My Coldest CEO

Sembilan belas



Sembilan belas

0  Tasya membolak-balik lembar kertas yang ada di hadapannya. Menjadi sekretaris di perusahaan sendiri sangatlah membosankan, apalagi mengingat atasannya adalah suaminya sendiri. Pikirannya mulai berkelana kemana-mana, ia mengetuk-ngetuk ujung pulpen yang di genggamnya membentur dengan meja kerjanya. Membuat suara seperti 'tuk, tuk, tuk' sambil menyangga kepala dengan telapak tangannya.    

  Ia bimbang. Apa dirinya harus pergi kerumah sakit atau tidak? Jujur saja Liam seperti membuat dirinya menjadi super duper sibuk membuatnya berkutat dengan kertas-kertas ini. Liam sangat menyebalkan.     

  Bohong jika dirinya tidak khawatir dengan keadaan Xena saat ini. Dalam diam, ia selalu memperhatikan bagaimana peningkatan putrinya dari hari ke hari. Namun hasilnya nihil. Tidak ada perubahan apapun mengenai amnesia yang di alami Xena. Putrinya itu merasakan rasa sakitnya sendirian.    

  Mengenai dirinya dan Liam yang sudah membuat jurang tidak terlihat dalam hubungan mereka, membuat Xena menjadi gadis yang sangat periang untuk menutupi kesedihannya. Dan sekarang, putri kecilnya menjadi sosok yang dingin dan tidak peduli apapun seperti dulu, akibat dari amnesianya. Bahkan putrinya itu memiliki masalah pertemanan sejak masa remaja. Tidak pernah bergaul, tidak pernah mengajak temannya bermain atau setidaknya keluar rumah untuk hangout bersama mereka juga tidak. Bahkan untuk memiliki seorang teman laki-laki saja, gadis itu tidak pernah.    

  Kejadian ini, kembali membuat Xena dengan sikapnya yang seperti dulu.    

  Bohong jika dia tidak menyesal, bohong jika dirinya tidak marah. Ia merasa gagal menjadi orang tua. Dulu, walaupun Xena bersikap dingin, keluarga mereka sangat harmonis. Namun sekarang? Tidak perlu dijelaskan mungkin kalian sudah mengerti betapa hancurnya hubungan mereka.    

  Maaf sebelumnya, karena sekali lagi sifat egois membuat kehidupan seseorang hancur.    

  Tok    

  Tok    

  Tok    

  Tasya mengalihkan pandangannya, memandang pintu putih yang dibuat blur sesuai design atas kemauan Liam sendiri. Terlihat sosok yang menjadi bahan pembicaraan otaknya dari tadi. Disana terlihat Liam yang memegang sebuket bunga bewarna putih. Sangat cantik.     

  "Aku rasa kita perlu untuk menjenguk Xena. Dan aku juga merasakan jika kita sudah sejauh ini, tidak seperti dulu lagi."    

  Tasya termenung. Baru kali ini Liam mengalah pada dirinya dan keadaan. Sungguh, ia kini menitikkan air mata bahagianya. "Sungguh? Apa kita sudah berbaikan?"    

  Setelah bertahun-tahun mereka berusaha menjauhkan diri satu sama lain, akhirnya salah satu dari mereka mengalah demi sosok putri kecil yang sangat mereka sayangi.     

  "Iya, aku merindukanmu, maaf."    

  Hanya karena kejadian Xena tergelincir di tangga rumah mereka dan hampir merenggut nyawa putri kecilnya akibat dari kelalaian Tasya, Liam mengibarkan bendera perang dalam pernikahan mereka, ia marah karena istrinya sangat tidak benar dalam menjaga satu-satunya putri mereka. Pertengkaran mereka terjadi selama bertahun-tahun. Padahal mereka juga tidak dapat menjaminnya jika Xena masih mengingat kejadian tersebut.    

  Throwback    

  "Mommy? Daddy?"    

  Xena kecil dengan gaun bewarna putih dengan hiasan mutiara kecil --pemberian Tasya-- yang tersebar acak menengok ke kanan dan ke kiri. Mencari kedua orang tuanya yang menyuruh dirinya mencari keberadaan mereka.    

  Ya, mereka sedang bermain petak umpat. Ini adalah permainan yang sangat menarik bagi Xena yang notabenenya sangat gemar mencari sesuatu sampai ketemu.    

  Walau Xena kecil termasuk dalam kategori gadis yang dingin, namun tidak pada Tasya dan Liam. Putrinya sangat terbuka, ya walau terkadang saja.    

  "Mommy?"    

  Panggil Xena sekali lagi melihat kaki jenjang yang berada di balik sofa. Ia menutup matanya, pura-pura tidak melihat. "Wahhh sulit sekali mencari mommy."    

  Tanpa Xena sadari, Tasya sudah merangkak menjauh meninggalkan tempat persembunyiannya yang sepertinya sudah diketahui putrinya.     

  "DORRRR!"    

  Tidak ada apapun.    

  Xena mengangkat sebelah alisnya. Apa penglihatannya salah?    

  "MOMMY?!!!"    

  Xena berlari kecil melihat bayangan Tasya yang menuruni anak tangga. Ya, memang mereka tadi berada di lantai dua, di ruang santai.    

  Xena berlari kecil menuruni tangga. Ia tidak sadar jika gaunnya yang menjuntai kebawah mulai mengganggu larinya. Tanpa ia sadari, ia menginjak gaunnya sendiri dan jatuh menggelinding menuruni tangga.    

  "DADDY, MOMMY--"    

  Terlambat, mata Xena sudah terpejam.    

  Throwback off    

  Jika saja waktu itu Tasya tidak mengenakkan gaun ke tubuh Xena saat bermain petak umpat, mungkin itu semua tidak akan pernah terjadi.    

  Tasya menepis bayangan mengenai masa lalu Xena yang sangat tidak menyenangkan. Ia menatap rindu wajah Liam. "Aku juga merindukan mu."    

  Dengan segera, Tasya menyambar tas gucci miliknya dan menghampiri Liam. Mereka berciuman, menyalurkan rasa rindu yang luar biasa.    

  "Sepertinya, Xena membutuhkan kita."    

  ...    

  Mount Sinai Medical Center, New York    

  :round_pushpin:East Harlem inthe New York City borough of Manhattan, on the eastern border of Central Park stretching along Madison and Fifth Avenues, between East 98th Street and East 103rd Street.    

  Xena menatap tajam Vrans yang sudah duduk kursi samping brankar yang ditidurinya yang sedang menatapnya lekat-lekat.    

  "Kamu siapa si ah! Sana pergi." Ucap Xena jengah.    

  "Aku sudah bilang berkali-kali kalau aku adalah laki-laki yang sangat kamu cintai, apa kurang jelas?"    

  Xena menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Astaga ia tidak tahan dengan wajah Vrans saat ini. "Apaan sih kamu! Menjauhlah."    

  Vrans terkekeh. "Makan ya? Aku suapin."    

  Xena menggeleng.    

  "Satu suap saja.."    

  "Deal."    

  Vrans merutuki kebodohannya. Hari ini, lagi, dia menyerahkan semua pekerjaan miliknya pada Erica. Untung saja gadis itu adalah gadis pekerja keras yang selalu menuntaskan pekerjaannya tepat waktu. Selain itu, Vrans juga menyuruh dua karyawan bawahan untuk membantu pekerjaan Erica supaya gadis itu tidak terlalu keberatan.    

  Ceklek    

  Pintu terbuka.    

  Tasya dan Liam masuk perlahan dengan senyuman hangat mereka. Xena tersenyum seolah menyambut kedatangan mereka dengan hangat.    

  "Mommy, daddy?"    

  Tasya memeluk tubuh Xena, memeriksa setiap inci tubuh puterinya lagi. Jujur, ia sangat mengkhawatirkan kondisi Xena. Takut-takut putrinya itu mengalami luka yang cukup parah lagi. Tidak, bukan cukup, sangat parah.    

  Bergantian dengan Tasya, Liam memeluk tubuh Xena dengan hangat.    

  Tanpa Xena sadari, amnesianya memperbaiki hubungan orang disekitarnya. Termasuk hati Vrans, namun keadaannya sedikit berbalik untuk yang satu ini.    

  Xena menatap Vrans. "Tidak mau pulang saja? Aku sudah ditemani oleh mommy dan daddy."    

  Tasya dan Liam melihat ke arah sebrang mereka. Dia, Vrans Moreo Luis. Laki-laki yang paling diidamkan oleh putrinya, tapi sudah tidak lagi. Dan sialnya, Vrans merasa kehilangan akan hal itu.    

  "Xena, dia orang yang kamu suka loh." Ucap Tasya sambil mengelus sayang puncak kepala gadis itu.    

  "Enggak, aku tidak mengenalnya dan aku tidak mau."    

  "Kalaupun tidak mau, jangan bersikap seperti itu. Apa ayah pernah mengajari kamu seperti itu?" Kali ini, Liam-lah yang angkat bicara.    

  Mereka tidak akan menyangka jika Vrans suatu hari nanti menjadi menantunya. Bayangkan saja. Eh, jangan deh. Nanti terlalu berharap, bisa bahaya.    

  "Maaf, Vrans." Hanya kalimat itu yang mampu terlontar dari mulut Xena.    

  Vrans sudah dengan giat menunjukkan bagaimana kasih sayang Xena padanya. Bahkan seorang Vrans yang tidak pernah membalas pesan gadis itu -- pernah dan hanya sekali -- pun menjadi laki-laki pengganggu yang setiap harinya menghujami riwayat pesan dengan gadis itu.    

  Kamu sudah makan?    

  Apa kamu baik-baik saja?    

  Butuh sesuatu?    

  Bilang saja pada ku.    

  Apa kau lapar?     

  Perlu aku ke rumah mu?    

  Membayangkannya saja, seperti bukan Vrans yang biasa. Vrans yang di kenal orang lain, adalah anak Leo yang memiliki sifat dingin. Tidak pandai bergaul, padahal jika ia ingin berusaha bisa jadi ia akan mendapatkan teman lebih dari Klarisa dan Paula. Teman? Bukan, mereka sahabatnya.    

  "Aku pikir, aku ingin pulang untuk berganti pakaian dan makan."    

  Xena hanya mengangguk, melihat Vrans yang sudah bangkit dari duduknya dan mencium sopan tangan Tasya dan Liam.    

  "Nanti aku kembali."    

  Tubuh Xena menegang sempurna kala bibir ranum milik Vrans mencium tepat di keningnya. Wajahnya berwarna seperti tomat. Ia malu!    

  "Hati-hati nak, Vrans." Ucap Tasya dan Liam kompak. Mereka terlihat sangat cocok jika sudah berbaikan.     

  Vrans mengangguk, lalu memberikan senyum termanisnya. "Permisi."    

  Entah kenapa, disaat itu juga, kepingan memori perlahan menyatu lagi. Kali ini tidak di paksa, namun cukup memberi rasa nyeri yang hebat di kepalanya. Baiklah ia akan mencoba untuk tertidur.    

  Ia mulai mengingat beberapa keping memori yang sempat hilang dari hidupnya.    

  Tanpa ia sadari, dadanya ikut bergemuruh seiring mengingat bayangan Vrans yang mencium dirinya tadi.     

  Bahkan amnesia pun sepertinya tidak suka berlama-lama dalam tubuh Xena.    

  Semoga saja seperti itu.    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:    

  I think without struggle, you can't grow as a person.    

  I think you need that in your life.    

  - Vrans Moreo Luis


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.