My Coldest CEO

Dua puluh lima



Dua puluh lima

0  Hari ini Xena memutuskan untuk cuti sesaat, semalam dirinya mimpi buruk mengenai hari kecelakaannya terulang jelas di mimpi membuat dirinya merasa trauma. Ia melangkahkan kaki menuju pantry, disana sudah ada seorang chef yang sedang cleaning kitchen. Dia seorang pekerja yang giat, terlebih lagi masakannya sangat lezat. Lebih dari kualitas bintang lima jika di bandingkan. Karena Leo tidak ingin kualitas gizi Vrans menurun, makanya ia tidak segan untuk mempekerjakan chef dengan kualitas tinggi. Entah berapa biaya yang dihabiskan keluarga Luis. Tidak perlu dibayangkan.    

  "Dion, aku lapar." Ucap Xena sambil duduk di meja makan yang terletak dekat dari kitchen.    

  Chef Dion mengangguk lalu tersenyum sopan. "Sepertinya biasa, nona?" Tanyanya yang sudah menebak, ia sangat hafal dengan menu yang akan diminta oleh kekasih Tuan rumahnya.    

  Xena mengangguk semangat lalu memberi Chef Dion dua jempol terbaik miliknya. Baru saja ia ingin mengatakan sesuatu tentang masakan italia, bel rumahnya berbunyi.    

  "Saya saja yang membuka pintunya, Nona." Ucap Chef Dion dengan sopan.    

  "Tidak, aku saja. Kamu lanjut memasak."    

  Xena melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Ia membuka pintunya, dan tidak terlihat siapapun disana. Baru saja ia ingin berbalik badan, kakinya menendang sesuatu. Seperti kotak kecil berwarna hitam. Tanpa basa basi lagi, ia mengambilnya.    

  "Punya siapa ya?"    

  Ia segera membuka kotak tersebut. Hanya ada sebuah surat yang dilipat berkali-kali. Dengan rasa penasaran, ia membuka kotak tersebut.     

  :envelope:    

  Pemicunya sudah kalah, tapi kami akan melanjutkannya. Selamat menjalani hari dengan nikmat, ingat besok kamu tidak akan bisa menikmati kehidupan ini lagi.    

  :envelope:    

  Tubuh Xena menegang. Apa-apaan ini?! Berusaha mengatur deru napasnya, ia menaruh kembali kertas itu kedalam kotak. Ia tau, ada yang ingin bermain-main dengannya. Baiklah, ia akan menunggu permainan itu.    

  Dengan wajah datar, Xena kembali masuk sambil membawa kotak itu di tangan kirinya. Ia kembali menuju Chef Dion yang masih menyiapkan masakan untuknya.    

  "Apa ada tamu, nona?" Tanya Dion, ia ingin membuat untuk dua porsi jika ada seseorang yang bertamu.     

  Xena menggeleng. "Tidak, Dion." ucapnya dengan senyum simpul. Ia tidak mungkin memberitahu Dion akan hal ini, sudah pasti laki-laki itu akan mengatakannya kepada Vrans.    

  Chef Dion mengangguk lalu kembali berkutat pada pisau dapur dan bahan masakan lainnya.    

  Delmonico's steak. Salah satu dari sekian banyaknya makanan yang Xena sangat sukai.    

  Xena mengambil ponselnya. Lalu membuka aplikasi untuk bertukar pesan. Ia membuka kontak Vrans.    

  Xena    

  Vrans?    

  Bosayang    

  Apa, sayang?    

  Xena    

  Tidak ada apa-apa.    

  Xena menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Apa ia harus membicarakan hal ini pada Vrans? Mengingat laki-laki itu yang semakin sibuk dengan pekerjaannya, membuat dirinya tidak tega untuk memberitahu hal ini. Namun jika ia tidak memberitahu, apa yang akan terjadi pada dirinya?    

  Bosayang    

  Kamu membuatku penasaran, gadis Pluto.    

  Xena    

  Hei jangan memanggilku seperti itu, bosayang!    

  Xena menggembungkan pipinya. Ia sangat sebal jika nama panggilan untuknya itu terbilang sangat aneh dan menyebalkan. Ia saja memanggil Vrans dengan sebutan bosayang, keren dan elegan. Kenapa dia dipanggil gadis Pluto? VRANS MENYEBALKAN!    

  Semenjak dirinya berada di rumah Vrans, Tasya dan Liam bekerja dengan perasaan tenang. Mereka juga merasa kekhawatiran yang cukup pekat, tapi sebelumnya ego menguasai mereka, tapi sekarang sudah tidak lagi kok! Membuat Xena menekuk senyumnya, lagi-lagi sosok yang ia butuhkan dalam hidupnya memilih bekerja dibandingkan dirinya.    

  Untung saja, Vrans sudah luluh dengannya. Memang benar ya, seseorang harus di sadarkan terlebih dahulu kalau dia punya perasaan lebih pada orang lain.    

  Saat orang yang ia cintai perlahan pergi, baru dirinya sadar dengan kehilangan sosok tersebut dan ia kejar untuk mendapatkannya kembali. Apa semua manusia seperti itu?     

  Jatuh cinta itu memang butuh persiapan yang matang. Urusan orang itu mencintai balik atau tidak, itu bukan hak kamu. Jangan membenci karena cinta yang tidak terbalas. Sekali lagi, cinta tidak harus memiliki.    

  "Dion, tolong buatkan untuk dua porsi."    

  Ia akan meminta Vrans pulang dari kantor saat ini juga, rindu katanya.     

  ...    

  Paula menghela napasnya perlahan menatap rumah sederhana yang kini ia tinggali bersama Grandpa-nya. Sudah cukup sandiwaranya saat ini, ia lelah.     

  Ia menenteng tas ransel yang berisi peralatan mandi dan beberapa baju santai yang ia kenakan ketika berada di rumah sakit. Untung saja, Grandpa-nya memiliki kenalan dokter disini. Dan ia, meminta bantuan dokter tersebut untuk hal semacam ini. Tentunya, alasannya ia belokan seratus delapan puluh derajat. Tidak mungkin kan ia melakukan hal seperti itu untuk menyelakai Xena? Bisa-bisa sebelum perang sudah tumbang duluan.    

  Namun rencana itu kini hanyalah ilusi semata. Ia sudah tidak berniat memiliki Vrans. Ia takut jika perasaan ini hanya obsesi, bukan rasa sayang. Ia takut akan melukai Vrans yang notabenenya menganggap dirinya sebagai sahabat sekaligus adik.    

  Harusnya, ia tidak mengacaukan ini semua. Ia tahu setelah ini pasti ada bencana besar yang menimpa dirinya. Mungkin yang lebih buruk lagi, orang-orang yang ia sayangi akan merasa kecewa yang luar biasa.    

  "Grandpa, Paula pulang!" Teriak Paula yang menggema di seluruh sudut ruangan.    

  Ia melihat Rizky, atau lebih baik dikenal dengan Grandpa Riz, sedang duduk di kursi goyang miliknya sambil membanca surat kabar.    

  Granpa Riz menoleh, lalu tersenyum hangat. "Sudah menginap dirumah temanmu? Apa sudah puas?"    

  Ya, Paula berbohong akan menginap ke rumah temannya selama beberapa hari. Namun kalian tau sendiri, bukan? Ia tidak mengenal siapa-siapa disini selain Grandpa Riz dan Vrans. Mengenai kedua adik kakak yang membantunya dalam rencana menyingkirkan Xena, ia sebenarnya tidak mengenal mereka. Katanya mereka adalah pembunuh bayaran. Dengan card ATM yang Valleri tinggalkan untuknya, ia membayar dua orang tamak itu sebesar 100 juta rupiah --jika di ubah ke dalam mata uang Indonesia--.    

  "Iya, Granpa Riz. Apa Paula terlalu lama meninggalkan Grandpa?"    

  Paula menghampiri Grandpa Riz, lalu mencium telapak tangan yang kulit tubuhnya sudah mulai kendur.    

  "Tidak, Grandpa disini kan juga diurusi dengan Valen."    

  Paula tersenyum. Ia bahagia mengingat tetangga di samping rumah yang ia tempati sekarang memiliki tetangga sebaik Valen. Wanita yang seumuran dengannya namun cenderung tidak banyak bicara.    

  "Jaga kesehatan, Grandpa."    

  "Kamu juga."    

  Tiba-tiba dada Paula semakin sesak mengingat kemungkinan yang akan terjadi padanya. Apa ia akan menghancurkan hati kecil milik Grandpa Riz? Apa reaksi Klarisa dan Vrans nanti? Apa mereka akan menjauhi dirinya?    

  Siapapun, ia hanya pihak yang dirugikan saat ini. Pernah mencintai seseorang yang sama sekali tidak melirik perasaanmu? Dan tiba-tiba ia dekat dengan wanita lain yang bahkan baru dalam hidupnya. Kalian tau rasanya? Sangat menyakitkan. Pasti kalian akan bertindak hal yang sama dengan Paula. Eh? Tidak, orang gila seperti apa yang merencanakan aksi pembunuhan untuk orang lain karena cintanya tidak terbalas?     

  Jangan bertindak konyol, itu akan membuat orang yang kamu cintai semakin menjauh dari mu.    

  "Kalau nanti Paula melakukan kesalahan dan membuat orang-orang marah, maafin Paula ya Grandpa. Aku sayang Grandpa Riz lebih dari apapun."    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.