My Coldest CEO

Tiga puluh delapan



Tiga puluh delapan

0  Paula memasuki rumah yang cukup mewah jika di bandingkan dengan rumahnya yang dulu. Ia melihat keadaan rumah yang sepi. Tidak ada Raquel, tidak ada kedua orang tua gadis itu juga. Hanya ada beberapa pelayan yang sedang mengerjakan masing-masing dari tugas rumah mereka. Ia mendaratkan bokongnya di sofa yang berada di ruang tamu.    

  "Raquel kemana ya?" Tanyanya pada dirinya sendiri. Walaupun gadis yang telah membantu kehidupannya itu terbilang sangat berisik, tidak dapat dipungkiri juga jika Paula sedikit memiliki rasa untuk menjalin pertemanan dengan gadis itu. Dan tidak biasnya juga Raquel pergi meninggalkan rumah tanpa mengirimi dirinya pesan singkat.    

  Raquel sudah menganggap dirinya sebagai seorang kakak.    

  Baru saja Paula ingin menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata, penglihatannya kini tertuju ke arah vas bunga yang di bawahnya terdapat secarik surat.    

  Dengan penasaran, ia mengambil surat tersebut. Ia mengedarkan pandangannya ke kiri dan ke kanan, begitu lagi sebaliknya. Ia ingin menerka-nerka siapa yang menaruh surat ini. Tapi tidak mungkin para pelayan, kan? Tanpa mau banyak membuang waktu, ia akhirnya membuka surat tersebut.    

  :envelope:    

  Tebak aku dan kamu akan temukan jawaban selanjutnya. Aku masih ada disini, masih berusaha untuk menyelesaikan tugas.    

  :envelope:    

  Deg    

  Paula dengan panik langsung menutup surat tersebut dengan cepat. Keringat dingin sudah memenuhi pelipisnya. Ia sangat khawatir dengan apa yang berada di pikirannya saat ini. Tidak mungkin kan ini semua adalah kelakuan para pembunuh bayaran itu?     

  Hana sudah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya dan Sean juga sudah di penjara. Lalu, siapa lagi yang mengirimi dirinya surat?    

  "Ah pasti orang jahil yang ingin bermain-main. Jangan hiraukan Paula, jangan hiraukan." Gumamnya bertujuan untuk menenangkan dirinya sendiri yang saat ini benar-benar tengah berpikir keras, memutar otak untuk tidak terpengaruh dengan surat ini.    

  Tapi bagaimana jika surat ini benar adanya?    

  Dengan cepat Paula merogoh saku celananya, dan mendapati ponsel disana. Ia mencari kontak telepon milik Vrans dan segera menghubungi laki-laki itu. Walaupun ia sudah berjanji untuk pertemuan terakhir mereka tadi, tapi hal ini sangat penting untuk di lupakan.    

  "Halo, Vrans."    

  "Ada apa lagi?" Tanya Vrans di seberang sana.    

  Paula menarik napasnya dalam-dalam lalu menatap surat yang berada di tangannya. Ia benar-benar bimbang saat ini. Bagaimana jika surat ini hanya permainan belaka saja? Nanti pasti dirinya di anggap sebagai penebar kebohongan yang menyangkut nama seseorang lagi.    

  "Ah, tidak, Vrans."    

  "Kalau tidak penting, aku matikan ya sambungan telponnya? Aku sedang bersama Xena."    

  Paula tersenyum kecut. "Yasudah, lagi pula ini tidak penting. Lupakan saja."    

  Baru saja Paula ingin mematikan sambungan telepon, ia melihat bayangan hitam memasuki rumah ini. Dengan segera, ia menjadi lebih waspada daripada sebelumnya.     

  "Vrans, jangan dimatikan telponnya." Bisik Paula mendekati bagian speaker ponsel ke mulutnya.     

  Entah apa balasan Vrans di seberang sana, ia tidak menghiraukannya.     

  Prang!    

  Arah mata Paula berubah menoleh ke vas bunga yang sudah pecah. Ia menaikkan sebelah alisnya merasa aneh karena tidak ada siapapun disana.    

  "MAID, CAN YOU GET HERE RIGHT NOW?" Teriak Paula memanggil pelayan siapapun untuk menemani dirinya saat ini.    

  Ini benar-benar sangat aneh...    

  Tidak ada jawaban dari siapa pun, dan Paula menjadi sadar karena para pelayan yang ia liat beberapa menit yang lalu sudah lenyap entah kemana.     

  Napas Paula semakin tercekat, lalu beranjak dari duduknya berniat untuk keluar rumah.    

  "Mau lari kemana, Mrs. Davinci?"    

  Tubuh Paula menegang, suara itu...    

  ...    

  Xena menaikkan sebelah alisnya menatap Vrans yang kini sudah mengubah raut wajahnya menjadi sangat tegang. Sebenarnya ada apa dengan kekasihnya saat ini?    

  "Paula kenapa, Vrans?" Tanyanya sambil mengelus lengan Vrans dengan lembut. Ia benar-benar ikut penasaran karena laki-laki di sampingnya ini masih setia menaruh ponselnya di telinga kanan, namun tidak berbicara apapun.    

  Vrans mengecek ponselnya lalu membesarkan volume telpon, lalu menaruhnya di atas dashboard mobil. "Kita harus ke rumah Raquel."    

  "Raquel siapa? Kekasih baru kamu?"    

  "Jangan fitnah, Na. Raquel itu teman barunya Paula yang memberi gadis itu tempat tinggal."    

  Xena meniup anak rambutnya yang menjuntai mengenai permukaan wajahnya. "Memangnya Paula kenapa?"    

  Vrans melirik kaca tengah mobil, memperhatikan apakah di belakang mobilnya ada kendaraan lain atau tidak. Setelah aman, ia mulai melaju untuk memutar balik arah mobilnya. "Dia dalam bahaya."    

  Xena tersentak kaget, "KAMU SERIUS? AYO SEGERA TOLONGIN DIA!"    

  "Kamu jangan berisik, telponnya masih tersambung. Nanti kita bisa ketahuan."    

  Percakapan Paula dengan seseorang    

  //    

  "Siapa kamu?!"    

  "..."    

  "Keluar sekarang dari rumah ini atau aku akan memanggil pihak kepolisian?!"    

  "..."    

  "Iya, sebaiknya kamu takut!"    

  "..."    

  "Kamu..."    

  "..."    

  "Tidak! Kembalikan ponselku!!!"    

  "Oh, Hai Vrans. Kali ini aku tidak akan membiarkan berlian kecilmu lolos untuk kedua kalinya."    

  //    

  Tubuh Xena menegang begitu mendengar suara seorang laki-laki bersamaan dengan terputusnya sambungan telpon. Suara itu... ia sangat hapal dengan suara tadi!    

  "Sean?"    

  Vrans memukul stir mobilnya dengan keras. Bagaimana bisa laki-laki itu keluar dari penjara?! Ia tidak akan melepaskan Sean untuk kedua kalinya karena laki-laki itu memiliki niat yang masih sama seperti awal, yaitu menghabisi gadisnya.    

  "Bagaimana bisa, Vrans? Aku... takut." Cicit Xena sambil mendekatkan dirinya pada tubuh Vrans. Ia memeluk laki-laki itu dari samping dengan tubuh yang sudah gemetar.    

  Vrans menghela napasnya dengan kasar, entah apalagi yang diinginkan Sean sebagai langkah selanjutnya. Ia benar-benar marah jika laki-laki itu berhasil menyentuh Paula sedikit pun. Ia menepikan mobilnya lalu mengambil ponsel yang berada di dashboard mobil. Ia mulai menghubungi Erica dan Orlin untuk segera memberitahukan pihak kepolisian mengenai hal ini.    

  Xena sibuk menenggelamkan wajahnya di lengan Vrans. Ia tidak berharap apapun kecuali keselamatan orang-orang yang berada di dekatnya, begitu juga dengan Paula. Bagaimanapun gadis itu tetap bertanggung jawab dengan apa yang telah ia perbuat. Perlu di acungi jempol untuk hal ini. Setelah selesai menghubungi mereka, ia mulai mengutak atik ponselnya untuk melacak ponsel Paula saat ini.     

  Keringat mulai meluncur memenuhi pelipis Vrans. Dadanya bergemuruh saat tidak bisa mendapatkan sinyal dari manapun tentang keberadaan ponsel Paula. "Sial." gumamnya yang lagi-lagi memukul stir mobilnya. Ia berdecih, tidak dapat dipungkiri lagi jika dirinya masih menaruh rasa peduli terhadap sahabatnya, terlebih lagi Paula sudah kehilangan segalanya.    

  "Kenapa, Vrans?" Tanya Xena dengan raut wajah yang terlihat khawatir, ia menunggu jawaban apa yang akan di berikan oleh Vrans.    

  Dengan segera, Vrans mendekatkan wajahnya dengan wajah Xena. Menghapus jarak mereka, dan mulai melumat bibir mungil milik gadisnya.    

  Saat ini, ia benar-benar kehilangan arah untuk masalah yang ternyata belum tuntas.    

  Apa Sean berhasil lolos dari penjara?    

  Apa laki-laki itu menebus bayaran untuk keluar penjara mengingat banyaknya uang yang ia miliki?    

  Atau... Laki-laki itu memiliki akses dari dalam untuk membantu dirinya keluar?    

  Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di otak Vrans saat ini, membuat lumatan bibirnya pada Xena terasa semakin menggairahkan.    

  Xena yang sebelumnya tidak pernah merasakan hal selain lumatan yang lembut pun merasa kewalahan dengan tingkah Vrans. Ia berusaha menyeimbanginya dengan tangan laki-laki itu yang sudah menahan tengkuknya.    

  Vrans melepas lumatan mereka ketika sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Ia menghapus jejak salivanya yang berada di tepi pinggir bibir Xena dengan perlahan. "Maaf jika tadi sedikit kasar."    

  Xena menggeleng, lalu mendekati bibirnya ke telinga Vrans. "Tidak apa. Hal yang baru aku rasakan tadi... Benar-benar sangat memabukkan, bosayang!"    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.