My Coldest CEO

Delapan belas



Delapan belas

0  "Menepilah atau aku dorong tubuh kamu?"    

  Xena menatap tajam ke arah laki-laki yang kini tengah sibuk menghadang jalannya sambil membentangkan tangan lebar-lebar. Sudah seminggu sejak dirinya di perbolehkan kembali ke rumah setelah beberapa hari istirahat di brankar rumah sakit, laki-laki ini terus saja mengikutinya bahkan selalu mengaku jika dulu dirinya sangat menggilai laki-laki ini. Percaya tidak percaya, Xena tetap tidak percaya akan hal itu. Seingat dirinya, ia adalah gadis yang tidak percaya dengan adanya cinta. Selebih dari itu semua, ia tidak ingat apapun selain kedua orangtuanya.    

  Bahu Vrans merosot. "Tunggu, setengah jam saja aku membutuhkan waktumu, apa sulit?"    

  Xena menghela napas kasar. Sebaiknya ia menuruti ucapan laki-laki ini daripada harus berlama-lama di koridor kantornya yang menjadi pusat perhatian semua orang. Katanya CEO, tapi kelakuannya seperti ini. Sangat tidak ada sopan santunnya.    

  Dan sudah berkali-kali juga Vrans membuat gadis itu percaya jika dia mengalami amnesia saat kecelakaan. Segala bukti foto yang di ambil gadis itu saat pertama kali duduk di samping kursi kemudi di dalam mobilnya, sampai bukti chatting mereka ia perlihatkan. Namun naas, Xena masih tetap keras kepala menolak seluruh bukti yang Vrans berikan pada dirinya. Membuat dirinya yang sedingin es perlahan mulai mencair.    

  Jemari Xena di genggam erat oleh Vrans. Gadis itu tidak memberontak karena hatinya timbul perasaan aneh. Entahlah dirinya saja tidak tau perasaan apa itu. Seperti nyaman, mungkin?    

  Vrans mengajak makan siang di kedai taco yang dulu sering dikunjungi oleh gadis itu dan kedua sahabatnya. Bahkan Orlin dan Erica menyerahkan memori Xena supaya kembali seperti sedia kala padanya. Mereka ternyata sudah menyerah dan cukup sakit hati karena disaat yang bersamaan Xena selalu berkata 'aku tidak pernah punya sahabat, enyahlah.'    

  Kepingan memori di kepala Xena mulai muncul terbukti dari respon gadis itu yang memegang kuat kepalanya, dan ya, membuat Vrans senang dan khawatir di saat yang bersamaan.    

  "Argh kepala aku sakit sekali."    

  Vrans dengan cekatan, menggendong gadis itu ala bridal style -- sudah dipastikan jika Xena yang dulu akan melompat karena rasa senangnya yang melonjak -- kembali ke mobil. Ia kalang kabut dan mencari rumah sakit terdekat. Astaga ia tidak menyangka akan seperti ini, apa dirinya terlalu memaksa otak Xena untuk mengingat ini semua?    

  Sesampainya di rumah sakit, ia dengan segera menarik beberapa dokter yang berlalu lalang dan menyuruh mereka segera menangani Xena. Persetanan dengan umpatan kasar dari mereka yang kesal terhadap tingkah Vrans.    

  Laki-laki es ini, sudah luluh rupanya. Kini perasaannya semakin cemas mengingat kondisi Xena yang belum juga pulih.    

  Dengan cemas ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Astaga hampir setengah jam, ia cemas jika terjadi sesuatu pada gadis pluto itu.     

  Berusaha untuk tetap tenang, ia menghubungi Orlin dan Erica mengenai hal ini. Tasya dan Liam? Bahkan mereka masih sempat-sempatnya berkata 'sibuk' saat dirinya memberitahu keadaan Xena. Orang tua macam apa mereka.     

  Memijat pangkal hidungnya yang semakin sakit tidak mengalahkan sesak di dadanya.    

  "Vrans?"    

  Ia menoleh, dan mendapati Paula yang berdiri dengan wajah pucatnya. Gadis itu juga memakai pakaian rumah sakit, kantung mata gadis itu sedikit menghitam sejak terakhir pertemuan mereka.    

  "Paula? Kenapa disini?"    

  "Aku sakit."    

  "Sakit?"    

  "Iya, tidak parah kok. Kamu kenapa ada disini? Sedang menjenguk seseorang?"    

  "Xena sak--"    

  "Tuan Vrans Moreo Luis?"    

  Vrans menoleh melihat seorang dokter keluar dari ruangan yang ia tunggu-tunggu. Ia segera menghampiri sang dokter, pergi meninggalkan Paula begitu saja yang tersenyum kecut.    

  "Bagaimana keadaan kekasih saya, dok?"    

  Kekasih. Entah kenapa Vrans mengakui hal seperti itu, bahkan sudah jelas mereka tidak ada hubungan apapun. Tapi siapa sangka pengakuan dirinya membuat seorang gadis dibelakang tubuhnya menahan napasnya sejenak, merasakan setiap aliran sesak yang merambat ke seluruh pembuluh darahnya.    

  "Sepertinya Nona Xena terlalu memaksakan otaknya untuk mengingat sesuatu karena amnesianya. Jangan terlalu memicunya dengan apapun itu, karena dapat membahayakan sel saraf otaknya. Lebih baik, lakukan saja dengan perlahan."    

  Bahu Vrans merosot seketika, kakinya terasa lemas. Lagi-lagi, salah dirinya.    

  "Lihat saja, Xena. Ini belum sebanding dengan apa yang aku rasakan saat ini."    

  ...    

  Mendengar kabar Xena yang masuk ke rumah sakit kembali, Orlin memeluk lututnya dan menatap telapak kakinya. Rasa bersalah memenuhi rongga hatinya. Sudah dua hari ia mengambil cuti, dan dua hari ini juga dirinya mengurung di dalam kamar.    

  Tidak masalah, tidak ada yang peduli pada dirinya.    

  Bayangan mengenai Xena yang semakin ketus dari hari ke hari terhadapnya membuat dirinya sakit. Fisiknya baik-baik saja, namun hatinya tergores luka. Sepertinya ia pantas mendapatkan ini semua.    

  Tok    

  Tok    

  Tok    

  Tanpa berniat untuk bangkit dari duduknya dan membuka pintu atau bahkan mempersilahkan seseorang yang mengetuk pintunya untuk masuk, ia tetap duduk di pojok sudut kamarnya. Kedua matanya sudah memerah karena dua hari kebelakang ini juga ia tidak tertidur. Keluar dari kamar hanya untuk mengambil pesanan delivery-nya dan mencuri beberapa camilan dari pantry kitchennya untuk dibawa masuk ke dalam kamar. Setelah itu, sisahnya dirinya hanya melamun dan melakukan aktifitas yang harus ia lakukan, mandi contohnya.    

  "Orlin?"    

  Air mata Orlin menetes sempurna. Bahkan ia malu untuk bertemu dengan laki-laki itu. Bukan hanya keadaannya saja yang tidak mendukung, tapi sebercak bayangan mengenai dirinya yang memaki laki-laki itu terlintas diotaknya.    

  Lagi-lagi, keegoisan menghancurkan kehidupan seseorang.    

  "Hei, aku membawakanmu satu box pizza dan americano untuk dirimu." Ucap Niel yang mulai melangkahkan kakinya mendekati Orlin, oh ya, dia juga tidak lupa menutup kembali pintu kamar itu.    

  Orlin menggeleng lemah. "Maaf, Niel. Tapi kamu harus pergi, aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun saat ini."    

  Niel hanya tersenyum simpul. Ia meletakkan apa yang ia bawa ke atas nakas yang berada tepat di samping tubuh Orlin saat ini. Tanpa banyak kata, ia memeluk tubuh gadisnya dengan sayang. Menyalurkan kekuatan yang ia punya, berharap setelah ini gadisnya akan merasa lebih baik. Dan mungkin, itu benar-benar berhasil.    

  "Aku-- Xena seperti itu salahku, semua yang terjadi belakangan ini adalah salahku, Niel." Lirih Orlin yang sudah mulai tenang dan mengatur deru nafasnya menjadi lebih teratur.    

  Niel mengelus puncak kepala Orlin. Ia lebih dari sekedar paham apa yang sebenarnya terjadi. Kesalahpahaman membuat beberapa orang bertindak semaunya, dan kelelaian menimbulkan bencana. Ia juga berusaha untuk tidak menyalahkan Orlin saat ini walau hatinya marah mengetahui Xena yang bahkan tidak mengenal siapapun kecuali Tasya dan Liam. Miris, bukan? Ia ingin marah, tapi bukan pada Orlin. Secepatnya ia akan menemukan sang pelaku yang menabrak Xena.    

  "Sudah jangan di pikirkan."    

  "Tidak bisa, Niel."    

  "Kenapa?"    

  "Karena rasa sayangku untuk kamu hampir melukai sahabatku sendiri, aku egois. Aku menuduh Xena dengan kebenaran yang belum sepenuhnya benar, aku bodoh, Niel."    

  Lagi-lagi, Niel berusaha biasa saja. Bohong jika ia tidak kesal dengan sikap Orlin yang menurutnya sangat berlebihan dalam menyalahkan dirinya sendiri. Ia juga sama frustasinya dengan Vrans yang mengkhawatirkan keadaan Xena saat ini, namun sesuai janjinya pada Xena, ia akan menjaga Orlin untuk gadis itu.    

  "Tidak apa, jangan dipikirkan."    

  "Nyatanya, aku hanya tangkai mawar yang berduri di kehidupan kalian."    

  Sepertinya, mental Orlin sedikit terganggu saat ini. Membuat Niel berdecak khawatir. Dengan seluruh tenaga yang ia miliki saat ini, ia memeluk Paula dengan sangat erat sampai gadis itu merasa lebih baik dari sebelumnya.    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:    

  A regrettable choice of words.    

  - Roseline Damica


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.