang mereka dapatkan.     

Sudah malam dia rasa ibunya sudah pulang, sebaiknya dia bergegas namun ibunya masih menemani Aleandra. Untuk mengisi hari mereka, Marline mengajari Aleandra membuat makanan kesukaan Maximus. Tentunya Aleandra sangat senang dan belajar dengan benar apalagi dia akan menjadi istri Max nantinya.     

Dia harus mulai belajar untuk menjadi istri yang baik bagi Maximus dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak mereka kelak. Rasanya tidak bisa dipercaya, padahal dia melarikan diri ke negara itu karena menemukan tiket milik orang lain tapi siapa yang menduga, pelarian yang dia lakukan justru merubah hidupnya. Dia juga tidak menduga jika ternyata jodohnya adalah orang jauh. Jika dia tidak datang ke tempat itu, bagaimana kira-kira mereka akan bertemu dan saling jatuh cinta? Jika dia tidak datang ke tempat itu mungkin mereka tidak akan pernah bertemu.     

Beberapa jenis makanan yang mereka buat sebagian disimpan di dalam kulkas dan sebagian sudah terhidang di atas meja karena Aleandra akan menikmatinya dengan Maximus nanti.     

"Sudah begitu larut, sebaiknya Aunty pulang. Aku sudah tidak apa-apa," ucap Aleandra. Dia jadi tidak enak hati apalagi ayah Max sudah menunggu sedari tadi.     

"Tidak apa-apa, Max sudah meminta aku menemanimu jadi aku akan berada di sini sampai dia pulang," ucap Marline.     

"Tidak apa-apa, Aunty. Aku sangat berterima kasih sudah ditemani dan diajarkan banyak hal oleh Aunty."     

"Apa yang kau katakan, kau akan menjadi menantuku nantinya. Kau pula yang akan menemani putraku sampai akhir hayatnya, bukan aku. Sebab itu aku menaruh harapan besar padamu. Aku memang wanita yang melahirkan dirinya tapi pada akhirnya yang akan menghabiskan waktu bersama dengannya adalah istrinya, bukan aku dan dia sudah memilih dirimu."     

"Sesungguhnya aku takut mengecewakan dirinya," ucap Aleandra sambil menunduk.     

"Percaya dirilah, dia tidak menuntut dirimu menjadi pasangan yang sempurna tapi dia hanya butuh kesetiaanmu saja. Jadilah dirimu sendiri, jika kau tidak ingin mengecewakan dirinya maka kau harus menjadi pasangan yang setia untuknya. Hanya itu yang Maximus butuhkan darimu."     

"Terima kasih atas nasehatnya, Aunty. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik sehingga tidak mengecewakan dirinya."     

"Bagus, aku senang mendengarnya," ucap Marline. Dia sangat senang putranya tidak salah memilih pasangan hidup. Aleandra juga tersenyum, ah... betapa beruntungnya dia bertemu dengan mereka. Dia tidak menyangka nasib baik menghampirinya di saat kejadian buruk dia alami. Dia bahkan tidak bisa melupakan pertemuan pertamanya dengan Maximus hingga dia di jebak di rumah itu.     

Di luar sana, Maximus sudah tiba. Sepertinya ibunya belum kembali, itu karena mobil ayahnya berada di luar. Maximus melangkah cepat, memasuki rumah. Ayahnya sedang berbaring di sofa saat dia masuk ke dalam. Maximus jadi merasa bersalah, seharusnya dia menghubungi ibunya tadi dan memintanya kembali agar tidak menunggunya lagi.     

"Dad," Max menghampiri ayahnya.     

"Oh, kau sudah kembali rupanya," Michael melihat ke arahnya dan segera duduk.     

"Kenapa tidak tidur di kamar saja?"     

"Untuk apa aku tidur di kamar? Aku tidak berniat menginap!" jawab ayahnya.     

"Mana Mommy?" Max melihat sana sini mencari keberadaan ibunya dan juga Aleandra.     

"Di dapur sejak tadi, kau tahu apa kesibukan wanita, bukan?"     

Maximus tekekeh, ayahnya pasti sudah sangat bosan. Marline keluar dari dapur saat mendengar suara putranya. Dia sangat senang putranya sudah kembali, sepertinya apa yang hendak dia lakukan sudah selesai.     

"Apa kau sudah memberikan mereka pelajaran, Max?" tanya ibunya yang berjalan menghampiri mereka.     

"Tentu saja, Mom. Aku sampai lupa waktu, maaf sudah membuat kalian menunggu lama," ucap Maximus.     

"Tidak apa-apa, kau pasti bersenang-senang sehingga lupa dengan waktu."     

Aleandra mengernyitkan dahi, bersenang-senang? Dia jadi ingin tahu apa yang dilakukan oleh Maximus hari ini dan ingin tahu bersenang-senang seperti apa yang mereka maksud?     

"Karena kau sudah kembali jadi kami mau pulang," ucap ibunya.     

"Terima kasih sudah menemani Aleandra, Mom," ucap Maximus seraya beranjak karena ayahnya sudah beranjak terlebih dahulu.     

"Tidak masalah, Mommy sedang mengajarinya menjadi istri dan menantu yang baik jadi tidak perlu berterima kasih. Besok bawa Aleandra ke rumah, ada sesuatu yang ingin aku berikan padanya," ucap Marline.     

"Baiklah, aku akan membawanya pulang."     

Mereka melangkah menuju pintu, mesin mobil sudah dinyalakan. Michael sudah berada di dalam mobil menunggu istrinya karena saat itu, Marline sedang memeluk Aleandra.     

"Jangan lupa untuk datang ke rumah besok," ucap Marline.     

"Pasti, terima kasih Aunty sudah menemaniku hari ini dan mengajari aku banyak hal," Aleandra memeluk calon ibu mertuanya dengan erat. Hari ini dia banyak mendapat pelajaran berharga dari calon ibu mertuanya.     

"Hei, jangan bicara seperti itu. Aku pulang dulu, sudah malam jadi segera beristirahat."     

"Terima kasih, Mom," Max memeluk ibunya seraya dan mencium pipinya.     

"Kau bau, sana segera mandi!" ucap ibunya dan setelah itu Marline melangkah menuju mobil.     

Maximus mengendus bau tubuhnya, sial. Yang dikatakan oleh ibunya sangat benar, tubuhnya bau amis dan tentunya itu bau amis darah. Marline melambai ke arah mereka sebelum mobil di jalankan.     

"Hati-Hati, Aunty," ucap Aleandra seraya melambai.     

Mereka masih berada di depan rumah sampai mobil yang dibawa oleh Michael keluar dari pekarangan. Aleandra mendekati Maximus karena dia ingin tahu di tubuh pria itu ada bau apa.     

"Memangnya kau bau apa?" tanyanya sambil mengendus.     

"Kenapa? Kau tidak berpikir ada bau wanita lain di tubuhku, bukan?"     

"Hal itu bisa saja terjadi," Aleandra masih mengendus, dia bahkan sudah berdiri di depan Maximus dan berjinjit untuk mengendus bau tubuhnya.     

"Oh my God!" Aleandra menutup hidung, "Kenapa kau begitu bau amis? Apa kau baru saja dari pasar ikan?" tanyanya.     

Maximus terkekeh seraya mengusap kepalanya, "Bagaimana, apa kau mendapati bau wanita di tubuhku?" tanya Maximus.     

"Yes, baumu seperti bau penjual ikan!"     

Maximus kembali terkekeh, pinggang Aleandra diraih. Mereka masuk ke dalam karena udara malam yang dingin. Aleandra masih menutup hidungnya, darah yang menyiprat di bajunya tadi memang mengenai tubuhnya.     

"Apa yang kau lakukan hari ini, kenapa kau begitu amis?"     

"Aku mandi dulu, nanti kita bicara."     

"Baiklah, setelah itu kita makan malam bersama. Hari ini ibumu mengajari aku memasak jadi aku banyak membuatkan makanan kesukaanmu."     

"Wah, aku sudah tidak sabar mencicipinya," ucap Max. Walau hanya makanan tapi dia ingin Aleandra senang dengan hasil kerja kerasnya.     

"Baiklah, pergi mandi. Aku ingin kau keluar dalam keadaan wangi. Aku tunggu di dapur," Aleandra berjinjit dan memberikan kecupan di bibirnya.     

Maximus masuk ke dalam kamarnya. sedangkan Aleandra ke dapur untuk memanaskan makanan. Dia sangat ingin tahu apa saja yang dilakukan oleh Maximus hari ini. Max mandi sampai bersih agar bau amis darah tidak tercium lagi. Tapi mau sebersih apa pun dia mandi, kedua tangannya tetap saja berlumuran darah dan tidak bisa dibersihkan.     

Aleandra sudah selesai, dia memutuskan masuk ke dalam kamar dan mendapati Maximus sedang mengambil bajunya. Aleandra tersenyum dan memeluk Maximus dari belakang.     

"Kenapa begitu lama?"     

"Bukankah kau ingin aku mandi yang bersih?"     

"Apa perlu aku bantu?" tanya Aleandra basa basi. Entah kenapa dia jadi teringat pertama kali membuka pakaian Maximus dan memakaikannya lagi. Itu pertama kali dia melihat tubuh Maximus dan juga sosis Amerika.     

"Kenapa wajahmu memerah? Apa kau sakit? Apa lukamu sakit?" tanya Maximus.     

"Ti-Tidak," jawab Aleandra. Jangan sampai Maximus tahu apa yang dia pikirkan karena itu sangat memalukan.     

"Kemarilah, aku ingin melihat lukamu," Maxius meraih tangannya dan membawanya menuju sisi ranjang.     

"Lukaku sudah baik-baik saja, Max."     

"Aku ingin melihatnya!" Max mengambil obat setelah Aleandra duduk. Setelah mendapatkan obat, dia kembali ke sisi anjang dan duduk di hadapan Aleandra. Tanpa diminta, Aleandra menaikkan baju yang dia kenakan. Obat pun dioles, setidaknya sudah tidak begitu terasa sakit saat lukanya di sentuh.     

"Jadi, apa yang kau lakukan pada mereka?" tanya Aleandra ingin tahu.     

"Menyiksa mereka," jawab Maximus singkat.     

"Kau mencambuk mereka?" sungguh dia sangat ingin tahu.     

"Dengarkan Aku, Aleandra," Maximus meraih kedua tangannya dan menggenggamnya, "Aku sudah menggantikanmu balas dendam dan membalas kematian kakakmu. Apa yang kakakmu dapatkan sebelum kematiannya sudah aku balaskan. Orang yang membuatnya seperti itu sudah mendapatkan ganjaran yang setimpal dariku," ucapnya lagi.     

"Benarkah?" Aleandra menatapnya lekat.     

"Tentu saja, aku sudah bersumpah akan membalas apa yang kakakmu dapatkan maka aku pasti menepati sumpah yang aku ucapkan."     

"Terima kasih, Max," Aleandra memeluknya, "Aku sangat berterima kasih kau sudah membalaskan kematian kakakku. Semoga dia melihatnya dan bisa pergi dengan tenang."     

"Tidak saja kematian kakakmu, Aleandra. Kematian kedua orangtuamu juga sedang aku balaskan. Kau akan melihat kematian mereka nanti," Maximus memeluknya, Aleandra memejamkan matanya. Sesuatu yang ada di hati yang selama ini dia anggap sebagai dendam akhirnya mulai hilang walau belum secara keseluruhan. Dia rasa dendam itu akan hilang setelah dia menyaksikan kematian orang-orang yang menghancurkan keluarganya. Kebahagiaan keluarganya tiba-tiba hancur begitu saja tapi kini, Maximus sudah membantunya untuk membalaskan dendamnya.     

"Aku menantikannya, Max. Aku ingin melihat kematian mereka tapi sekarang lebih baik kita makan malam. Jangan sampai makanannya jadi dingin."     

"Baiklah, aku sudah tidak sabar mencicipi makanan yang dibuatkan oleh calon istriku."     

Aleandra tersenyum, calon istri? Terdengar menyenangkan. Dia semakin tidak sabar untuk segera menikah dengan Maximus. Mereka berdua keluar dari kamar dan pergi menuju dapur. Aleandra semakin senang saat Maximus memuji makanan yang dia buat. Dia semakin percaya diri dan akan terus berusaha agar dia menjadi istri yang ideal untuk Maximus nantinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.