My Coldest CEO

Tiga puluh satu



Tiga puluh satu

0  Xena menatap sendu peti mati yang terukir nama DIONAIL LUXARD.     

  "Selamat jalan, Dion. Jangan lupa nanti disana kita ketemu lagi. Xena nanti mau minta buatin banyak makanan." Gumamnya sambil menaruh buket bunga di atas peti mati itu. Matanya mulai memerah, dan tangannya bergetar menahan tangis yang luar biasa. Kata Vrans, seseorang yang sudah pergi tidak boleh ditangisi supaya tenang disana. Namun Xena tidak bisa, ia tidak tahan melihat kepergian Chef Dion di depan matanya sendiri, tertembak secara langsung dengan cara sangat tragis.    

  "Xena mohon jangan tinggalkan aku. Nanti siapa yang buatin aku makanan, nanti siapa yang mengajak aku mengobrol sewaktu Vrans kerja? Siapa, Dion?..." Lirihnya sambil memeluk erat peti mati yang di design khusus untuk chef Dion, pemberian dari Vrans dengan desain yang sangat mewah.    

  Rasa sesak memenuhi dadanya kala mengingat hal konyol yang laki-laki berumur ini lontarkan kepadanya. Chef Dion mungkin seumuran dengan ayahnya, mungkin sedikit lebih tua. Sosok yang ceria dan tidak terlalu tegas.    

  "Vrans, semua salah aku ya?"    

  Vrans menatap Xena yang kini sudah sangat berantakan, mata sembab dan hidungnya memerah. Dengan cepat, ia memeluk tubuh gadis itu dengan erat, menyalurkan kasih sayang yang luar biasa. Membisikkan kalimat yang bisa membuat gadisnya merasa sedikit tenang. Ia tidak ingin melihat Xena bersedih seperti ini, hatinya sakit. Apalagi saat gadis itu selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Chef Dion.     

  "Semuanya sudah ditakdirkan seperti ini, Xena. Kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri." Ucap Vrans sambil mengelus lembut puncak kepala Xena.    

  Xena menggeleng. "Aku mau amnesia lagi saja, Vrans. Aku menyesal saat itu pergi meninggalkan Dion sendirian di meja makan. Aku menyesal, Vrans. Seharusnya aku saja yang tertembak."    

  Tangisan Xena cukup menyayat hati orang-orang yang mendengarnya. Mereka semua tau kedekatan Vrans dengan gadis itu, dan bagi mereka sifat Xena ini sangat peduli terhadap pelayan yang bekerja untuknya. Xena benar-benar gadis yang baik dan perasa.     

  "Tidak, kamu tidak boleh kembali amnesia. Aku bersusah payah menghidupkan kembali memorimu."    

  Xena melepaskan pelukan Vrans, lalu berjalan mendekati seorang gadis yang sedaritadi hanya berdiri mematung menatap kosong peti mati Chef Dion. Dia adalah istri dari Chef Dion, Farasya Askuerlya. Sepertinya kedua anak mereka tidak ikut ke acara pemakaman daddy-nya.    

  "Aku minta maaf, ini semua salahku." Lirih Xena sambil menggenggam tangan Fara dengan lembut, menyalurkan rasa sesal yang ia rasakan saat ini.    

  Fara hanya tersenyum simpul. Ia tidak enak diperlakukan seperti ini kepada Xena, mengingat gadis itu adalah majikan dari suaminya. "Maaf nona, kamu tidak bersalah. Saya bangga Dion bisa menyelamatkan nyawamu."    

  Tangis Xena semakin pecah. Padahal sebelumnya ia tidak merasa sesedih ini, tapi entah kenapa mengingat Chef Dion yang sudah tidak akan pernah kembali ke dunia lagi membuat dirinya merasakan sedih yang luar biasa. Menghujam hatinya yang paling dalam.    

  "Aku minta maaf..."    

  Fara memeluk tubuh Xena. Ia mengerti sekali apa yang di rasakan oleh gadis itu, mungkin ia lebih merasakan rasa sakitnya daripada Xena. Ia sudah menganggap Xena sebagai putrinya sendiri mengingat Dion yang selalu bercerita padanya tentang kekasih Tuan Vrans. Walaupun ia tidak pernah bertemu dengan Xena, ia sudah menanamkan rasa kagum terhadap gadis itu. Dan setelah ia bertemu tepat hari ini, ia merasakan apa yang Dion rasakan. Perasaan nyaman seperti mempunyai seorang putri kecil. Dan sayangnya, kedua anak mereka memiliki gender laki-laki. Itu juga alasan yang membuat Dion bersikap sebegitu terbukanya dengan Xena. Laki-laki itu hanya menganggap Xena sebagai putrinya.    

  "Dion tidak akan pernah suka jika kamu menangis seperti ini, tetap tersenyum dan selalu yakinkan di dalam hati kamu, jika kamu tidak pernah bersalah dalam kematian Dion."    

  ...    

  Erica sibuk menatap Orlin yang tidak habisnya menempel pada Niel seperti ulat bulu. Ia kesal ketika Vrans mengusir dirinya dari mobil laki-laki itu dengan alasan dia ingin berdua dengan Xena. Jadilah ia berada satu mobil dengan sepasang kekasih yang membuat dirinya sangat mual.     

  "Berhenti, kalian menjijikan." Ucapnya ketika melihat Niel yang tidak hentinya menciumi punggung tangan Orlin. Mungkin karena dirinya belum pernah diperlakukan seperti itu pada laki-laki lain membuat dirinya merasakan hal yang aneh saat melihat adegan romantis seperti ini. Anggap saja dia gadis yang lugu dalam percintaan, ya memang kenyataannya seperti itu. Ia masih belum bisa percaya dengan laki-laki manapun mengingat masalah percintaan Xena yang dari dulu selalu berantakan, beruntung sekarang gadis itu sudah bahagia.    

  Tapi tetap saja Erica menganggap laki-laki itu sebagai sosok yang sangat brengsek. Hanya bisa singgah dan membuat nyaman, lalu pergi tanpa pamit.    

  Orlin menoleh ke kursi belakang tempat Erica duduk saat ini sambil menjulurkan lidahnya. "Jangan iri, makanya cari kekasih."    

  "Tidak perlu, sendiri lebih bahagia."    

  Dengan cepat Orlin terkekeh geli mendengar ucapan Erica barusan. Bahagia katanya? Wajah datar yang dimiliki sahabatnya itu yang dikatakan bahagia? Astaga. Bahkan ia sangat jarang melihat Erica tersenyum ataupun tertawa. "Jangan bohong deh, makanya kalau ada laki-laki yang mencoba dekat dengan kamu, ya terima saja kali."    

  "Maaf, aku tidak seperti itu."    

  Masih dengan prinsip tadi, Erica berusaha untuk tidak menghiraukan ucapan Orlin yang sama sekali tidak berbobot itu. Kalimat menyebalkan yang selalu dilontarkan oleh sahabatnya ketika dirinya berusaha untuk meledek Orlin. Justru ia yang kini kalah telak.    

  "Akui saja!" Ucap Orlin dengan tawa yang begitu keras membuat Erica memutar bola matanya dengan malas.     

  Niel yang melihat Orlin tertawa seperti itu langsung berdehem. "Jangan tertawa terlalu keras sayang, nanti tenggorokan kamu sakit."    

  Ucapan Niel barusan membuat pipi Orlin bersemu merah, ini yang ia sukai dari laki-laki itu, sangat perhatian padanya. Bahkan ia sudah tidak mengingat kejadian dirinya yang memaki Xena hanya karena seorang laki-laki seperti Niel. Dan beruntungnya, setelah ia berusaha meminta maaf berkali-kali, Xena mau memaafkan dirinya walau saat itu sahabatnya masih amnesia.    

  "Iya sayang, terimakasih."    

  Erica memutar bola matanya malas. Apa tidak ada orang lain yang ingin membawa dirinya keluar dari mobil ini dan memberikannya tumpangan gratis sampai rumahnya? Tingkat kecintaan Orlin pada Niel lebih dari tingkatan Xena pada Vrans. Bedanya Orlin lebih manis, sedangkan Xena terlalu menjijikan dan to the point. Tapi tetap saja ia menyayangi kedua sahabatnya itu.    

  "Bisa tidak kalian berdua berhenti berbicara?" Ucap Erica pada akhirnya.    

  Niel terkekeh mengetahui reaksi Erica yang sedari tadi menahan jengkel. "Jangan marah-marah, nanti kerutan di wajahmu keluar."    

  Erica mendengus. Persetanan dengan kerutan, bahkan ia tidak pernah pergi ke salon untuk merawat dirinya. Menurutnya sangat tidak penting, toh nanti saat sudah bertambah umur pasti perawatan itu terasa sia-sia.    

  "Terserah."    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.