My Coldest CEO

Dua puluh



Dua puluh

0  Paula menatap kosong ruangan putih ini dengan sesekali menguap. Rasa kantuknya seakan mendukung dirinya untuk tetap berjaga berharap laki-laki yang ditunggunya sedari tadi akan datang menjenguk kondisinya.    

  "Kemana sih Vrans." Gumamnya kecil sambil menekuk senyumnya. Apa laki-laki itu masih marah kepada dirinya?    

  Tangannya mulai memainkan sebuket mawar merah yang tadi dibawakan oleh Vrans untuknya. Perhatian laki-laki itu menarik kembali pikirannya untuk segera mendapatkannya. Namun fisiknya menolak, ia semakin melemah. Menurut penjelasan dokter, ia mengidap kanker serviks atau leher rahim. Miris sekali bukan?    

  Salah satu alasannya hidup, kini lebih memilih gadis amnesia itu.     

  Bukan hanya sekali ia memergoki Vrans yang terus menerus membaca chat berisik dari Xena yang dulu dengan senyum simpul yang tercetak jelas. Setau dirinya, Vrans adalah laki-laki yang terbilang dingin pada orang lain, hanya padanya dan Klarisa juga keluarga besarnya saja laki-laki itu humoris. Selebihnya, Vrans akan memilih diam sebagai solusi. Tapi sudah berhari-hari ini juga ia melihat betapa besarnya perjuangan Vrans untuk membangkitkan memori yang hilang di kepala Xena. Apa sakit Xena terlalu penting dengan penyakitnya?    

  Entahlah.    

  Ceklek.    

  Senyum Paula mengembang sempurna kala melihat Vrans yang masuk ke dalam ruangannya dengan secangkir gelas plastik Americano. Namun senyumnya memudar melihat siapa sosok yang berjalan di belakang laki-laki itu.    

  "Sudah lebih baik?" Tanya Vrans sambil melirik nampan makanan yang disediakan rumah sakit sudah kosong. Ia tersenyum mengetahui gadis yang merupakan sahabatnya ini memakan makanannya sampai habis, sesuai permintaannya.    

  Paula menghela napas kasar, "Tidak tahu." Ucapnya dengan nada yang sangat malas.    

  Xena menaikkan sebelah alisnya. Ia yang hanya diajak Vrans untuk keliling rumah sakit dan laki-laki itu meminta dirinya untuk menemani menjenguk salah satu sahabatnya, dan sekarang dia terjebak di keadaan seperti drama percintaan yang menunjukkan jika gadis itu cemburu pada dirinya.    

  "Lebih baik aku pergi."    

  Belum sempat Xena berbalik badan, Vrans menahan pinggang gadis itu dengan sayang. "Berani pergi, aku cium."    

  Tubuh Xena maupun Paula menegang bersamaan. Xena dengan pipi yang memerah, dan Paula yang sudah menahan kesalnya yang sebentar lagi mungkin akan meledak. Tapi, tahan Paula, tahan.    

  "Jadi ini Xena, Vrans?" Tanya Paula dengan senyum palsunya, ia menatap Xena dengan sedikit kesal.    

  Xena tidak menyadari hal itu, dan langsung membalas senyum Paula yang dilontarkan untuknya. "Iya, aku Xena." Ucapnya dengan ramah.    

  "Kekasihku," koreksi Vrans.    

  Mata Xena mendelik tajam. Jujur, ia juga sangat penasaran bagaimana kehidupannya yang dulu sebelum hilang ingatan. Dan dengan usul Tasya dan Liam, mereka menyuruh Vrans untuk menjadikan dirinya kekasih dari laki-laki ini. Menyebalkan.    

  "Aku tidak ingin menjadi kekasihmu." Tolak Xena. Padahal dadanya sudah bergemuruh kencang.    

  "Tapi aku tidak menerima penolakan."    

  Paula tersenyum kecut. Ia kalah satu langkah dari Xena. "Selamat ya." Gumamnya.    

  Vrans mengangguk dan mengelus puncak kepala Xena. "Xena sebentar lagi sudah diperbolehkan untuk pulang, dan aku akan mengantarkannya." Ucapnya pada Paula. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena merasa tidak enak karena sebelumnya sudah berjanji untuk menemani Paula tidur dan membacakan dongeng untuk gadis itu.    

  Berkali-kali lipat rasa sesak yang di rasakan Paula. "Iya, tidak apa-apa." Lagi-lagi, nada bicara yang terdengar sangat tidak bersemangat keluar begitu saja dari mulutnya.    

  Xena memutar kedua bola matanya. "Aku bosan, bisa kita melanjutkan jalan-jalan ke sekeliling rumah sakit, Vrans?"    

  Vrans mengangguk lalu pamit pada Paula dan mereka keluar ruangan tersebut. Seakan-akan bahagia di atas penderitaan Paula. Miris.    

  Paula mengambil ponselnya di atas nakas. Lalu mulai memencet salah satu username di ponselnya dan menghubungi nomer tersebut.    

  "Halo, kamu perlu apalagi, Paula?"    

  "Aku mau Xena Carleta Anderson tersingkirkan."    

  ...    

  Xena berjalan keluar rumah untuk pergi ke minimarket berniat membeli beberapa camilan untuk dirinya menonton film action di kamar nanti malam.    

  Anehnya, ia mengingat jalanan pekarangan rumahnya dengan baik. Mungkin hanya kepingan masa lalu saja yang dapat diingat olehnya.    

  Udara malam ini terasa sangat dingin memberi hawa yang mencekam. Namun Xena tidak peduli. Berkali-kali juga firasatnya mengatakan ada yang tidak beres pun ia tepis dengan sekuat tenaga. Katanya cuma firasat, kan tidak mungkin terjadi.    

  Senyumnya kian mengembang melihat cahaya terang yang di pancarkan dari minimarket yang berjarak beberapa centimeter lagi dari pijakannya kini.    

  "Xena.."    

  Tubuhnya menegang. Ia menoleh ke belakang, dan mendapati laki-laki yang memakai topeng wajah bewarna hitam, pakaiannya serba hitam juga. Napasnya tercekat saat tau laki-laki itu mengeluarkan pisau dari jaketnya.     

  Astaga siapapun tolong Xena.    

  Dan sialnya, keadaan malam ini yang terlihat ingin turun hujan membuat orang enggan untuk keluar rumah hanya untuk membeli camilan seperti apa yang dia lakukan, jalanan ini sepi!    

  "Setiap hati yang tersakiti, akan mendapatkan keadilannya."    

  Xena menggeleng tidak mengerti, ia tarik kata-katanya barusan yang mengatakan 'Katanya cuma firasat, kan tidak mungkin terjadi'. Ia saat ini benar-benar ketakutan.    

  Ia berbalik badan dan segera mengambil langkah seribu menjauhi laki-laki misterius yang kini juga mengejar dirinya. Napasnya memburu entah ia berlari kemana, pikirannya hanya mementingkan jika dirinya harus selamat. Cuaca yang mulai menghembuskan udara semakin dingin, dilaluinya tanpa merasa kedinginan sekalipun. Justru keringat memenuhi pelipisnya.    

  "Aku tidak ingin terbunuh, bahkan belum nikah sama Vrans si laki-laki aneh."    

  Lagi mengalami keadaan seperti ini, masih sempat-sempatnya dia memikirkan Vrans. Ah iya, Vrans.    

  Ia merogoh saku celananya sambil terus berlari. Beruntung, portal malam belum tertutup memudahkan dirinya berlari kesana dan kemari tanpa adanya penghalang jalan. Dan beruntung juga ingatannya masih hafal dengan betul jalanan ini. Kalau tidak, habislah dia.    

  "Halo, Xena? Ada apa?"    

  "Huft, huft, Vrans... Tolong, segera. Ada yang mengejarku."    

  "Kamu dimana?!"    

  Hati Xena entah kenapa menghangat mendengar nada khawatir yang terdengar dari mulut Vrans.    

  "Masih disekitar pekarangan rumahku. Ku mohon, cepatlah. Sepertinya dia akan membunuhku." Cicit Xena dengan napas yang tersengal.    

  Merasa tidak ada waktu lagi, Xena mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Ia kembali berlari dengan cepat setelah fokusnya terbelah menjadi dua antara berlari dan berbicara dengan Vrans di telepon.    

  Ia menoleh kebelakang, entah kenapa larinya melambat. Sedangkan laki-laki itu sudah semakin gencar menangkapnya. Ia terus berlari, melewati jalan pintas dan membawa laki-laki itu memutari jalanan sekitar itu-itu saja supaya Vrans mudah menemukan lokasi dirinya.    

  Langkahnya mulai melambat mengingat dirinya yang sudah kehabisan tenaga akibat terlalu lama berlari. Baru saja dirinya ingin terjatuh lemas,    

  Tiba-tiba...    

  Brak    

  Tubuh Xena menegang, matanya membelalak melihat sebuah mobil yang menabrak laki-laki itu.     

  Mobil Vrans.    

  "Xena? Kamu tidak apa-apa? Ayo segera naik ke mobil. Aku tidak menabraknya dengan keras."    

  Seakan kesadarannya telah kembali, Xena segera membuka pintu di seberang pintu kemudi. Ia segera memasang seat belt, dan pada saat itu juga Vrans melajukan mobilnya.    

  "Kamu tidak ap--"    

  Tubuh Xena memeluk dirinya dengan erat, gadis itu menangis kencang dan sesegukkan masih merasa terkejut dengan kejadian yang menimpanya baru saja.    

  Dengan tangan kirinya, Vrans mengelus puncak kepala Xena. Beruntung dirinya tidak terlambat dan langsung menancap gas dengan kecepatan tinggi. Rasa khawatirnya terbayar ketika melihat keadaan Xena yang baik-baik saja.    

  "Aku, takut..." Lirih Xena.    

  Vrans mengecup puncak kepala Xena. Ia berjanji, kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi.    

  "Ini salah satu alasan aku untuk tetap berada di samping kamu, Xena. Tenanglah, aku akan tetap di sampingmu."    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.