My Coldest CEO

Dua puluh sembilan



Dua puluh sembilan

0  Dengan cemas, Niel berkali-kali menghubungi Orlin yang tidak menjawab semua pesan dan panggilan telepon darinya. Wajar saja ia semakin sibuk tiap minggunya membuat hubungan mereka sedikit merenggang. Namun tidak biasanya gadis itu menghilang seperti ini. Apa ada sesuatu dengan gadisnya?    

  Niel merampas kunci mobil yang berada di atas nakas samping tempat tidurnya. Sudah hampir empat jam dirinya menghubungi Orlin, namun sia-sia. Kemana gadis itu sebenarnya?    

  Hanya satu tempat yang ia tahu adalah Luis Company, mau tidak mau dirinya harus pergi kesana. Ia melajukan mobilnya sampai terlihatlah sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Siapa yang tidak kenal dengan Luis Company? Ia yakin keluarga Vrans sudah menempati posisi sepuluh besar pada kalangan pebisnis tersukses di dunia.    

  Karena niatnya tidak ingin berlama-lama di gedung ini, ia hanya berhenti di depan post keamanan. Walaupun Orlin hanya staff biasa yang beruntung bisa berteman dengan Xena dan Erica yang notabenenya termasuk orang penting di perusahaan Luis Company, tidak ayal juga gadisnya sangat di kenal karena keramahan dan kebaikannya. Baik? Kejadian yang waktu itu menimpa Xena, apa ya namanya?    

  "Permisi, apa Roseline Damica ada di kantor?" Ucapnya dengan sopan. Ini salah satu hal yang wajib setiap orang lakukan jika ingin bertemu dengan seseorang yang bekerja di perusahaan ini.     

  Laki-laki yang bertugas menjaga keamanan gedung ini pun langsung menatap Niel dari atas sampai bawah. "Tuan kekasihnya nona Orlin ya?"    

  Niel menebak, pasti Orlin yang mengatakan ini semua. Ah dasar gadisnya yang sangat menggemaskan. "Iya, apa dia ada?"    

  "Sayang sekali tuan, tadi nona Orlin pergi dengan bos besar dan nona Erica, oh iya ditambah satu orang gadis lagi yang tidak pernah saya lihat sebelumnya."     

  Niel mengangkat alisnya, tidak biasanya Orlin pergi tanpa meminta izin dan bilang kepadanya. Sekali lagi, ada apa ini?! Dengan sebuah kata ucapan terimakasih, ia mulai meninggalkan kembali gedung tinggi itu lalu melajukan mobilnya untuk mencari tempat menepi. Setelah menemukan lahan kosong, ia mulai melihat ponselnya dan menghubungi satu nama yang bisa membantunya saat ini juga.    

  Charlos    

  "Halo tuan, ada apa?"    

  "Saya ingin kamu melacak keberadaan kekasih saya, Roseline Damica."    

  "Untuk apa tuan?"    

  "Tolong lakukan dengan segera, lacak ponsel gadis itu dan jangan lupa hubungi pihak kepolisian. Lakukan dengan segera atau kamu akan ku pecat."    

  Tanpa persetujuan dari orang di seberang, ia mematikan ponselnya. Dengan wajah yang sudah memerah padam, Niel mengacak rambutnya kasar. Kemarin Xena, sekarang Orlin. Apa tidak ada hal yang lebih buruk lagi setelah ini?    

  Dan ia yakin seratus persen, Orlin sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Semoga firasatnya salah.     

  "Aku mengkhawatirkan kamu, Orlin."    

  ...    

  Hana memandang bringas tubuh Xena yang sudah diikat di tiang rumah dengan tali tambang. Terlihat gadis itu sudah menangis sesenggukan dan meronta meminta pertolongan. Bukannya merasa kasihan, ia merasa puas dengan teriakan yang keluar dari mulut Xena. "Teriaklah sepuasmu, karena setelah ini kamu tidak bisa berteriak."    

  Xena menatap Hana dengan pandangan yang sangat sendu, ia memohon padanya. "Tolong, Xena masih ingin hidup."    

  Sungguh, ia belum sempat dilamar oleh Vrans. Laki-laki menyebalkan yang menggantung harapannya tinggi-tinggi.    

  "Aku tidak peduli."    

  Hana menyeringai miring lalu mengeluarkan pisau buah dari saku celananya. Ia berjalan mendekati Xena secara perlahan, menatap lekat wajah imut gadis itu. Ia sangat muak dengan seorang gadis yang nyatanya lebih menarik daripada dirinya.     

  "Lepaskan Xena..." Rintih Xena yang sudah merasakan perih di sekujur tubuhnya karena Sean mengikat tubuhnya sangat kencang. Untuk bernapas saja rasanya ia sangat sesak, ia belum ingin meninggalkan Vrans. Ia akan bertahan untuk laki-laki itu.    

  Hana berdecih. "Kamu tahu siapa yang menyuruh aku?" Ucapnya sambil menatap pisau yang berkilat memantulkan cahaya, sudah bisa di tebak seberapa tajamnya pisau tersebut.    

  Xena menggeleng.    

  "Paula Victoria Davinci."    

  Napas Xena seakan tercekat di saat itu juga. Paula, ia tahu itu adalah gadis yang bersama Vrans waktu itu. Yang memeluk Vrans di hadapan dirinya, yang mengajak Vrans untuk mengambil cuti sehari. Seharusnya di hari itu ada Vrans untuknya, namun Paula merenggut segalanya.    

  "Aku tidak pernah berbuat kesalahan padanya." Lirih Xena. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikir gadis itu. Ada apa lagi ini? Apa penderitaannya belum berakhir?    

  "Kamu gadis murahan yang kerjaannya hanya mengejar-ngejar sosok Vrans, padahal sudah bisa di tebak laki-laki itu tidak akan merespon kamu." Bisik Hana tepat di telinga Xena. Ia ingin mengganggu mental gadis itu supaya lebih seru ketika di ajak bermain. Ia sudah memikirkan seperti apa suara jeritan kesakitan yang akan keluar dari mulut Xena. Mentalnya sakit, raganya juga sakit, sangat menyenangkan sekali.    

  Xena menggeleng, lalu tersenyum manis. Ia mungkin terlalu terbawa suasana sampai merasa setakut ini. Jelas-jelas Xena bukanlah tandingan yang tepat untuk gadis Pluto seperti dirinya. Jika gadis itu ingin bermain padanya, let's do it. "Lalu? Nyatanya aku berhasil mendapatkan hati Vrans, and I'm proud of myself, honey."    

  (*dan aku bangga pada diriku sendiri, sayang.)    

  Hana mendengus, lalu menatap Xena dengan tajam. Sepertinya Xena berhasil memancing emosi Hana.    

  "Apa bedanya kamu dengan gadis murahan yang hanya sibuk untuk merebut hati seorang laki-laki?!" Bentak Hana sambil menarik rambut Xena dengan kuat. Tentu saja rasanya sangatlah sakit, namun Xena menahannya. Bisa-bisa kesakitannya ini akan menjadi kekuatan bagi Hana.    

  "Apa bedanya kamu dengan psikopat, huh?" Tanya Xena membalikkan ucapan Hana padanya barusan.     

  Skakmat.    

  Hana melepaskan tarikan tangannya pada rambut Xena. Ia menatap kedua telapak tangannya, bahkan ia tidak sadar jika dirinya sudah bersikap lebih dari seorang pembunuh bayaran. Ia melanggar janji menjadi pembunuh bayaran.    

  "Kamu tidak tahu apapun!" Ucap Hana.    

  Suasana di dalam gedung tua ini seketika menjadi panas. Xena menatap Hana yang sudah mulai kehilangan rasa manusiawinya. Sebenarnya ia takut sekali pada Hana, namun ia ingat tidak boleh lengah. "Sean bahkan lebih hebat daripada kamu."    

  Hana menatap Xena dengan sengit. "Hentikan!"    

  "Bukankah sifat kamu sudah melanggar ketentuan seorang pembunuh bayaran?"    

  "Tidak!"    

  "Aku memang polos, tapi aku tidak bodoh, Hana."    

  Dengan emosi yang sudah memuncak, Hana langsung saja mengarahkan pistol ke kepala Xena. Ia sudah bersiap untuk menembakkan peluru yang sudah gatal ingin keluar dari dalam pistol. Ia tersenyum miring. "Sayangnya kamu lupa suatu hal, Xena. Seorang pembunuh bayaran selalu mempunyai IQ yang tinggi dan aku sadar kamu telah membodohiku. Jangan pikir aku akan terpengaruh."    

  Xena meneguk salivanya sambil melirik pistol yang sudah menyentuh keningnya. Ia merapalkan beberapa kalimat, memanjatkan doa supaya keajaiban muncul detik ini juga. Siapapun, tolong Xena! Dengan sisah tenaga, ia masih sempat untuk mengumpulkan kepingan memori selama dirinya hidup. Mungkin ini akan menjadi terakhir kalinya ia berpikir? Ah padahal sebelumnya dia malas untuk berpikir.     

  "say goodbye to the world." Guman Hana.    

  (*Katakan selamat tinggal untuk dunia.)    

  DOR!    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.