My Coldest CEO

Empat puluh



Empat puluh

0"Jadi, lagi-lagi harus pakai rencana?" Tanya Orlin menatap seluruh wajah disini yang menampilkan berbagai raut wajah yang tidak bisa di gambarkan satu persatu.     

Vrans menganggukkan kepalanya. "Kali ini, target Sean masih sama, yaitu Xena." Ucapnya sambil meraih pinggang gadisnya, menyalurkan ketenangan seolah-olah berkata jika semua ini akan baik-baik saja.     

"Jadi?" Ucap Niel yang memang belum sepenuhnya mengerti dengan situasi yang mereka hadapi kini.     

Erica menjentikkan kedua jarinya. "Bagaimana jika kita berpencar menjadi dua bagian? Aku, Orlin dan Niel akan pergi ke rumah Raquel yang sesuai informasi dari Tuan Bos berada tidak jauh dari tempat kita berpijak sekarang. Selanjutnya, Xena dan Tuan Bos mengikuti sinyal ponsel milik Paula yang kini dengan ajaibnya sudah berpindah tempat." Ucapnya dengan nada sangat datar dan serius. Ia menatap wajah mereka meminta persetujuan atas rencananya kali ini.     

"Jika gagal?" Tanya Xena dengan nada yang sudah tercekat. Bagaimana pun, kondisi Paula saat ini adalah salahnya.     

Vrans menoleh ke arah Xena dengan raut wajah yang sangat tidak setuju dengan ucapan gadis itu. "Aku akan menjaga kamu apapun yang terjadi, karena kamu adalah seseorang yang sangat aku sayang." Ucapnya dengan senyuman tulus sambil mengecup puncak kepala Xena.     

Karena tindakan Vrans barusan, Xena merasa sedikit lega dan lebih tenang daripada sebelumnya. "Habis ini jangan lupa ya untuk menikahi Xena, Vrans." Ucapnya dengan kekehan kecil.     

Erica memutar kedua bola matanya. Astaga ia benar-benar terlihat seperti parasit tanpa pasangan. "Ayo kita tidak ada waktu untuk berlama-lama. Jangan membuang kesempatan!" ucapnya dengan tegas. Kali ini, ia tidak ingin siapapun menyentuh Xena untuk kedua kalinya.     

"Baik, aku mendapatkan informasi tentang Raquel dari Klarisa. Dan aku mendapat bantuan mengenali lokasi rumahnya berkat bantuan Damian. Sudah saya kirim ke ponsel Erica. Dan sinyal dari ponsel Paula sudah dapat terdeteksi." Ucap Vrans dengan serius. Ia mengarahkan segala informasi yang ia dapatkan dengan sangat baik. Untuk saat ini, ia tidak ingin Sean lepas dari jangkauan mereka untuk kedua kalinya. Karena pembunuh bayaran tidak akan melepas targetnya sampai kapan pun. Ia khawatir dengan keselamatan gadisnya.     

"Kamu lebih baik aku antar pulang saja ya, sayang?" Ucap Vrans kepada Xena yang masih sibuk memeluk lengannya dengan sorot mata polos seperti anak kecil yang tidak mengerti apapun.     

Xena menggeleng kuat. "Tidak, aku akan ikut bersamamu, Vrans. Aku akan selalu ikut kamu." Ucapnya sambil semakin memeluk lebih erat lagi lengan kokoh milik Vrans.     

Vrans terkekeh kecil lalu menatap Orlin dan Niel yang sedang berpegangan tangan satu sama lain. "Fokus dengan misi, jangan sibuk mengurusi pasangan jika bukan hal yang penting." Ucapnya dengan tegas membuat Orlin menggaruk tengkuknya lalu melepaskan genggaman tangannya pada Niel, sedangkan Niel berdecak sedikit tidak setuju. Hei, ia hanya tidak ingin Orlin dengan cerobohnya masuk ke dalam masalah yang menurutnya sangat berbahaya ini.     

"Ayo, segera." Ucap Erica sambil masuk ke dalam mobil milik Niel, diikuti oleh si empunya mobil dan juga Orlin.     

Tersisahlah Vrans dan Xena di tempat ini.     

Xena menatap Vrans dengan tatapan lugunya. "Kalau nanti aku kenapa-kenapa, berjanji ya jangan terlalu membebani Erica dengan pekerjaan yang menumpuk. Oh iya satu lagi, angkat Paula saja sebagai sekretaris pengganti aku dan jug--"     

"Tidak akan ada yang kenapa-kenapa, sayang." Gumam Vrans memotong pembicaraan Xena sambil mengecup kening gadis itu. "Aku akan selalu menjaga kamu."     

"Aku harap begitu, semoga Paula baik-baik saja ya, Vrans."     

Vrans mengangguk. Bagaimana pun, ia masih memiliki tanggung jawab dengan sahabatnya itu. Bagaimana bisa seorang gadis hidup sendirian di London tanpa pengawasan dari siapapun? Dan saat gadis itu terbang ke New York, masalah seperti ini menimpa dirinya. Paula adalah sahabatnya yang paling tegar jika di bandingkan dengan Klarisa yang kelewat manja.     

"Aku hanya berjaga-jaga jika nanti aku tidak bisa menjadi istri yang paling keren sedunia, Vrans."     

...     

Dari kejauhan, Niel, Erica, dan Orlin melihat seorag gadis yang duduk di lantai sambil memeluk kedua lututnya. Terlihat bahu gadis itu bergetar pertanda sedang menangis. Mereka memarkirkan mobil di halaman rumah yang lumayan besar. Mereka segera turun dari mobil dengan perasaan yang lega, berharap baik-baik saja.     

"Hai, ada apa?"     

Orlin mendekati gadis itu sambil ikut duduk di sampingnya. Ia adalah gadis yang memiliki rasa simpati yang paling tinggi diantara kedua sahabatnya. Ia mengelus pundak gadis itu, terdengar isak tangis yang sangat memilukan.     

"Ada mayat di rumahku."     

Mereka bertiga terkejut mendengar hal itu, Niel dengan sigap langsung berlari ke dalam rumah megah itu bersamaan dengan Erica.     

"Mayat?"     

"Iya, di teman baru ku. Namanya Paula."     

Deg     

Orlin menoleh ke arah pintu masuk rumah ini. "Bag--bagaimana bisa?" ucapnya dengan terbata-bata.     

Throwback     

Raquel mengendarai mobilnya bersiap untuk pulang ke rumahnya kala berhasil mendapatkan tas best seller yang ada di salah satu toko ternama sedunia. Ia memekik senang bisa mendapatkan dua buah tas, satu untuk dirinya dan satu untuk Paula. Walaupun ia tau gadis yang kini tinggal dirumahnya termasuk orang asing yang bisa saja menguras harta di dalam rumahnya, tapi ia tidak pernah menuduh Paula seperti itu. Terlebih lagi saat dirinya tidak sengaja mendengarkan lamunan Paula mengenai orang-orang yang di sayang.     

Paula, gadis itu terlihat kesepian. Gadis itu sering menggumamkan satu nama yang berhasil membuat dirinya terpaku. Klarisa Vanaya Wesley. Siapa yang tidak kenal dengan Klarisa? Kehidupan mewah, mempunyai suami yang sempurna, dan selalu menjadi topik terhangat di media sosial. Tidak ada yang bisa menandingi dirinya. Awalnya ia pikir mungkin hanya kebetulan saja Klarisa mengikuti Paula di Instagram, tapi sejak saat itu dirinya tau jika Paula adalah sahabatnya Klarisa. Yang ia tau, Klarisa hanya sering memposting foto Vrans, tapi tidak dengan Paula.     

Tangisan memilukan Paula membuat Raquel tersadar jika gadis itu membutuhkan rumah untuk berteduh dan berbagi rasa. Ia pikir, dirinya akan mewujudkan semua itu.     

Namun tiba-tiba, ada satu mobil sport yang berhasil menahan laju mobilnya. Untung saja dengan sigap ia menghentikan mobil, kalau tidak mungkin ia sudah menabraknya, apalagi kondisi jalanan yang lumayan sepi sangat mendukung terjadinya kecelakaan yang tidak diketahui ada penyebabnya.     

Alis Raquel menyatu sempurna kala melihat sosok laki-laki yang berjalan ke arahnya dengan perlahan. Tidak, bukan laki-laki seumuran dirinya, sosok itu adalah laki-laki paruh baya.     

Kaca mobilnya di ketuk oleh laki-laki itu. Dengan penasaran, Raquel membukanya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"     

Beberapa detik laki-laki paruh baya tersebut tidak menjawab pertanyaannya.     

"Ada yang bis--"     

"Mmmpphhhhh..."     

Tiba-tiba mulut Raquel di tahan dengan kain putih yang ternyata sudah di beri cairan yang mampu membuat siapapun yang menghirupnya akan kehilangan kesadaran dalam beberapa saat.     

"Xena Carleta Anderson."     

Throwback off     

Raquel menceritakan kejadiannnya pada Paula.     

"Dan saat aku tersadar, aku sudah sampai di halaman rumah dengan kondisi mobil yang baik-baik saja."     

Orlin mengernyit. "Bagaimana bisa?"     

"Karena menurutnya, aku adalah penghalang. Orang itu, sepertinya ditugaskan untuk melakukan hal ini. Dan pasti ada orang lain yang berada di balik ini semua." Ucap Raquel dengan suara serak. Sudah hampir beberapa menit ia menangis yang menguras tenaganya.     

"Sean." Gumam Orlin dengan sorot mata tajam.     

"Berhati-hatilah, saat ini orang itu mengincar Xena. Bukan aku ataupun salah satu dari kalian. Dimana Xena?"     

Berkat penjelasan Raquel saat ini, Orlin bangkit dari duduknya dengan panik. "Jangan-jangan ini hanya jebakan! Sean ingin kita berpisah dengan Xena, sial!" Ucapnya dengan berapi-api. Sosok baru Orlin muncul saat ini juga, ia marah besar.     

"Paula sudah tiada."     

Orlin menoleh ke belakang dan mendapati Erica dengan wajah kakunya. Sahabatnya itu sedikit benci dengan bau amis darah.     

"Kita harus segera menyusul Xena, dia dalam bahaya." Ucap Orlin dengan panik.     

Erica mengangguk paham. "Kamu lebih baik tenangi gadis ini saja. Niel sedang menghubungi pihak kepolisian. Aku sudah meminta izin pada kekasih mu untuk meminjam mobilnya. Aku saja yang menyusul mereka."     

Orlin menggeleng. "Aku ikut denganmu."     

"Dengar, Orlin. Walaupun aku terlihat cuek dengan kamu dan Xena, bukan berarti aku tidak peduli pada kalian. Aku tidak akan membiarkan kalian berada dalam masalah, karena aku masih butuh kalian. Tetap disini dan berjanjilah untuk baik-baik saja."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.