Hi's Like, Idiot But Psiko

Kabar Gembira



Kabar Gembira

0Beberapa waktu telah berlalu, musim pun telah berganti. Salju pertama di bulan itu mulai gugur, udara yang biasanya hangat menjadi begitu dingin. Orang-Orang yang berada di luar sudah harus mengenakan pakaian hangat super tebal agar mereka merasa hangat.     

Aleandra berdiri di depan jendela sambil memandangi salju yang turun. Baju hangat pun dikencangkan. Sepertinya di musim dingin seperti ini, kotak ajaib Max sangat membantu untuk memberi kehangatan. Kedua telapak tangan pun digosok agar hangat, padahal dia berada di dalam rumah tapi hawa dingin begitu terasa.     

Rasanya ingin pergi menemui Maximus, tiba-tiba dia ingin makan tiram mentah. Tapi tunggu, dia tidak pernah makan tiram mentah sebelumnya, tapi kenapa tiba-tiba dia sangat ingin makan tiram mentah? Aneh, mungkin karena hawa yang dingin membuatnya teringat dengan laut sehingga membuatnya memikirkan makanan laut itu.     

Aleandra berjalan pergi, tiram mentah terbayang-bayang di kepalanya. Bentuk tiram tersebut, bentuk dagingnya. Sial, Aleandra bahkan meneguk ludah. Dia seperti merasakan dagingnya di dalam mulut tapi sesungguhnya dia tidak pernah makan tiram. Aneh, dari pada penasaran lebih baik dia mengajak Maximus pergi makan tiram saja.     

Tidak mau membuang waktu, Aleandra menukar pakaiannya dan menggunakan pakaian hangat yang lebih tebal. Syal pun dipakai di leher dan setelah itu dia pergi. Supir sudah tidak perlu lagi, sudah sekian lama tinggal di kota itu, sekarang dia sudah tahu jalan. Dia juga tidak menghubungi Maximus, jika Max sibuk maka dia akan pergi sendiri mencoba menikmati tiram mentah.     

Kedatangannya ke kantor Max disambut dengan baik karena para karyawan sudah tahu jika dia adalah istri Maximus. Rebeca bahkan sudah tidak perlu menyambutnya lagi namun begitu melihatnya, Aleandra menghampiri Rebeca yang sedang sibuk bekerja.     

"Hai, apa kabarmu?" Tanya Aleandra basa basi.     

"Tentu saja baik, Nona," jawab Rebeca. Siapa yang menduga, wanita asing yang dulunya dia jebak sesuai dengan perintah Maximus kini menjadi istri dari Max dan yang mendapatkan gelar sebagai Nyonya Smith.     

"Apa Max ada di dalam ruangannya?" tanya Aleandra lagi.     

"Bos sedang rapat, tapi masuk saja. Dia pasti akan senang istrinya datang."     

"Thanks," Aleandra tersenyum dan melangkah pergi menuju ruangan Max. Seperti yang Rebeca katakan, Maximus sedang rapat. Tapi tidak masalah, dia akan menunggu Maximus di sana.     

Aleandra duduk di sofa, ternyata ruangan itu lumayan hangat. Itu karena penghangat ruangan sudah menyala. Dia harap Max cepat kembali, sungguh dia sudah tidak sabar ingin mencoba bagaimana rasanya daging tiram.     

Aleandra menunggu cukup lama, dia bahkan tertidur dan tidak menyadari saat Maximus masuk ke dalam ruangan. Max mencari keberadaannya karena Rebeca berkata istrinya datang dan menunggunya di dalam. Max melangkah menuju sofa, senyum menghiasi wajah saat melihat istrinya sedang tidur. Max duduk di sisi Aleandra, tangannya mengusap wajah Aleandra dengan perlahan.     

"Mau tidur sampai kapan?"     

"Max," Aleandra terkejut dan membuka matanya.     

"Apa sudah lama menunggu?"     

"Tidak," Aleandra bangun dari tidurnya dan duduk di sisi Maximus.     

"Kenapa tidak mengabari aku? Apa ada yang kau inginkan?" tanya Maximus lagi seraya merapikan rambut Aleandra.     

"Aku ingin mengajakmu pergi makan tiram, Max."     

"Tiram?" Max mengernyitkan dahi, kenapa Aleandra tiba-tiba mengajaknya makan makanan itu?     

"Yes, tiba-tiba saja aku ingin makan tiram mentah. Aku juga merasa aneh padahal aku belum pernah makan makanan itu."     

"Ya sudah, jika kau memang ingin makan tiram ayo kita pergi makan," ajak Maximus.     

"Tapi dingin," Aleandra memeluknya manja, "Aku malas pergi," ucapnya lagi.     

"Jadi, mau pergi atau tidak?"     

"Mau, tapi aku ingin seperti ini sebentar," Aleandra masih memeluknya, Max sangat heran karena istrinya tampak manja tidak seperti biasanya.     

"Apa kau sakit, Aleandra?" Maximus menyentuh dahinya.     

"Tidak, aku baik-baik saja," jawab Aleandra sambil menggeleng. Dia baik-baik saja tapi memang beberapa hari belakangan dia merasa aneh.     

"Baiklah, ayo kita pergi makan. Aku juga akan mengajak Mommy dan Daddy, sudah lama tidak makan bersama mereka."     

Aleandra mengagguk, Max menghubungi ibunya dan mengajak mereka makan bersama. Sebuah restoran pinggir pantai menjadi pilihan di mana di sana menyajikan tiram mentah yang masih segar. Walau belum pernah mencoba memakan hewan laut itu, tapi sungguh, Aleandra sudah membayangkan dagingnya yang kenyal lalu diberi jeruk nipis, sepertinya enak saat di seruput langsung dari cangkangnya.     

Setelah membuat janji, mereka segera pergi. Marline dan Michael juga pergi ke restoran, mereka sangat heran ketika melihat tiram mentah berada di atas meja. Sejak kapan putra mereka makan tiram mentah? Mereka berdua benar-benar heran, mereka bahkan saling pandang.     

Aleandra menelan ludah saat melihat tiram mentah yang sudah terhidang di atas meja, rasanya sudah tidak sabar menikmatinya untuk mengobati rasa penasaran.     

"Ada apa dengan tiram mentah ini?" tanya Michael.     

"Aleandra yang mau," jawab Max.     

"Wah, apa kau pecinta seafood mentah?" tanya Marline pula.     

"Tidak, Mom. Aku bukan pecinta sushi tapi entah kenapa tiba-tiba aku ingin mencoba tiram mentah. Aku bahkan sudah membayangkan rasanya. Bolehkah aku mencobanya sekarang? Aku sudah tidak sabar," ucap Aleandra.     

"Kau bisa memakannya, Aleandra. Semua itu untukmu," ucap Max.     

"Terima kasih," Aleandra mengambil sebuah tiram dan juga sepotong jeruk. Air ludah di teguk, sungguh dia sudah tidak sabar. Walau dia agak ragu namun dia memberanikan diri untuk memakannya.     

Max dan kedua orangtuanya saling pandang, Aleandra benar-benar aneh hari ini. Dia tampak menikmati tiramnya, ternyata tidak seburuk yang dia kira. Entah karena memang enak atau dia memang sangat ingin makan makanan laut itu yang pasti, dia merasa tiram itu sangatlah enak.     

Marline memandangi menantunya dengan tatapan curiga, dia merasa ada yang berbeda. Jangan-Jangan Aleandra seperti itu karena dia sedang hamil. Dia masih ingat apa permintaannya saat dia hamil dulu, bisa saja keinginan Aleandra yang ingin makan tiram karena dia sedang hamil.     

"Aleandra, apa akhir-akhir ini kau tidak merasa pusing atau mual?" tanya Marline.     

Aleandra berhenti sejenak, dia seperti mencoba mengingat dan setelah itu dia menjawab, "Tidak!"     

"Bagaimana dengan siklus datang bulanmu?"     

"Kenapa Mommy bertanya seperti itu?" tanya Maximus.     

"Mommy hanya bertanya, jangan-jangan istrimu sedang hamil."     

Max terkejut begitu juga dengan Aleandra, mereka berdua saling pandang. Apakah benar?     

"Yang benar, Mom?" mereka bertanya secara bersamaan.     

"Itu hanya kemungkinan, melihat tingkahmu yang tiba-tiba ingin makan tiram mentah, bisa saja karena kau sedang mengidam saat ini. Aku bahkan meminta sesuatu saat aku hamil Maximus," jawab Marline.     

"Hm!" Michael berdehem. Aib tidak boleh terbongkar di sana. Bisa celaka jika putra dan menantunya tahu apa yang dia lakukan dulu.     

"Jika begitu segera habiskan, kita pergi ke rumah sakit untuk memastikan," ucap Michael.     

"Daddy benar, dari pada kita menebak lebih baik kita pergi ke rumah sakit."     

"Cepat habiskan, aku sudah tidak sabar," ucap Marline.     

Michael menggeleng tapi sesungguhnya dia juga tidak sabar. Semoga saja tebakan istrinya benar, semoga saja Aleandra benar-benar hamil. Mereka segera menikmati makanan mereka, Aleandra masih sibuk dengan tiram mentahnya. Entah sudah berapa banyak yang pasti dia sendiri yang menikmatinya sedangkan yang lain tidak. Setelah selesai makan, mereka segera pergi ke rumah sakit untuk memeriksa keadaan Aleandra.     

Marline dan Michael menunggu, mereka sudah tidak sabar. Aleandra dan Maximus berada di dalam ruangan di mana seorang dokter akan melakukan tugasnya. Seperti kedua orangtuanya, Max juga tidak sabar.     

"Aku harap menantu kita benar-benar hamil," ucap Marline.     

"Aku juga, aku harap aku masih diberi waktu melihat cucuku sebelum aku mati."     

"Kenapa kau berbicara seperti itu, Max?" Marline tampak tidak senang.     

"Aku sudah pernah mengatakan hal ini padamu, bukan? Aku di diagnosa hanya bisa hidup sampai usia enam puluh tahun lebih saja karena kelainan jantungku ini dan kau tahu usaiku saat ini sudah berapa."     

"Bodoh, apa kau pikir dokter yang menentukan usiamu? Jangan mengatakan hal menyedihkan di saat kita akan mendapat kabar gembira!"     

"Oke, baiklah. Semoga saja aku bisa hidup lebih lama agar aku bisa lebih lama bersama denganmu."     

"Stop. Mich. Jangan katakan apa pun lagi," Marline memeluk lengan suaminya. Dia tidak mau mendengar apa pun karena dia takut apa yang akan terjadi nanti.     

Mereka berdua diam saja, sampai akhirnya Max dan Aleandra keluar dari ruangan. Marline beranjak begitu juga dengan Michael, mereka segera menghampiri putra dan menantu mereka.     

"Bagaimana hasilnya?" tanya Marline tidak sabar.     

Maximus diam, begitu juga dengan Aleandra. Marline semakin ingin tahu, apa tebakan mereka salah?     

"Kenapa, Max? Apa istrimu tidak hamil?" tanya ayahnya.     

"Bukan begitu, Dad."     

"Lalu, kenapa kau diam saja? Apa terjadi hal yang lain?"     

"Dua bulan, mereka bilang Aleandra sudah hamil dua bulan," ucap Maximus dan pada saat itu, senyum menghiasi wajah Maximus dan Aleandra.     

"Serius?" Marline hampir memekik.     

"Yes, Mom."     

"Yes, aku akan punya cucu!" Marline melompat-lompat karena senang. Dia juga melompat ke arah suaminya. Itu kabar gembira yang mereka nantinya. Tidak saja Marline, Michael juga terlihat begitu senang. Aleandra bahkan tertawa melihat tingkah ibu mertuanya, tentunya kabar itu akan membuat semuanya senang.     

"Ayo kita ke rumah nenek, mereka harus tahu kabar ini," ajak Marline.     

"Mommy benar, kita harus merayakannya."     

"Oh, aku sudah tidak sabar. Semoga istrimu melahirkan dua atau tidak bayi yang lucu. Aku sudah tidak sabar menggendong bayi-bayi yang lucu dan kali ini tidak ada lemari!" ucap Marline.     

"Kau lebih bersemangat dari pada mereka!" ucap suaminya.     

"Tentu saja, ayo kita segera ke rumah nenek!"     

Maximus menggeleng, Aleandra tertawa. Semua yang mendengar pasti akan senang. Max merangkul pinggangnya, mereka saling pandang dan tersenyum. Kerja keras Maximus membuahkan hasil. Semua karena tiram mentah, jika tidak karena itu mereka tidak akan tahu.     

Mereka pergi menemui Kate dan Albert, seperti Marline dan Michael, mereka juga sangat senang mendengar kabar gembira itu. Seandainya Jacob dan Alice masih hidup, mereka pasti akan menari karena senang tapi sayangnya mereka sudah tiada. Memang begitulah kehidupan, ada yang datang, ada yang pergi dan yang masih hidup akan menyambut yang datang dan mengenang yang pergi sampai akhirnya waktu mereka dipanggil pun tiba.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.