My Coldest CEO

Dua puluh delapan



Dua puluh delapan

0  "Siapa kamu?" Tanya Xena yang sudah melemas.     

  Terdengar gadis itu tertawa senang. "Kamu adalah pasien ku. Selamat memasuki zona merah. Kematian ada di depanmu."    

  Xena membelalakkan matanya, sepertinya gadis ini sudah gila! "JANGAN MACAM-MACAM ATAU AKU AKAN--"    

  "Akan apa?!" Tantang Hana sambil menodongkan pistol ke arahnya. Ia sudah sangat tidak sabar untuk membunuh Xena, korban kesekian puluh orang yang sudah tamat riwayatnya. Jiwa pembunuhnya sangat kuat di bandingkan dengan Sean. Dia salah satu pembunuh bayaran terhandal yang kerjanya sangat bersih dan hati-hati. Namun kali ini tidak, ia mengikuti langkah Sean.    

  Sean tiba-tiba datang dan menghadang pistol yang ingin di tembakkan ke arah Hana. Gadis itu terkadang sangat mudah membunuh tanpa ingin bermain-main dengan korbannya. "Jangan dulu!"    

  Hana berdecih dan menatap Sean dengan beringas, jiwa iblis-nya sudah keluar saat ini juga. Ia tidak main-main saat ingin membunuh Xena, ia tertarik dengan gadis itu. "Tidak perlu ikut campur!"    

  Tanpa aba-aba, Sean berlari ke arah Xena dan langsung membekap mulut gadis itu dengan sesuatu yang dapat membuatnya pingsan. "Ada orang lain di depan." Ucapnya dengan nada serius membuat Hana mengumpat kasar.    

  Di saat dirinya sudah ingin membunuh seseorang, inilah yang paling menyebalkan. Pasti ada yang membocorkan rencana mereka, sepertinya Paula. Hanya gadis itu yang tahu jika mereka akan melakukan hal ini kepada Xena. Dengan segera, Hana mengambil sebuah kertas dan pulpen yang tergeletak dekat dengan buku telepon, beruntung sekali. Ia segera menuliskan pesan singkat disana, dan langsung menaruhnya pada genggaman tangan Chef Dion yang sudah terkulai lemas.    

  Setelah itu Hana segera menuntun Sean yang sudah menggendong Xena dengan menggendong ala bridal style. Dengan cekatan, mata Hana menelusuri mencari celah untuk cepat menghilang dari rumah besar ini. Ia yakin siapa yang di bicarakan oleh Sean pasti adalah pemilik rumah ini, Vrans Moreo Luis.    

  Aman.     

  Mereka mulai berlari pelan menuju mobil box yang ternyata adalah kendaraan penyamaran miliknya. Ia tertawa senang ketika berhasil menculik Xena. Satu permainan akan segera terselesaikan dengan mudah.    

  Sepertinya Hana bukan sekedar pembunuh bayaran, tetapi jiwa psikopatnya juga keluar.    

  "Gas mobilnya!" Pinta Hana pada Sean yang sudah berhasil menaruh tubuh Xena yang terkulai tidak berdaya di jok belakang.     

  Dengan secepat kilat, Sean mengangguk dan langsung saja melajukan mobilnya. Hana sibuk melihat ke arah spion takut jika Vrans berhasil mengejar mereka, ah ternyata tidak, mereka benar-benar bodoh.    

  "Kita berhasil." Gumam Sean dengan senyum jahatnya. Ia hanya seorang pembunuh bayaran yang masih pemula, hal seperti ini sangat menakjubkan baginya. Apalagi bekerja dengan Hana yang termasuk pembunuh yang sangat handal. Gadis itu tidak pernah kehilangan jejak mangsanya dengan begitu saja. Pasti semua hama yang masuk ke dalam list buku kematiannya tersingkirkan.    

  Hana hanya mengangguk dan sudah memikirkan hal apa yang mungkin akan ia lakukan pada Xena. Gadis itu terlalu menggemaskan untuk di siksa, namun ini adalah misinya. Tidak ada seorang pembunuh bayaran yang melakukan perintah hanya setengah jalan, apapun resikonya. Lagipula Paula sudah membayarnya jauh lebih mahal daripada orang lainnya, anggap saja ini ucapan terimakasih yang akan di sesali oleh gadis itu. Jahat? Tidak, seorang pembunuh bayaran harus bersikap seperti dirinya. Kalau tidak, bisa-bisa kalian mati di tengah jalan karena terlalu lengah dan tidak siap dengan konsekuensinya. "Biasa, gedung tua."    

  Seakan sudah mengerti, Sean langsung saja mengambil jalan tikus untuk lebih cepat sampai. "Matikan ponsel milih gadis itu, Na. Jangan sampai mereka melacak keberadaan kita."    

  "Tidak perlu, kita akan selesaikan ini secepatnya."    

  ...    

  "INI SALAH KAMU PAKAI ACARA RENCANA-RENCANA SEGALA, CA!"    

  Orlin menatap Erica dengan tajam, ia sangat marah mengetahui fakta jika Xena sudah tidak lagi berada di rumah ini. Ia marah dan kesal saat dirinya tidak membantah ucapan Erica yang sangat membuang-buang waktu.     

  Erica menggaruk tengkuknya. "Maaf."    

  "Berisik." Ucap Vrans dengan dingin, ia menatap tubuh Chef Dion yang sudah tergeletak di ubin dengan bersimbah darah. Sungguh ia tidak akan memaafkan siapapun yang melakukan hal ini.     

  Orlin dan Erica bungkam, saling meminta maaf dengan tatapan mata mereka. Kejadian ini sangat mengganggu emosi dan tenaga. Tidak ayal juga terkadang Orlin lepas kendali seperti histeris di dalam mobil tadi sampai saat ini yang sudah memaki Erica tanpa sadar.    

  "Aku nemuin ini."    

  Mereka bertiga menoleh ke arah Paula yang sudah menggenggam sebuah kertas. Dengan penasaran mereka mendekati gadis itu untuk mengetahui apa yang tertuliskan disana.    

  Secepat apapun kamu, malaikat kecilmu sudah di dalam genggaman tanganku. Seperti sang rembulan yang membutuhkan bintang. Tanpa adanya bintang, langit malam tidak akan secantik biasanya. Begitu juga dengan definisi Vrans tanpa Xena. Hancur.    

  Vrans merebut paksa kertas tersebut, lalu menyimpannya dengan emosi yang sudah naik sampai kepala. Ia segera menghubungi beberapa pihak polisi dan langsung berlari menuju mobilnya. Ia menyuruh para gadis untuk tetap disini menunggu polisi yang bertugas untuk menyelidiki kasus ini. Sedangkan Vrans yang terpaksa membawa Paula bersamanya untuk menjadi saksi mata ketika sebagian polisi yang lainnya sudah menemukan keberadaan kedua pembunuh itu.    

  "Kalau Xena sampai terluka, kamu akan tahu akibatnya, Paula."    

  Paula meneguk salivanya dengan susah payah. Ia benar-benar siap dengan segala konsekuensinya, tapi jika Vrans yang mengatakan rasanya lebih menyeramkan dari yang ia bayangkan. "Aku bisa melacak sinyal ponsel Xena." Ucapnya dengan nada serius. Ia bersungguh-sungguh ingin membantu mereka.    

  Vrans yang sudah tidak punya pilihan lainpun menurut saja dan mendengarkan setiap aba-aba yang Paula berikan padanya. Jalanannya lumayan sepi dan sulit terjangkau karena selain sempit seperti jalanan ini sangat mudah untuk dijadikan akses beberapa kriminal untuk beraksi di atas motornya, bisa di bilang begal kalau bahasa gaulnya.    

  "Vrans, maaf."    

  "Aku tidak membutuhkan mata maaf itu saat ini, Paula."    

  "Tapi aku benar-benar menyesal."    

  "Dan aku tidak peduli."    

  "Vrans, ku mohon."    

  "Lebih baik, perhatikan ponsel mu dan teruslah arahkan kepadaku kemana jalannya!"    

  Vrans emosi sekali saat ini. Sudah lama ia menganggap Paula sebagai adiknya yang tersayang, namun status 'tersayang' itu selalu disalah artikan oleh Paula. Untuk ukuran seorang laki-laki, Vrans sangat paham gerak gerik Paula yang menyukainya dari dulu. Namun tetap saja, hatinya memilih Klarisa, bahkan sekarang sudah berpindah tempat ke Xena. Apa mungkin itu yang membuat gadis ini seperti ini? Baiklah ini benar-benar rumit dan sangat membingungkan.    

  Saat cinta tidak bisa dimiliki, disitulah ada celah iblis untuk masuk ke relung hati kita, membisikan sesuatu yang mungkin kedepannya bisa menghancurkan dirimu.    

  "Kita tidak punya banyak waktu, Vrans. Lajukan mobilnya lebih cepat lagi." Pinta Paula dengan sedikit takut. Untuk berbicara dengan Vrans saja rasanya sudah tidak mampu.    

  "Aku sedang berusaha."    

  Hati Vrans sangat cemas. Ia takut jika dirinya terlambat sebentar saja, Xena pasti sudah tidak berada di dunia ini lagi. Setahunya, pembunuhan bayaran sangat mustahil untuk melepas targetnya.    

  "Hubungi polisi, berikan lokasi yang kamu ketahui tentang keberadaan mereka."    

  "Baik, semoga dengan cara ini kamu akan memaafkan aku, Vrans."    

  "Berisik."    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.