My Coldest CEO

Empat puluh dua



Empat puluh dua

0Xena mengusap lengannya dengan sedikit takut. Ruangan ini cukup gelap mengingat dirinya yang lumayan takut dengan kegelapan, tapi tenang saja ia masih bisa mengatasinya. Karena phobia terbesar dirinya adalah, 'kehilangan Vrans dalam hidupnya'. Hanya itu.     

"Kenapa gelap sekali? Apa Sean belum bayar listrik? Sepertinya ia butuh sumbangan dana, eh tapi kan pembunuh bayaran pasti mempunyai banyak uang." Gumam Xena dengan ucapan konyolnya yang masih saja tidak pernah meninggalkan relung pikirannya.     

Ah, memang sudah tabiat dirinya sebagai gadis aneh, sesuai dengan julukan Vrans untuknya. Panggilan kesayangan tentunya.     

Ia meraba dinding yang terasa lembab, ah bahkan dindingnya saja sudah tidak terawat. Kenapa Sean suka sekali menjadikan tempat ini sebagai tujuan pembunuhan dirinya untuk kedua kalinya?     

Xena menggumamkan lagu Almost - Ariana Grande.     

'Cause sooner or later      

- Karena cepat atau lambat     

'We'll wonder why we gave up      

- Kami akan bertanya-tanya mengapa kami menyerah      

'The truth is everyone knows     

- Yang benar adalah semua orang tahu     

'Almost, almost is never enough      

- Hampir, hampir tidak pernah cukup     

'So close to being in love      

- Begitu dekat dengan jatuh cinta      

'If I would have known that you wanted me      

- Jika saya tahu bahwa Anda menginginkan saya      

'The way I wanted you      

- Cara aku menginginkanmu     

'Then maybe we wouldn't be two worlds apart      

- Maka mungkin kita tidak akan terpisah dua dunia     

Throwback     

"Permisi Tuan tampan." Ucap Xena dengan senyuman sangat manis menatap laki-laki yang notabenenya adalah bos baru.     

Vrans menatap dirinya dengan sorot mata datar.     

"Aku kesini mau memberi kamu dokumen yang harus segera kamu tanda tangan ini." Ucap Xena sambil menjulurkan tangannya memberi beberapa lembar kertas kehadapan-nya.     

"Baik." Ucap Vrans singkat, ia mulai membaca dokumen yang Xena berikan.     

Xena masih mempertahankan senyumnya sambil menatap laki-laki itu dengan sorot mata memuja. "Perkenalkan nama aku Xena Carleta Anderson. Di panggil sayang juga boleh." Ucapnya dengan polos.     

Vrans bergeming tidak menanggapi apapun yang dikatakan gadis itu, ia sibuk membaca lembaran tersebut dengan teliti.     

Xena masih dengan percaya diri menatap laki-laki tampan yang menjadi atasannya saat ini. "Kalau kamu enggak jawab, oke kamu setuju kan kalau aku panggil sayang?"     

Vrans bergeming.     

Xena masih menatap Vrans dengan tatapan memuja. "Yaudah aku duduk di sofa ya, menunggu kamu menyelesaikan dokumen itu." Ucapnya sambil duduk di sofa khusus yang memang tersedia di dalam kantor atasannya itu.     

"Pergi atau saya pecat." Ucap Vrans dengan dingin. Ia menatap tajam gadis yang kini dengan tidak sopan-nya sudah duduk di sofa yang khusus untuk tamu, bukan untuk karyawan biasa."     

Xena menggeleng kuat. "Kamu tampan, aku seperti bertemu dengan sosok malaikat."     

Ia terkekeh kala melihat Vrans yang menghela napasnya dan secepat kilat ia membaca dokumen yang diberikan oleh gadis aneh itu.     

"Dokumennya sudah saya tanda tangan, ini, kamu boleh pergi." Ucap Vrans sambil menaruh kembali dokumen tersebut di atas meja kerjanya.     

Xena menghampiri Vrans dengan tatapan yang berbinar. Ia tidak menyangka ada laki-laki setampan Vrans. Astaga, membuat hatinya berdebar tidak karuan.     

"Pergi."     

Vrans sepertinya sudah benar-benar kehabisan kesabaran untuk dirinya.     

Xena mengambil dokumen yang beberapa menit lalu ia berikan, dan ia mengedipkan sebelah matanya sambil melambaikan tangannya. "Bye tampan, jangan dingin-dingin, nanti susah aku cairinnya."     

Throwback off     

Xena terkekeh geli mengingat hari pertama Vrans bekerja di Luis Company tapi sudah di ganggu oleh dirinya yang terlewat menyebalkan. Setidaknya mengingat hal-hal bersama Vrans membuat dirinya merasa lebih aman.     

Ia merogoh saku celananya dan melihat ponselnya. Tidak ada jaringan? Ah apakah ini adalah hari tersial bagi dirinya? Terlebih lagi ruangan yang ia pilih jauh dari kata bersih.     

Bola mata Xena berbinar kala melihat cahaya yang menerangi di ujung ruangan. Ia segera berlari dan berharap itu adalah pintu masuk menuju aula utama gedung ini.     

Tapi langkahnya tiba-tiba terhenti melihat ruangan kosong, hanya ada satu pintu kayu yang terlihat sudah tua. Ia dengan penasaran berjalan mendekati pintu tersebut dan membukanya.     

"Selamat datang, Xena."     

...     

Erica menepikan mobilnya tepat di depan gedung yang beberapa saat lalu di kunjungi olehnya bersama dengan yang lainnya.     

Ia menatap layar ponselnya dan menghubungi nomor telepon Xena dan juga Vrans secara bergantian. Tapi nihil. Ia tidak mendapat jawaban dari panggilan ponselnya.     

"Kemana mereka?"     

Di saat seperti ini, seharusnya komunikasi adalah hal yang paling penting dan tidak mungkin juga sepasang kekasih itu menonaktifkan ponsel mereka. Kecuali tidak ada sinyal, tapi tidak memungkinkan untuk hal ini. Lokasi gedung tua ini tidak terlalu jauh dari kota, memudahkan sinyal ponsel masih dapat di akses.     

"Ada apa dengan mereka?"     

Dengan segera, ia keluar mobil dan menguncinya. Ia mengintip waspada ke arah bangunan tingkat dua itu. Bagaimana pun juga, pasti Sean meningkatkan protokol keamanan demi menjalankan misinya saat ini.     

Drtt...     

Drtt...     

Erica memutar kedua bola matanya kala melihat nama Orlin terlihat jelas di layar ponselnya.     

"KAMU DIMANA?!"     

Ia menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara Orlin benar-benar sangat melengking, seperti ingin membunuh indra pendengarannya. "Kenapa sih, Lin?"     

"Sudah sampai?"     

"Iya, sudah."     

"Kenapa tidak langsung mencari keberadaan Xena dan Vrans? Jangan membuang waktu, Ca."     

Ia menghela napasnya. "Kamu yang menelepon aku, Lin. Kamu yang membuang-buang waktu."     

"Habisnya aku khawatir dengan mu." Terdengar suara Orlin yang melirih.     

Dalam diam, Erica tersenyum simpul. "Aku bukan target Sean, jadi yang seharusnya kamu khawatirkan itu adalah Xena."     

"Ya aku juga khawatir dengan dirinya! Aku akan segera kesana bersama Niel dan pihak kepolisian."     

Erica mengangguk walau dirinya tau jika Orlin tidak akan melihatnya. "Segeralah, Orlin. Sepertinya ada sedikit masalah disini."     

Pip     

Tidak ingin berlama-lama berbicara dengan Orlin, ia mulai berjalan menuju pintu utama rumah. Ia mengernyit merasakan perbedaan yang sangat terlihat. Contohnya seperti gagang pintu yang terdapat stiker mawar hitam untung gagang sebelah kiri, dan gagang sebelah kanan terdapat stiker tengkorak dengan pedang yang menyilang.     

Apa arti dari semua ini?     

Dengan perlahan Erica membuka pintu utama tersebut, dan ia langsung di suguhkan oleh dua pintu yang sudah tidak bergagang. Ia yakin pasti Xena dan Vrans masuk ke dalam sana memilih jalan mereka sendiri.     

Ia yakin ini adalah trik bagi Sean.     

Erica memutar otaknya, mendekati jarak pintu kiri dengan pintu yang kanan. Ia mendekati dinding itu dan menyipitkan matanya.     

Gotcha!     

Ia merobek wallpaper dinding itu, dan kini terlihatlah tiga buah pintu. Tanpa perasaan ragu yang mendalam, ia membuat pintu tersebut dengan perlahan. Bagaimana pun juga, ini pasti pintu masuk utama yang sesungguhnya. Begitu sudah memasuki rumah dengan pintu tengah yang ia pilih, gagang pintu juga berubah menjadi kaku. Apa lagi-lagi Sean bisa membaca gerakan mereka? Apa Sean tau jika dirinya cukup ahli mengatasi hal seperti ini?     

"Erica Vresila, gadis yang suka ikut campur ke dalam masalah orang lain. Gadis yang pintar, tapi kalah pintar. Selamat tinggal."     

Erica menaikkan sebelah alisnya mendengar suara yang menggema di sepanjang lorong, ia kebingungan. Baru saja ia ingin melangkah, namun tiba-tiba lantai pijakannya terbuka lebar membuat dirinya terjatuh ke dalam lubang tersebut.     

"AAAAAAAA!!!"     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.