My Coldest CEO

Dua puluh empat



Dua puluh empat

0  Voice Note    

  "Bagaimana??"     

  "Aku belum mendekatinya--"    

  "APA?!"     

  "Diam, jangan terlalu kencang nanti ketahuan orang."     

  "Lakukanlah dengan segera."     

  "Akan ku usahakan. Tapi sepertinya ada yang memberikan rekaman CCTV itu saat aku berusaha untuk mengancam sang pemilik toko."    

  "Apa-apaan?!" Terdengar nada marah dari mulut gadis itu. "Paula tidak akan menyukai hal ini."    

  "Lebih baik kita harus berhati-hati mulai sekarang, apalagi Vrans sudah semakin dekat dengan gadis itu."    

  "Xena Carleta Anderson, akan merasakan apa yang Paula Victoria Davinci rasakan. Camkan!"    

  "Ini uang bayaran untuk kamu, Paula sudah memberikannya ke dalam rekeningku. Selamat bekerja."    

  "Lalu bagaimana dengan mu?"    

  "Masih sama, menjadi pemain belakang saja. Jika ada saat yang tepat, aku akan keluar."    

  Voice note off    

  Vrans mengumpat kasar setelah mendengarkan pesan suara dari Orlin. Ia menggeram marah. Paula? Ternyata ini semua ulah sahabatnya? Tapi kenapa?! Ia tidak habis pikir dengan ini semua. Orang yang sangat ia sayangi ternyata juga menjadi boomerang bagi orang lain. Tidak bisa dibiarkan.    

  Tapi tidak mungkin, Paula kan sedang mengalami sakit parah, apa ada orang yang berusaha menjatuhkan nama Paula dalam kasus ini? Lalu siapa gadis dan laki-laki yang ada di pesan suara itu?    

  Vrans memijat pangkal hidungnya yang terasa perih. Semakin hari masalah di dalam hidup Xena semakin menumpuk, membuat dirinya kewalahan. Namun bukan berarti ia bisa berenti begitu saja menelantarkan gadis itu. Dalam keadaan apapun, Xena masih menjadi tanggung jawabnya, sampai kapanpun.     

  Sungguh, Xena sosok yang sangat baik.    

  "Vrans apa kamu ingin minum teh hangat? Atau mungkin kopi?"    

  Ia menoleh dan mendapati Xena yang berjalan ke arahnya. Gadis itu kini memakai salah satu baju miliknya, membuat tubuhnya tenggelam karena bajunya kebesaran.    

  "Aku ingin red wine."    

  Xena mendelik sebal, lalu mencubit pinggang Vrans dengan ganas. Tatapan matanya mulai terlihat tajam. "Sudah berapa kali aku bilang, berhenti meminum minuman beralkohol!"    

  Vrans terkekeh melihat wajah Xena yang memerah karena amarah dengan bibir yang sudah mengerucut sebal. Rasanya ia ingin melumat bibir mungil itu. Eh? Oh tidak pikirannya mulai kacau semenjak berada satu rumah dan satu kamar dengan gadis pluto ini.    

  Pluto? Masih cocok untuk panggilan khusus dirinya pada Xena.    

  "Dan aku tidak peduli." Jawab Vrans sambil mengerling jahil, ia menarik tubuh Xena mendekatkan bibir mereka.    

  Dalam sekali gerakan, Vrans sudah melahap lembut bibir mungil milik Xena. Ia memperdalam lumatan bibir mereka dengan menahan tengkuk gadisnya supaya tidak bergerak menjauh.    

  Xena yang merasa usahanya sia-sia akhirnya terbuai dengan ciuman hangat laki-laki itu. Perlu kalian ketahui, rasa bibir Vrans sangat manis. Mereka menyalurkan sebuah rasa yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain.    

  Baiklah, mereka mulai kehabisan napas terbukti dari napasnya yang memburu.     

  Pipi Xena merona, dan kepingan memori-memori dirinya yang mengejar Vrans mulai menyapa pikirannya. Namun kali ini tidak terasa sakit seperti sebelumnya.    

  "Aku mengingat semuanya."    

  Satu ciuman Vrans berhasil membangkitkan sisah memori Xena yang sempat hilang. Cukup aneh memang, tapi ini lah cinta. Ia sangat mencintai Vrans, dan Boom! Tanpa harus bersusah payah lebih jauh lagi, memorinya kembali dengan cara yang sederhana tanpa di duga sebelumnya.    

  Senyum Vrans mengembang sempurna. Ia menatap gadis yang berada di dekapannya dengan hangat, raut wajahnya berubah menjadi bahagia, sangat bahagia. Tepat dua bulan lamanya, memori Xena kembali seperti semula.    

  "Dan aku masih Xena yang mencintai mu, bosayang!" Pekik Xena dengan riang, ia memeluk tubuh atletis milik Vrans dan menenggelamkan kepalanya disana. Menghirup aroma maskulin Vrans yang selama ini ia lupakan, ah sangat memabukkan!    

  "Kami ternyata tetap gadis aneh dari pluto." Gumam Vrans.    

  ...    

  Paula duduk di salah satu taman yang berada di rumah sakit besar ini. Ia menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Tidak ada lagi wajah pucat-nya, tidak ada lagi alat bantu pernapasan yang setia menemani seperti layaknya orang sakit.    

  "Paula."    

  Ia tersenyum simpul melihat seorang gadis yang seorang laki-laki yang berjalan ke arahnya. Mereka adalah kaka adik yang membantu dirinya dalam masalah ini.    

  "Hai." Sapa Paula.    

  "Apa rencana--"    

  "Batalkan saja, aku hanya ingin hidup dengan tenang dan melupakan Vrans." Ucap Paula memotong pembicaraan gadis yang duduk di samping kanannya. Namanya Hana Xavon.    

  Hana membelalakkan matanya. "Tapi kita sudah sejauh ini, Paula. Ada apa?"    

  Paula melirik Sean Xavon di samping kirinya. "Sudahi saja ya, aku yakin mereka akan bertindak lanjuti hal ini karena ulah kita."    

  Hana mendelik tidak suka. Bayangkan saja rencananya untuk menghancurkan Xena sudah sangat jelas dan matang. Bagaimana bisa Paula langsung membatalkannya tanpa peringatan sebelumnya?!    

  Ia marah.    

  "TIDAK BISA DI BATALKAN BEGITU SAJA, AKU SUDAH SEJAUH INI!" Teriak Hana dengan muka memerah. Ia menunjuk wajah Paula dengan tidak sopan. Membuat Sean langsung menghentikan tingkah adiknya saat itu juga.     

  Mereka menjadi pusat perhatian, dan mendapatkan tatapan tajam dari beberapa pasien dan juga dokter serta perawat lainnya. Jika Hana berteriak lagi, ia yakin pasti mereka akan di tendang keluar rumah sakit.    

  "Dan lebih baik kamu bongkar semua kepura-puraan kamu, dan aku yang akan mengurus ini semua." Ucap Hana dengan tatapan menajam yang menghujam Paula. Ia tau dan hafal sekali gadis dihadapannya ini merupakan orang yang berbahaya. Salah gerak sedikit pasti nyawa kamu akan melayang.    

  Paula menatap Hana dengan datar. Sudah cukup ia tersiksa dengan perasaan yang bertepuk sebelah tangan ini, dan beberapa kehancuran lainnya yang berada di hidupnya. Ia tidak ingin membuat orang lain merasakan penderitaan yang dimilikinya. Sial.    

  "Iya aku akan mengatakan jika sakit ku selama ini hanya pura-pura." Ucap Paula. "Dan menerima konsekuensinya." Lanjutnya dengan nada sendu.    

  Dari awal, hanya perasaan iri yang membuatnya buta hati. Semuanya tertutup atas fakta yang membuat dirinya seperti ini. Ia hanya ingin menghentikan semuanya sebelum semakin jauh dan menghancurkan hidupnya lebih besar lagi.    

  Hana dan Sean menatap Paula dengan tajam. Mereka merasa sangat direndahkan oleh gadis ini.    

  "Aku akan mengungkapkan kebusukan kamu, Paula." Ucap Sean.    

  Paula mengangguk. "Silahkan, dan aku akan memasukkan kalian kedalam penjara dalam kasus pembunuhan anak dari keluarga Anderson."    

  Hana berdecih. Satu lagi fakta karena yang menabrak Xena adalah Sean. Itu semua diluar dari aba-aba Paula. Jadi, ini murni kesalahan kakak beradik itu.    

  "Kalian bisa pergi," ucap Paula.    

  Hana mendengus lalu menarik ujung kemeja Sean untuk berjalan menjauh dari Paula. Mereka benar-benar marah. Sebagai pembunuh bayaran, mereka merasa tidak puas dengan kinerjanya kali ini. Mereka menganggap, hal ini belum selesai.    

  Paula tersenyum simpul. Tiba-tiba tadi malam Valleri menghampiri dirinya di dalam mimpi. Kakaknya itu berkata jangan bertindak bodoh karena cinta. Dan berkat Valleri, otaknya kembali jernih.     

  Ia sudah melangkah sejauh ini, ia bodoh. Mungkin apa yang terjadi nanti akan diterima dirinya dengan lapang dada. Masuk penjara mungkin? Ia siap konsekuensinya. Karena ia benar-benar bersalah untuk melangkah ke jalan yang tidak lurus.    

  Terlebih lagi, ia telah membohongi kedua sahabatnya, Vrans dan Klarisa. Ia yakin seratus persen jika sahabatnya itu akan kecewa terhadap tindakannya, terlebih lagi Klarisa. Ingin menyesal pun sudah tidak berguna.    

  Dia hanya ingin menyampaikan kata maaf untuk semuanya. Karena ego memaksa dirinya menjadi orang jahat.    

  Maaf.    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.