My Coldest CEO

Tujuh belas



Tujuh belas

0  Tubuh Vrans mematung menatap surat bewarna putih dengan cap bibir yang sudah ternoda oleh darah. Matanya mulai memanas melihat tubuh Xena terbaring tidak berdaya di atas brankar rumah sakit. Perban di kepala gadis itu membuat pikirannya menjalar kemana-mana. Apa Xena baik-baik saja? Pemikiran yang bodoh, jelas-jelas gadis ini tidak dalam keadaan yang baik.     

  Kristal bening mulai jatuh dengan perlahan membasahi pipinya. Sekarang ia disini, sendirian. Menanti gadis yang selalu mengganggu dirinya dengan rasa cemas yang luar biasa. Ia selalu berdoa pada Tuhan untuk memberikan yang terbaik untuk Xena.    

  Tasya dan Liam menitipkan Xena padanya karena ada meeting mendadak yang harus mereka hadiri, kolega penting katanya. Lihat? Hanya Vrans yang setia menemani gadis yang kini enggan membuka matanya untuk menyapa dunia kembali.     

  Vrans menyesal, sangat menyesal.    

  "Aku ingin kamu kembali..." Lirihnya sambil menunduk, menempelkan dahinya ke pundak Xena. Ia meremas brankar yang di tempati gadis itu, ia menyalurkan emosinya yang tertahan. "Tolong bangun, gadis aneh.. Aku tidak akan meninggalkan kamu lagi. Maaf janji yang aku ingkari untuk tetap bertanggung jawab penuh atas dirimu."    

  Tidak ada yang bisa merasakan apa yang dirasakan Vrans saat ini. Bahkan menangis dan memohon pun belum tentu membuat Xena kembali. Apa tadi katanya? Xena pasti kembali kok!    

  "Maaf."    

  Seperti seorang pengecut, ia hanya mampu merapalkan kata maaf yang tidak mungkin di dengar oleh Xena. Ia menggenggam erat jemari mungil gadis itu, lalu menciumnya lama. Bulir air mata milik Vrans membasahi genggaman tangan mereka. "Please, come back. Don't go, I need you here by my side." Lirihnya dengan nada semakin tercekat.    

  Setelah menyadari hal ini, mungkin ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau terjadi apa-apa dengan Xena.    

  Tangisan Vrans pecah terdengar sangat memilukan hati, mampu menyayat hati orang yang mendengarnya.     

  Hanya keheningan dan alat penentu kehidupan saja yang terdengar menemani dirinya.    

  "Vrans."    

  Ia menoleh, dan mendapati Paula yang tersenyum simpul kearahnya. Gadis itu membawa sebuket mawar merah dan sekeranjang buah lalu meletakkannya di atas nakas yang tepat berada di samping tubuh Vrans.    

  "Apa?" Tanya Vrans dengan nada dingin, tatapannya menusuk. "Pergi."    

  Entah kenapa, ia menyalahkan Paula dalam semua ini. Jika saja gadis itu tidak merengek padanya dan menyuruh dirinya untuk absen sehari mungkin kejadiannya tidak akan separah ini. Oh dan satu lagi, mungkin jika gadis itu tidak seenaknya menjawab panggilan dari 'pluto', tidak akan menimbulkan kesalahpahaman dipikiran gadis ini.    

  Paula memejamkan matanya, mencoba menahan sesak di dadanya. Mungkin ini adalah salahnya, ia terima jika perlakuan Vrans seperti ini.    

  "Baik, semoga lekas sembuh, Xena." Lirih Paula dengan senyum yang dipaksakan, ia keluar dari kamar VVIP itu. Bohong jika hatinya tidak sakit melihat Vrans yang menggenggam erat tangan gadis yang sedang tertidur di brankar dengan sayang, seakan tidak ingin gadis itu hilang dan berlari untuk kedua kalinya yang menyebabkan kecelakaan besar seperti ini.    

  Bahkan siapa yang menabrak gadis ini pun Vrans tidak mengetahuinya. Baiklah mungkin ia akan kerja sama dengan Niel untuk mencari sang pelaku.    

  Pintu kembali terbuka setelah satu menit yang lalu Paula lenyap dibalik pintu itu, kini terlihat Orlin dan Erica dengan raut wajah yang sangat cemas. Vrans menatap tajam kedua gadis itu. Ia sudah tau semuanya setelah melihat kejadian yang sebenarnya diruangan CCTV yang beruntung sekali dapat merekam suara mengenai bagaimana perilaku tuduhan sampai makian Orlin pada Xena. Menuduh sahabatnya sendiri dan tidak ingin mendengar penjelasannya? Sangat pengecut.    

  Sebenarnya ia juga penasaran dengan kebenaran itu, namun pikirannya segera menepisnya karena ini bukanlah waktu yang tepat.    

  "Pergi." Ucap Vrans dengan sinis.     

  "Kita ingin menjenguk sahabat kita!" Bentak Orlin yang tidak terima dengan perlakuan Vrans padanya. Menurutnya Vrans terlalu ikut campur banyak hal mengenai hubungannya dengan Xena.    

  "Setelah apa yang kamu lakukan? Jangan harap. Kamu tidak jauh berbeda dari sampah."    

  Voila,    

  Ini kalimat terpanjang Vrans ketika berbicara pada karyawannya. Sebelumnya ia hanya berbicara banyak pada Klarisa, Paula, Leo, dan tentunya Xena --itu juga terkadang saja. Mereka sepertinya harus memekik senang jika bukan dalam kondisi seperti ini karena berhasil membuat sang batu es berbicara lumayan panjang.    

  Tubuh Orlin menegang. Ia tahu dirinya salah, namun manusia tidak luput dari kesalahan, bukan?    

  Erica menatap datar Vrans. Bukan, bukannya ia tidak sopan, memang sifatnya seperti itu. "Tapi bos, pekerjaanmu mungkin sudah menumpuk. Apa sebaiknya--"    

  "Arghh..."    

  Mereka kompak menoleh ke arah gadis yang berada di brankar. Vrans mempererat genggamannya dan tak segan-segan untuk menciumnya dalam. Ia merapalkan berbagai macam doa untuk kesembuhan Xena. Jemari mungil itu bergerak, pelan namun pasti.    

  "Aku... Dimana?" Lirihnya sambil menatap Vrans yang tak henti mencium tangannya dengan lugu dan polos.     

  "Akhirnya kamu bangun, Xena." Ucap Vrans sambil menitikkan air matanya. Ia bahagia, sangat bahagia. Apa ia harus menghubungi Tasya dan Liam?     

  Xena berusaha menarik tangannya yang di genggam oleh Vrans. "Maaf, lepas." Ucapnya dengan nada yang sangat sinis. Bahkan kedua matanya mendelik tajam ke arah laki-laki itu.    

  Mereka semua terkejut. Vrans menatap Xena dengan tatapan aneh, bingung serta cemas. Begitu pula dengan Orlin dan Erica, mereka menatap lekat manik mata milik Xena. Tidak, ada yang aneh, dan... Berbeda. Seharusnya gadis di brankar itu memekik senang karena di sampingnya ada seseorang yang sangat ia dambakan, terkesan berlebihan memang untuk seseorang yang baru sadar dari sakitnya, namun tetap saja apa yang Xena lakukan tadi, seperti bukan Xena.    

  "Kamu... Siapa?"    

  Deg    

  "Aku laki-laki yang kamu cintai, Na."    

  Hati Vrans sesak. Matanya kembali memanas. Tolong jangan jadikan ketakutannya menjadi kenyataan. Siapapun, tolong bangunkan dia jika dirinya sedang bermimpi. Ya, pasti bermimpi saat mencium tangan Xena lebih dalam.    

  "Dan kamu berdua, siapa?"    

  Namun, mimpi itu ternyata masih berlanjut, membuat Vrans menitikkan air matanya, lagi.    

  Kali ini, Orlin dan Erica menggeleng sekuat tenaga. Orlin merasakan sesak yang paling luar biasa, dan ia pantas mendapatkan ini. Menghina sahabatnya sendiri seperti sampah? Bukan sesuatu yang baik. Sedangkan Erica? Gadis cuek itu kini sudah berlinangan air mata tanpa berminat untuk mengatakan apa yang dirinya rasakan saat ini.    

  Sebelumnya, memang sudah diperingati oleh dokter setia keluarga Anderson, jika terjadi beberapa kemungkinan yang fatal akibat benturan kepala yang tidak pelan.    

  "Aku sahabat kamu, Na." Lirih Orlin sambil mengguncang pela bahu Xena.    

  Xena mengangkat sebelah alisnya, lalu berdecih. "Aku tidak pernah punya yang namanya sahabat. Dan aku, tidak pernah sama sekali mencintai seseorang." Ucapnya sambil menatap sebuket mawar merah beserta sekeranjang buah yang terdapat di atas nakasnya. "Kamu bisa pergi, dan aku tidak butuh itu semua." Ucapnya sambil menunjuk beberapa bingkisan kecil dari orang-orang yang menjenguk dirinya.    

  Tangis Orlin semakin pecah, sungguh siapapun, ia menyesali perbuatannya yang membuat Xena berlari ke luar kantor dan akhirnya kecelakaan. Tuhan, apakah yang di alami Xena boleh di tukar dengan dirinya? Erica meneteskan air matanya, namun ia lebih tenang daripada Orlin yang sudah seperti orang tidak waras. Gadis itu, membawa sahabatnya pergi perlahan meninggalkan Vrans dan Xena berdua. Tapi ia tidak membawa kembali sebuket mawar merah dan sekeranjang buah itu. Katanya sesuatu yang sudah diberikan kepada orang lain, tidak boleh diambil begitu saja, ada hukum alam.    

  Vrans menatap sendu wajah Xena yang di kepalanya masih setia melilit perban. "Kamu tau na? Kamu orang teraneh yang aku kenal."    

  "Kalau aku aneh, kamu tidak perlu kenal aku."    

  "Tapi kamu Na yang buat aku meninggalkan jurang yang aku tidak mungkin lewati sendirian."    

  "Iyalah, nanti kamu jatuh."    

  "Bukan itu."    

  "Terus?"    

  Vrans memberikan secarik kertas berlumuran darah yang di berikan Dr. Anton kepada dirinya. Soalnya ia satu-satunya laki-laki yang menjenguk, dan kemungkinan ia lah sang pemilik nama di kertas ini, dan benar saja. Ia memberikannya pada Xena yang raut wajahnya kini sangat datar, melebihi dirinya.    

  "Aku akan memperjuangkan kamu seperti kamu perjuangkan aku sebelumnya, karena sepertinya aku mulai menyukaimu."    

  Disisi lain, seseorang meremas kesal ujung bajunya. Ia pikir akan semudah mematahkan ranting daun, tapi ia salah. Ternyata ini sesulit seperti menghilangkan debu di fasilitas rumahnya.    

  "Dan aku, tidak akan tinggal diam melihat kamu dengan mudahnya mendapatkan hati Vrans, Xena Carleta Anderson."    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.