My Coldest CEO

Tiga puluh tujuh



Tiga puluh tujuh

0  Vrans menatap langit yang mulai menyembunyikan sinarnya di balik gumpalan awan, pertanda ingin turun hujan. Laki-laki itu menghela napasnya lalu menatap seorang gadis yang saat ini tengah menatap ke arah ujung sepatunya dengan perasaan gelisah.    

  "Apa yang kamu inginkan lagi?" Tanya Vrans tanpa ingin berbasa-basi lagi.    

  Terlihat gadis itu yang mulai mengangkat wajahnya, sorot wajah sendu yang sangat memilukan hati Vrans. "Aku ingin meminta maaf, tolong maafkan aku, Vrans. Kembalikan Klarisa padaku, cukup kamu dan orang-orang terdekatku saja yang pergi menjauh." Lirih gadis itu dengan sorot mata sendu yang tidak pernah diperlihatkan di depan wajahnya secara langsung, baru kali ini.    

  Vrans lagi-lagi menghela napasnya. Ia tidak bisa bertindak sepengecut ini, kini ia terlihat seperti seorang laki-laki yang tidak memiliki perasaan.    

  "Lalu, aku harus apa, Paula? Kamu yang memulai semuanya, seharusnya kamu tau resikonya."    

  Paula menarik napasnya sedalam mungkin, sesak yang ia tahan selama ini seakan-akan mendesak meminta jalan keluar supaya perasaannya lega. Ia menatap Vrans dengan sorot mata yang siap menangis jika dirinya berkedip. "Maaf kan aku, maaf. Aku hanya merasa tidak memiliki siapapun lagi, Vrans. Jika kamu bersama dengan Xena, maka bagaimana denganku?"    

  Vrans menatap Paula dengan tatapan dalam. Ia memang sedikit iba dengan sahabatnya yang satu ini. Kehidupannya yang tidak mudah dan ditinggal oleh orang-orang yang di sayang secara permanen memang bukanlah hal yang mudah. "Tapi kamu tidak perlu melakukan ini semua. Aku masih ada buat kamu, aku masih menjadi Vrans yang kamu kenal, La." Ucapnya.    

  "Kamu tidak pernah tau bagaimana rasanya ada di posisi aku, Vrans. Kamu terus menerus menolak kehadiran aku dan selalu menganggap aku sebagai adik kecil kamu. Disaat aku mendekat, kamu menolak dengan sejuta perasaanmu pada Klarisa. Kamu bahkan tidak pernah tau bagaimana rasa sakitnya. Karena Klarisa, masih merespon kamu, masih menganggap kehadiran kamu walau hanya sekedar sahabat. Tapi aku? Aku tidak pernah merasakan balasan apapun dari kamu. Untuk sekedar menemani diriku pergi ke toko buku saja kamu tidak mau, namun kamu bisa pergi bersama Klarisa ke pusat perbelanjaan. Aku mohon, untuk kali ini saja, Vrans. Aku benar-benar kehilangan rasa simpati Klarisa kepada diriku. Aku kehilangan arah, aku kehilangan segalanya."    

  Vrans hanya tersenyum simpul. Semua yang dikatakan Paula benar adanya. Ia sebenarnya tidak membenci gadis ini, namun segala perlakuannya seakan-akan tidak akan bisa hilang dari pikirannya. Bayangkan saja, sahabat yang selama ini selalu ada di dekat dirinya ternyata menjadi duri yang sesakit ini. Menyakiti orang yang ia sayang. Kenapa dunia sejahat ini?     

  Ia menghela napasnya, berusaha memaafkan Paula secara perlahan. "Baiklah, aku akan jelaskan pada Klarisa tentang penyakit tipuan kamu supaya dia tidak salah paham dan menganggap kamu buruk. Namun untuk kasus pembunuh bayaran ini, kamu aman. Jangan bersedih lagi."    

  Dengan perlahan, Vrans memeluk tubuh Paula. Bagaimanapun juga, gadis ini sudah menemani hari-harinya ketika Klarisa sibuk bersama Damian. Gadis ini pernah mempunyai posisi paling penting di hidupnya, tidak kalah penting dengan kehadiran Klarisa. Paula hanya salah tanggap, gadis itu salah paham.    

  Paula membalas pelukan Vrans sangat erat, mencium kuat aroma maskulin dari laki-laki yang sialnya masih menjadi bagian utama di dalam hatinya. Katakan jika ia bodoh, memang. Ia benar-benar tidak mengerti harus bagaimana.    

  "Xena beruntung mendapatkan kamu, Vrans. Andai saja aku lebih dulu bertemu dengan dirimu, hidupku pasti tidak akan sehancur ini. Aku merindukan Valleri, Hellen, bahkan aku rindu dengan Leonard. Dan sekarang, aku harus mengembalikan kepercayaan Klarisa dan juga dirimu lagi." Lirih Paula, air mata sudah menetes membasahi kedua pipinya.    

  Vrans berdesis memperingati Paula untuk tidak berbicara lebih yang menimbulkan luka di hatinya. Ia mengelus lembut puncak kepala Paula.     

  "Aku masih Vrans yang kamu kenal, maafkan aku, jangan khawatir. Kemarin aku hanya terbawa suasana saja."    

  Banyak hal yang harus Paula jadikan pelajaran untuk saat ini, rasa sesak, penyesalan, dan segala bentuk rasa yang mulai menghancurkan dirinya secara perlahan. "Aku sudah mempunyai tempat tinggal, aku bertemu dengan Raquel Tathtion." Ucapnya sambil melepas pelukannya dengan Vrans. Ia tidak ingin mengundang banyak perhatian dari orang-orang yang masih sempat berlalu lalang. Apalagi Vrans cukup di kenal banyak orang karena posisinya yang menyandang status pengusaha muda.    

  "Siapa dia?"    

  "Entahlah, aku bertemu dengannya saat ingin makan malam. Dia berasal dari Paris, dan pernah bertemu dengan Klarisa dan Damian saat sedang berada di negaranya."    

  Paula menatap dalam wajah Vrans yang mungkin ia akan rindukan. Ia ingin berhenti mencintai sesuatu yang tidak pernah ditakdirkan untuk dirinya.    

  "Satu ciuman perpisahan, boleh?"    

  ...    

  Xena menghentakkan kakinya kesal. Ia menatap layar ponsel dengan berjuta perasaan cemas. Pasalnya, Vrans sedari tadi tidak mengirimkan dirinya pesan.     

  "Kamu kenapa, Na? Kelihatannya gelisah sekali." Tanya Orlin sambil memasukkan sesuap es krim caramel dengan topping kacang ke dalam mulutnya. Ia pecinta makanan yang mengandung kacang. Banyak gadis yang menghindari kacang karena mampu menimbulkan jerawat bagi sebagian orang, tapi Orlin tetap tidak peduli akan hal itu.     

  Hari ini mereka menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan sesuai rencananya siang tadi. Namun Vrans tidak bisa ikut bersama mereka karena ada urusan penting, katanya. Dan sialnya sekarang laki-laki itu tidak ada kabar sama sekali.    

  Menyebalkan.    

  "Vrans tidak ada kabar!" Pekik Xena dengan raut wajah yang sangat menyedihkan.     

  Erica memutar kedua bola matanya, ia mencebik kesal. "Ayolah Xena, setidaknya lupakan Vrans saat sedang bersama kita." Ucapnya dengan nada yang sedikit sebal.    

  Orlin mengangguk setuju. Buktinya ia tidak terlalu memikirkan Niel. Toh dirinya tau jika laki-laki itu punya kehidupan selain bersama dirinya.    

  Karena panutan Orlin adalah jika laki-laki yang berstatus kekasihnya sedang berada jauh, maka kesetiaannya akan di uji. Jika berselingkuh ya lepaskan, cari yang baru.     

  Seperti itu kira-kira.    

  Xena menghembuskan napasnya kasar. "Iya oke, tapi traktir aku ramen ya! Aku lapar sekali." Ucapnya sambil memasang senyum konyol andalan seorang Xena.     

  Erica merangkul bahu Xena, lalu membisiki sesuatu ditelinga gadis itu seperti kalimat magic yang mampu menyihir Xena.     

  "Kalau begitu ya aku mau lah!" Seru Xena sambil meninju udara. Entah apa yang telah Erica bisikkan pada gadis itu, namun terdengar sangat menarik bagi Xena.    

  Orlin menaikkan sebelah alisnya begitu melihat Xena yang sudah melesat menuju salah satu restoran jepang yang berada di dalam mall dengan tingkah kekanak-kanakannya.    

  "Kamu bilang apa pada Xena?"    

  "Aku hanya bilang, dia boleh makan sepuasnya dan nanti aku yang bayar."    

  Orlin memasang raut wajah gembiranya. "Asik, berlaku untuk aku juga kan?!"    

  "Tidak, aku hanya ingin mengalihkan perhatian dia saja. Aku ada informasi penting." Ucap Erica dengan nada yang sangat serius.     

  Orlin menaikkan sebelah alisnya merasa penasaran dengan apa yang akan di katakan Erica selanjutnya.    

  Erica mengubah raut wajahnya menjadi datar. Lalu ia mengangkat tangan kanannya yang terdapat ponsel milik Xena.     

  "Lihat."    

  Orlin mengambil ponsel tersebut, lalu melihat apa yang diarahkan oleh Erica. Ia membelalakkan kedua matanya.    

  Disana ada notifikasi dari nomor tidak di kenal, yang mengirim sebuah foto, menampilkan kedua orang yang mereka sangat kenal.    

  Vrans dan Paula.    

  Berciuman.    

  "Brengsek." Gumam Orlin yang sudah menahan amarahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikir Vrans. Entahlah, ini seperti bukan akhir dari segalanya.    

  Erica menggeleng, lalu segera mengirimkan foto tersebut ke ruang pesan miliknya dan menghapusnya di ponsel milik Xena. Ini tidak boleh terjadi.     

  Jika Xena melihat hal ini, dapat diyakinkan pasti gadis itu akan kepikiran dalam jangka waktu yang panjang.    

  Sebenarnya, amnesia Xena sembuh bukan karena ciuman yang semata-mata diberikan oleh Vrans. Melainkan gadis itu melihat salah satu foto Vrans dengan Klarisa yang di suguhkan oleh Orlin karena sahabatnya itu yang tidak sabar dengan tingkah Xena yang melupakan mereka semua.     

  Xena berpura-pura masih sedikit amnesia kepada Vrans, karena ingin melihat seberapa seriusnya laki-laki itu pada dirinya. Seberapa tulusnya dan seberapa rasa sayangnya.    

  Dan ketika hal itu sudah terwujud, jangan terjadi hal itu lagi untuk yang kedua kalinya hanya karena ulah nomer yang tidak dikenal ini.    

  Karena Erica yakin, dengan adanya foto Vrans dengan Paula yang berciuman seperti ini. Tidak dapat dipungkiri jika saraf otak Xena yang rusak mungkin dapat menimbulkan rasa sakit di kepala yang sangat menyakitkan.    

  Dan ia tidak ingin hal itu terjadi.    

  "Tapi sepertinya kita harus menyelidiki hal ini terlebih dahulu."    

  Erica sepertinya lebih pantas menjadi detektif daripada menjadi sekretaris di perusahaan Vrans.    

  Orlin berusaha mengatur emosinya, Erica benar. Siapa tau ada seseorang yang ingin menghancurkan Xena untuk kedua kalinya. Bisa jadi, kan?    

  "ORLIN, ERICA, KENAPA AKU SENDIRIAN? KEMARILAH! JANGAN HANYA DIAM DI SANA SAJA!"    

  Orlin dan Erica menepuk keningnya secara bersamaan. Astaga Xena benar-benar memalukan!    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.