My Coldest CEO

Tiga puluh sembilan



Tiga puluh sembilan

0  "AYO ERICA, KAMU KENAPA LAMA SEKALI SIH? INI ANTARA HIDUP DAN MATI!"    

  Erica memutar bola matanya dengan sangat malas. Bagaimana tidak? Lagi dan lagi ia terjebak di dalam situasi percintaan antara Orlin dan Niel, sangat menyebalkan!    

  "Iya, berisik." Ucap Erica dengan sedikit sebal.    

  Dengan sangat malas, ia membuka pintu belakang Niel. Lalu menatap si empunya mobil yang tengah mencium kening Orlin dengan sayang. Ah bagi Erica hal seperti ini sangat tidak cocok dengan kehidupannya yang sudah terlanjur datar dan melupakan rasa kasih sayang para laki-laki.    

  "Tadi yang meminta aku untuk buru-buru, siapa ya? Dan kini kalian bermesraan di depan aku? Kaliam sangat tidak sopan." Ucapnya sambil menyandarkan tubuhnya yang terasa pegal. Bayangkan saja dirinya baru ingin terpejam memasuki dunia mimpi, tapi Vrans dengan nada serius menelpon dirinya mengabari tentang pembunuh bayaran itu yang kembali lagi.    

  Ia lelah mengurusi Xena saat berada di pusat perbelanjaan siang tadi. Dan saat ingin beristirahat pun dirinya tidak bisa.     

  Orlin menjauhi dirinya dari Niel yang kini sudah mulai melajukan mobilnya menuju lokasi yang sudah dikirim Vrans melalui ponsel gadisnya, ia menoleh ke belakang melihat Erica yang sudah memejamkan kedua matanya.     

  "Kan sudah aku bilang beberapa kali untuk mencari seorang kekasih. Tidak akan rugi kok. Lagipula siapa tau nanti kamu menjadi sosok yang lebih menyenangkan." Ucap Orlin yang berhasil membuat kedua mata Erica terbuka kembali.    

  Erica menaikkan sebelah alisnya. " Kamu pikir mencari seseorang yang dapat memahami kehidupan kamu, memahami kesibukan kamu, memahami segala sifat kamu, memangnya semudah membalikkan telapak tangan?" Ucapnya dengan datar. Ia benar-benar tidak suka dengan pembicaraan yang Orlin tuju.     

  Orlin terkekeh. "Biasa aja kali ngomongnya, Ca. Jangan emosi juga." Ucapnya sambil menjulurkan lidahnya. Ia adalah gadis yang paling random di antara Erica dan Xena.    

  Erica menjerumus ke arah cuek tapi diam-diam peduli. Dan Xena masuk ke kategori gadis yang tidak tau malu dengan tingkahnya yang terlalu spontan dan terlihat blak-blakan.    

  Erica memutar bola matanya. "Diam, Lin. Kita lagi di situasi tegang. Kembali ke topik awal, tidak perlu membicarakan hal yang tidak penting seperti ini." Ucapnya sambil mengambil ponselnya. Ia melihat notifikasi dari nomor tidak di kenal.    

  Unknown Number    

  Jangan terlalu fokus mengejar sesuatu yang bahkan tidak ada hasilnya. Selamat menuju kesia-siaan, aku akan menunggu kalian.    

  Tubuh Erica menegang lalu memperlihatkan pesan tersebut ke Orlin, yang tentu saja membuat sahabatnya itu merasa kebingungan.    

  "Maksudnya apa sih? Bisa tidak seorang pembunuh bayaran tidak perlu menaruh banyak teka teki seperti ini?" Tanya Orlin sambil menatap wajah Erica yang hanya di balas bahu terangkat. Ia mengambil ponsel milik Erica, lalu menatap ke arah Niel yang kini raut wajahnya sudah sangat serius. Sepertinya laki-laki itu sudah dalam mode waspada karena tidak ingin membuat gadisnya dalam bahaya untuk kedua kali tanpa pengawasannya.    

  Orlin membacakan pesan dari nomor tidak di kenal itu dengan lantang dan menanyakan maksudnya kepada laki-laki yang berstatus sebagai kekasihnya. Ia mengakui dalam hal seperti ini, Niel terbilang sangat ahli.    

  Niel sedikit mengernyit, sepertinya ia sedang berpikir. Lalu sedetik kemudian, ia menginjak rem pada mobil membuat tubuh Erica terhuyung ke dapan.    

  "KALAU INGIN BERHENTI MENDADAK, SETIDAKNYA BERI TANDA-TANDA TERLEBIH DAHULU, NIEL!" Pekik Erica dengan sangat kesal. Bayangkan saja wajahnya berhasil menubruk punggung belakang kursi milih Orlin. Ia menajamkan tatapannya ke arah Niel yang kini hanya mengangguk tengkuknya yang tidak gatal.    

  "Maaf, Ca." Ucap Niel seadanya saja.     

  Sudah terlihat seperti nyamuk yang hadir di tengah-tengah mereka, tidak ayal juga ia yang terkena sial akibat salah satu dari mereka. Menyebalkan.    

  Untung saja mereka kini berada di kawasan yang tidak terlalu ramai sehingga berhentinya mobil milik Niel yang mendadak tadi tidak mengundang kecelakaan dalam bentuk apapun.    

  "Sepertinya kita hanya di pancing ke tempat yang salah. Ini sama sekali bukan tujuan Sean."    

  Orlin menaikkan sebelah alisnya. "Memancing ikan? Bukannya kita ingin menyelamatkan Paula?"    

  Erica mendengus lalu menjitak pelan kepala Orlin. "Kamu sepertinya sudah tertular Xena syndrome."    

  ...    

  "Oh, Hai Vrans. Kali ini aku tidak akan membiarkan berlian kecilmu lolos untuk kedua kalinya."    

  Paula membulatkan matanya kala Sean yang berhasil merebut ponsel dari tangannya. Laki-laki itu mematikan sambungan telepon tanpa banyak basi basi lagi dan meletakkan ponsel miliknya si atas laci panjang yang terdapat banyak gucci mahal. "Hei, kembalikan ponsel ku!"    

  Sean tersenyum miring. "Kamu terlalu bodoh untuk ukuran gadis yang berada satu lingkungan dengan Klarisa Vanaya Wesley dan Vrans Moreo Luis. Sangat memprihatinkan." Ucapnya sambil terus berjalan ke arah Paula yang kini menunjukkan sorot mata ketakutan.    

  "Aku sudah bilang hentikan hal ini, Sean. Kenapa kamu masih melanjutkannya?"    

  "Kamu pikir mudah ya untuk mendapatkan Xena?"    

  "Tapi--"    

  "Aku akan selalu menuntaskan apapun yang sudah masuk ke dalam list kematian ku."    

  Dengan segera, Sean mengeluarkan pistol dari saku belakang celananya. Beruntung sekali ia pintar IT untuk mematikan seluruh pusat keamanan yang berada di rumah ini dan juga banyak sekali ilmu pengecohan yang diajarkan oleh Hana pada dirinya.     

  Paula menggeleng kuat dengan bulir air mata yang sudah membasahi pipinya. "Kita sudahi saja semuanya secara damai, Sean." Lirihnya karena kini langkah mundurnya semakin terkikis mendekat ke dinding.    

  Masih dengan langkahnya yang semakin mendekat ke arah Paula, ia sudah mengarahkan pistol andalannya yang selalu ia pakai untuk menghabisi para korbannya dengan sekali tembakan.    

  "Dan sayangnya aku tidak pernah berdamai pada siapapun termasuk pelanggan ku."    

  DOR    

  Tubuh Paula terjatuh seketika dengan darah yang sudah membanjiri lantai dari arah kepala gadis itu yang sudah berlubang karena ulah tembakannya. Ia tersenyum miring. Soal penghuni rumah yang berada disini sudah ia tuntaskan dengan caranya yang tidak boleh diberitahukan oleh siapapun. Cara seorang pembunuh bayaran, sangat rahasia.    

  Ia tersenyum miring lalu berjongkok untuk melihat lebih dekat wajah Paula. Wajah yang sangat lugu dan terlihat seperti gadis baik-baik namun ternyata bisa berubah menjadi sosok yang mengerikan. Ia menyampirkan helaian rambut Paula ke belakang telinga gadis itu.     

  "Selamat tinggal, gadis bodoh."    

  Dean bangkit berdiri lalu berjalan untuk mengambil ponsel Paula yang sempat ia taruh di atas laci. Saatnya untuk mengecoh lawan.     

  Ia berjalan keluar rumah tanpa berniat untuk membersihkan jejak dirinya yang berada di rumah ini. Untuk menyingkirkan jasad Paula saja ia tidak berminat.    

  Dengan cepat, ia berlari masuk ke dalam mobil milik Paula.     

  Mobil Lykan Hypersport seharga $3,4 juta menjadi andalan gadis itu. Ternyata seleranya tidak main-main untuk ukuran seorang gadis yang sudah hampir kehilangan seluruh hidupnya. Ah tidak, ralat, gadis itu bahkan sudah kelihatan semuanya. Termasuk kesempatan berada di dunia ini.    

  Ia segera melaju meninggalkan pekarangan rumah ini dengan perasaan semangat membunuh target selanjutnya.    

  "Karena sang pemicu sudah aku habisi, sekarang giliran kamu untuk menunggu kedatanganku, Xena."    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.